Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPS tengah mengkaji penggunaan indeks kesejahteraan petani (IKP) untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.
Penggunaan nilai tukar petani (NTP) untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani selama ini kurang tepat karena kerap tak sesuai dengan kondisi riil.
Nilai tukar petani sama sekali tak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan petani.
BADAN Pusat Statistik (BPS) tengah mengkaji “alat” untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani: indeks kesejahteraan petani (IKP). Pelaksana tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan pemerintah, 5 Juni 2024, mengatakan IKP dapat menjadi alternatif pengukuran kesejahteraan petani dengan pendekatan multidimensi.
Tak hanya mencakup subsektor (tanaman pangan, produk hortikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan), indeks ini juga mencakup indikator kesejahteraan petani dalam multidimensi aspek, yang meliputi pendapatan dan sumber daya, pendidikan, kesehatan, standar hidup layak, ketahanan pangan dan gizi, serta mitigasi risiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi petani, kabar ini tentu menggembirakan. Langkah ini, jika benar-benar diimplementasikan di lapangan, akan mengakhiri “kesesatan berjemaah” dalam mengukur tingkat kesejahteraan petani. Selama ini, diakui atau tidak, ada keyakinan kuat bahwa kenaikan produksi komoditas dengan sendirinya diikuti dengan kenaikan kesejahteraan petani.
Padahal kondisi riil tidak demikian adanya. Produksi bisa saja naik, tapi petani semakin miskin tatkala harga jatuh ketika musim panen. Implikasi dari cara pandang ini, peningkatan produksi selalu jadi target, sementara kesejahteraan petani tak pernah diperhitungkan.
“Kesesatan berjemaah” yang kedua adalah keyakinan kuat bahwa kesejahteraan petani bisa diukur menggunakan nilai tukar petani (NTP), seperti mengukur kesejahteraan nelayan melalui nilai tukar nelayan (NTN). Dua indikator ini kerap jadi bahan diskusi antara pemerintah dan DPR. Setiap kali menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), besaran NTP dan NTN selalu jadi bahan diskusi antara DPR dan pemerintah.
Kenaikan NTP dan NTN selalu jadi bagian dari target pembangunan tahunan di luar target lain, seperti pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan penurunan rasio gini. Target pembangunan ini kemudian menjadi pelengkap indikator makroekonomi: nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan aneka indikator lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk pada definisi BPS, NTP dimaknai sebagai rasio antara indeks harga yang diterima petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP di atas 100 apabila rasio It lebih besar dari Ib. Demikian pula sebaliknya. Komponen It dapat memperlihatkan perkembangan harga komoditas pertanian (pangan, produk hortikultura, peternakan, dan lainnya) yang dijual petani secara periodik. Sedangkan komponen Ib bisa menunjukkan perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi maupun harga barang dan jasa yang dipakai dalam berproduksi.
Menurut BPS, NTP adalah ukuran hubungan harga. Indikator ini memberikan indikasi secara umum mengenai daya beli komoditas/produk pertanian terhadap barang dan jasa yang dibeli petani, baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk biaya produksi dan penambahan barang modal.
Dengan demikian, NTP sama sekali tidak berhubungan dengan kesejahteraan petani. Sebab, indikator ini hanya menghitung pendapatan pertanian, bahkan sektor pertanian tertentu. Sedangkan pendapatan dari luar pertanian tidak dihitung. Padahal perannya signifikan. Di lokasi Panel Petani Nasional padi dan palawija, misalnya, pendapatan rumah tangga tani dari sektor pertanian bisa mencapai 46-57 persen.
Kedua, NTP hanya memperhitungkan sumber pendapatan dari usaha tani tanaman. Karena itu, indikator ini lebih tepat disebut nilai tukar (rumah tangga) petani tanaman, bukan nilai tukar petani. Karena itu, NTP BPS saat ini hanya valid bagi rumah tangga tani (spesialis) tanaman, yang seluruh pendapatannya dari usaha tani tanaman. Hal ini membuat relevansi indikator tersebut dengan realitas empiris rumah tangga di Indonesia amat rendah.
Ketiga, NTP BPS hanya membandingkan harga-harga, bukan pendapatan dan biaya hidup petani. Karena kuantum produksi dan kuantum konsumsi tidak dihitung. Penghitungan hanya mencakup variabel harga, tanpa mencakup nilai produksi dan nilai jasa atau produk yang dikonsumsi petani. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa produksi diasumsikan selalu surplus dan semua hasi produksi bisa dipasarkan.
Berbagai asumsi dalam indikator itu tak sesuai dengan kondisi riil karena kondisi petani beragam. Ada petani yang punya lahan cukup luas, tapi tak sedikit petani yang berlahan sempit. Merujuk pada Sensus Pertanian 2023, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem (menggarap lahan seluas kurang dari 0,5 hektare) bertambah dari 14,25 juta menjadi 16,89 juta rumah tangga. Merekalah net buyers murni yang tidak memiliki surplus produksi. Karena hanya membandingkan harga, NTP hanya relevan bagi petani net producers, bukan net buyers.
Merujuk pada paparan di atas, perhitungan NTP BPS saat ini mengandung kelemahan konseptual karena tidak bisa dijadikan sebagai penanda nilai kesejahteraan laba bersih usaha tani. Artinya, indikator itu tidak dapat dijadikan sebagai penanda kesejahteraan petani (Simatupang, 2017).
Untuk memperoleh ukuran atau indikator yang lebih representatif, seharusnya BPS menggunakan formula yang dapat menghitung keuntungan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Ismet, 2015). Bukan sekadar membandingkan harga-harga komoditas yang dijual dengan harga-harga komoditas yang dibeli petani. Karena itu, rencana BPS menghadirkan IKP patut disambut dengan terbuka dan didukung penuh.
Kehadiran IKP menjadi mendesak karena, pertama, perlu ada indikator yang mengukur, memonitor, dan mengevaluasi kinerja pembangunan, khususnya di sektor pertanian. Ketiadaan indikator membuat kementerian teknis, terutama Kementerian Pertanian, bekerja tanpa alat ukur yang jelas. Kedua, IKP bisa dimanfaatkan sebagai data pendukung analisis profil, determinan, dan paket kebijakan mensejahterakan petani. Ketiga, IKP juga bisa digunakan untuk memperkirakan prevalensi kemiskinan petani dan faktor-faktor pendorong, serta opsi kebijakan penanggulangan di masa mendatang.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.