Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lina A. Alexandra*
Langkah pemerintah Indonesia meratifikasi Statuta Roma, setelah melalui proses perdebatan panjang, perlu disambut baik sebagai bagian dari komitmen melindungi hak asasi manusia di negeri ini. Di lingkup ASEAN, Indonesia menjadi negara ketiga, setelah Kamboja (2002) dan Filipina (2011), yang meratifikasi statuta ini. Di tingkat dunia, hingga Februari 2012, tercatat 122 negara telah meneken statuta tersebut.
Statuta Roma, yang dikeluarkan pada 1998 dan secara formal berlaku sejak 1 Juli 2002, mengatur tentang pembentukan dan fungsi Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC). ICC secara khusus memiliki yurisdiksi yang terbatas pada empat jenis kejahatan kemanusiaan serius, yaitu genosida (pemusnahan massal), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (crimes of aggression). Jika ditelusuri lebih jauh, kejahatan yang diatur bukan hanya tindakan yang mengancam nyawa atau fisik manusia, melainkan juga tindakan penghancuran secara sengaja terhadap benda atau tempat yang memiliki arti penting bagi kemanusiaan, identitas keagamaan, dan budaya.
Selanjutnya, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya melalui tiga cara. Pertama, jika suatu situasi yang mengacu pada salah satu kejahatan kemanusiaan diajukan kepada penuntut (prosecutor) oleh negara yang menjadi pihak dari statuta ini. Kedua, jika situasi yang mengacu pada salah satu kejahatan kemanusiaan diajukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertindak di bawah Pasal VII Piagam PBB. Ketiga, jika penuntut mengambil inisiatif (proprio motu) melakukan investigasi berdasarkan informasi awal mengenai situasi yang diatur oleh yurisdiksi ICC ini.
Hingga kini, ICC tercatat telah menyidangkan berbagai kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di negara-negara Afrika, yaitu Kongo DRC, Uganda, Republik Afrika Tengah, Sudan (Darfur), Republik Kenya, Libya, Pantai Gading, dan Mali. Kasus-kasus itu sebagian besar diajukan langsung oleh negara tempat kejahatan tersebut berlangsung. Sebagian yang lain diajukan oleh Dewan Keamanan PBB dan atas inisiatif penuntut.
Jika memang langkah ratifikasi dipandang memiliki aura politik, tindakan pemerintah dapat dikatakan terlambat karena aplikasi dari statuta ini bersifat tak berlaku surut. Ketentuan-ketentuan dalam statuta hanya berlaku pada tindakan yang dilakukan setelah tanggal ratifikasi oleh negara. Dengan demikian, tindakan kejahatan kemanusiaan seperti kasus genosida di Timor Timur (1999) dan kejahatan kemanusiaan dalam kerusuhan Mei (1998) tak dapat diajukan ke Pengadilan Kriminal Internasional.
Meski begitu, ratifikasi Statuta Roma tetap diperlukan karena dapat memberi efek pencegahan bagi calon pelaku kejahatan kemanusiaan. Mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakannya. Pemerintah dan perangkat hukum di Indonesia pun harus siap mengajukan kasus kejahatan kemanusiaan kepada ICC. Dengan menjadi pihak dari statuta ini, pemerintah Indonesia turut berpartisipasi tak membiarkan para pelaku kejahatan kemanusiaan melenggang bebas.
Pandangan yang berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya tak terburu-buru meratifikasi statuta ini karena negara-negara besar, antara lain Amerika Serikat, belum menjadi pihak dari statuta jelas tak tepat. Dengan meratifikasi statuta, pemerintah justru telah menunjukkan kedewasaan dan kesiapan dalam memberi perlindungan hak asasi manusia secara maksimal.
Kekhawatiran berlebihan bahwa ICC akan menjadi instrumen negara maju untuk mengintervensi negara berkembang, yang cenderung memiliki masalah dengan penegakan hak asasi manusia, tak akan terjadi. ICC secara tegas menyatakan penghormatan terhadap mekanisme hukum di tingkat nasional. Ini ditunjukkan dengan ketentuan di pasal 17 yang mengatur bahwa suatu kasus tak bisa diterima oleh ICC jika: 1) kasus tersebut sedang diselidiki atau disidangkan oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika negara itu tak memiliki kemauan (unwilling) atau tak mampu secara sungguh-sungguh menyelidiki atau menyidangkan kasus tersebut; 2) kasus tersebut telah diselidiki oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut dan negara itu memutuskan tak menyidangkan orang yang bersangkutan, kecuali keputusan ini dihasilkan karena negara tak mau atau tak mampu secara sungguh-sungguh menyidangkan kasus tersebut; 3) orang yang bersangkutan sudah diajukan ke pengadilan; dan 4) kasus tersebut tak cukup untuk menjustifikasi tindakan yang lebih jauh dari ICC.
Walaupun Indonesia tak sedang mengalami kasus-kasus yang menjadi yurisdiksi ICC, perkembangan yang terjadi menunjukkan besarnya potensi ke arah terjadinya kejahatan kemanusiaan di masa depan. Tindakan kekerasan terhadap pemeluk agama atau golongan etnis tertentu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Arah perpolitikan nasional yang tak menentu juga masih menyediakan celah bagi aktor-aktor tertentu untuk melegalkan segala cara, termasuk tindakan kejahatan kemanusiaan. Karena itu, ratifikasi Statuta Roma menunjukkan tanggung jawab negara dalam memberi perlindungan ekstra bagi rakyatnya jika terjadi kejahatan yang melebihi batas kemanusiaan, termasuk ketika pemerintah sendiri menjadi pelaku kejahatan tersebut.
*) Peneliti di Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo