Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Indikator kegairahan berproduksi

Kendati Indonesia sudah berswasembada beras namun daya beli petani di Jawa cenderung menurun. Nasib petani gurem belum menikmati program pemerintah. Petani gurem harus berorientasi bisnis.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari hasil penelitian Sarwar Hobohm dan Chris Manning sebagaimana dikutip Prof. Dr. Mubyarto di sebuah seminar industri yang diselenggarakan Pusat Antar universitas-universitas, baru-baru ini, yang menyatakan bahwa daya beli kaum tani di Jawa - diukur dari term of trade - menurun terus: dari indeks 100 pada 1976 menjadi 71 pada 1985, dan tingkat upah di pedesaan Indonesia, yang hanya 35% dari tingkat upah rata-rata (TEMPO, 24 Oktober, Ekonomi & Bisnis) membersitkan kesan bahwa pembangunan pertanian dan kawasan pedesaan merupakan medan juang yang tidak selalu mulus jalannya. Kendatipun kini telah mampu berswasembada beras, Indonesia tetap menghadapi persoalan pelik yang berkaitan dengan produksi dan petani sebagai pelaku usaha tani. Produksi beras memang terus meningkat, dan pada 1986 telah mencapai 26,7 juta ton. Tetapi kenaikan produksi ini perlu diwaspadai, karena bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi ini hanya mampu mendongkrak 0,91%. Itu berarti jauh di bawah sasaran yang ditetapkan sebesar 2,1% untuk mengimbangi 4,0 juta mulut baru yang perlu disuapi setiap tahun. Terjadinya levelling off (kejenuhan) merupakan petunjuk rendahnya kenaikan produksi beras nasional. Bila dikaitkan dengan tingkat penguasaan lahan oleh petani, makin menjadi jelas bahwa mayoritas petani di Jawa adalah petani gurem, dengan lahan kurang dari 0,5 ha. Bahkan a~la petani yang tinggal namanya saja, yakni mereka tidak lagi menguasai lahan. Penggunaan teknologi budidaya pada hamparan yang terlalu mini, di samping sulit diterapkan, juga menjadi tidak efisien. Dengan demikian, kemudahan dan jejalan subsidi yang diberikan pemerintah melalui serentetan program intensifikasi yang terus dirapikan lebih banyak jatuh ke tangan mereka yang kuat dan mempunyai kuasa di desa, sedangkan petani gurem, karena tidak atau kurang menikmati program adiluhur ini, nasibnya akan tercecer. Untuk meningkatkan daya beli di kalangan masyarakat pedesaan, telah banyak usaha dilakukan pemerintah. Misalnya dengan memberlakukan harga standar pada beberapa komoditi pertanian padi dan palawija. Usaha ini memang telah banyak membantu petani. Tetapi bila nilai tukar komoditi lain dibiarkan merangkak, harga patokan ini hanya akan merupakan perbaikan semu. Apalagi ditambah dengan adanya kebijaksanaan pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk dan pestisida akibat dana pemerintah makin alot. Langkah yang perlu ditempuh adalah dengan tetap meningkatkan kegairahan petani untuk berproduksi melalui rekayasa sosial, yang memungkinkan setiap mekanisme kegiatan usaha tani mampu meningkatkan kualitas hidup petani sebagai indikator membaiknya ekonomi pedesaan secara keseluruhan Kegairahan ini hanya akan terwujud kalau disertai denean penataan peringkat kelembagaan secara struktural dan mendasar, sehingga petani tidak frustrasi. Beralihnya beberapa petani padi yang mengganti tanaman utamanya dengan jeruk merupakan bukti bahwa setiap komoditi dengan keunggulan komparatif lebih tinggi akan diminati petani. Dalam alam pikiran petani yang makin rasional, langkah demikian perlu dipuji. Tetapi, karena kita telah bertekad mempertahankan prestasi dan prestise swasembada beras, diperlukan kepastian harga yang menguntungkan, agar petani dan swasembada dapat dirangkul bersama. Kepastian harga yang dimaksudkan adalah harga yang mampu menjangkau harga barang konsumsi di luar beras. Rendahnya daya beli dan tingkat upah di pedesaan berkaitan erat dengan ekonomi desa sendiri, yang banyak ditentukan oleh masih lemahnya nilai tukar komoditi pertanian terhadap barang lain, terlebih-lebih dengan barang-barang elektronik. Yang perlu terus diingat adalah bahwa sebagai manusia, petani, terutama petani gurem, harus dapat menolong dirinya sendiri melalui perubahan sikap subsistem menjadi petani yang berorientasi bisnis. Hanya dengan demikian akan ada efisiensi usaha tani yang didasarkan pada permintaan pasar, dan pemerintah akan membina mereka melalui cara-cara penyuluhan yang jitu dan membantu mengatur arus barang. Sehingga, kemelorotan harga dapat dikendalikan, sedangkan nasib petani tertolong. Sikap demikian perlu dikembangkan dengan mendorong petani memanfaatkan setiap jengkal tanah dengan produksi maksimal disertai efisiensi biaya usaha tani. IR. ADIG SUWANDI Jalan Semboro 6 Perdin PG Pelaihari Kalimantan Selatan 70802

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus