SANGAT menarik bicara dengan Silaban. Beberapa- gagasan dan
pendapatnya tentang perencanaan kota dan arsitektur, cukup
aktuil. Berikut ini pendapat-pendapatnya:
Tanya: Bagaimana tentang bangunan-bangunan tinggi di Jakarta?
Jawab: Coraknya hampir sama semua, kurang memperhatikan
perhitungan bahwa kita ini hidup di daerah tropis. Buat apa
membangun gedung pakai AC? Lain dengan Eropa dan Jepang, di
sana, dalam setiap bangunan kan selalu dicari intimitas,
kehangatan. Mereka bermusuhan dengan alam yang ganas. Sedang
kita tidak bermusuhan dengan alam. Karena itu bangunan-bangunan
kita hendaknya lebih terbuka hingga kita tetap dekat dengan
alam. Khusus mengenai AC ini hati nurani saya berbisik. "kita
ini kurang adil sementara rakyat masih banyak yang belum pakai
listrik, kita sudah menggunakannya secara berlebihan".
T: Tentang bangunan Balai Kota Jakarta yang bertingkat tinggi
itu?
J: Sebenarnya Balai Kota itu tak perlu tinggi seperti menara.
Yang penting luas. Lain dari office building yang semua
ruangannya bisa disewakan. Balai Kota sebaiknya berada di tanah
yang luas hingga lebih mudah kontak dengan masyarakat. Artinya,
bukan semata-mata kantor tapi juga merupakan tempat pelancongan
bagi mereka yang datang dari daerah. Bahkan diperlukan sebuah
public hall, kalau setiap kali Bang Ali tnau bicara dengan
warganya. Apa boleh buat, ketika merencanakan: gedung itu
rupanya uang Bang Ali pas-pasan saja. Tapi yang jelas bangunan
itu dari segi arsitektur terlalu telanjang dan tertutup.
T: Tentang bangunan-bangunan di Ancol?
J: Rencana membangun Ancol itu dulu datang dari saya. Saya
ajukan pada Bung Karno, mengingat Jakarta itu kan kota pantai.
Dulu kalau orang datang dari arah laut tak terasa bahwa Jakarta
kota pantai. Yang mereka lihat hanya gudang-gudang dan alat-alat
pengangkat barang. Itulah sebabnya saya sarankan agar di Ancol
dibangun "Menara Bung Karno". Sekarang, kalau di sana hanya
dibangun cottage, itu sayang sekali. Tak sesuai dengan investasi
yang begitu besar yaitu biaya pengurukannya. Maka itu sehaiknya
di Ancol lebih diperbanyak dengan bangunan tinggi, supaya tampak
Jakarta sebagai kota pantai. Tentu saja dengan mengindahkan
perlunya taman-taman yang luas.
T: Ada pendapat sementara arsitek muda bahwa dengan arsitektur
tradisionil, biaya pembangunan rumah rakyat bisa lebih murah.
Bagaimana?
J: Ah. itu terlalu dicari-cari. Bagaimana rumah bisa murah kalau
pangan dan pakaian tak ada yang murah? Pangan dan pakaian kan
kebutuhan primer? Kalau tak bisa hidup dengan gaji, bagaimana
kita bisa menyisakan 155 gaji untuk perumahan Rumah murah, tak
akan jadi persoalan kalau orang sudah bisa hidup dengan gaji.
T: Kalau begitu bagaimana supaya bisa bikin rumah murah?
J: Tak ada yang bisa bikin rumah murah kecuali rakyat sendiri
yang merencanakannya. Kalau sudah pakai insinyur, truk,
pemborong, bagaimana bisa murah? Sejak zaman nenek-moyang,
rakyat sudah bikin rumahnya sendiri. Nah, yang terpenting ialan
bagaimana meningkatkan kehidupan rakyat. Kalau menunggu sampai
pemerintah bisa membangun perumahan rakyat, wah bisa berabe.
Bayangkan, setahun dibutuhkan 10 juta unit rumah, sedang
kemampuan pemerintah membangun hanya 100.000 unit saja. Nah, apa
artinya ini untuk kebutuhan yang begitu besar? Terutama kalau
melihat angka kelahiran yang begitu tinggi.
T: Bagaimana kemampuan arsitek-arsitek kita
J: Bangsa kita punya bakat besar di bidang seni terutama
arsitektur. Dari segi ini tak perlu dikhawatirkan. Yang berbakat
segudang. Cuma yang perlu kita khawatirkan ialah: kita ini
kurang punya mentalitas ekonomi, mentalitas dagang dan
mentalitas teknologi. Nah ini yang masih harus kita kejar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini