Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti
Kumpulan Tulisan Boechari
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit: 2013, 676 halaman
Harga: Rp 59 ribu
Boechari, di kalangan arkeolog, dikenal sebagai penyibak tabir kegelapan. Ia dihormati sebagai pembaca prasasti (epigraf) tangguh. Ia dikenal sebagai orang yang telah membaca ratusan prasasti batu dan lempeng perunggu abad ke-8-15, terutama yang ditemukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pembacaannya sering memberi informasi baru yang menarik. Tafsirannya bahkan kerap melawan pendapat guru-guru Belandanya sendiri.
Saat meninggal pada Mei 1991 pada usia 64 tahun, Boechari mewariskan serangkaian pemikiran berupa artikel yang dipresentasikan di seminar dan ditulis di jurnal internasional. Buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti terbitan Kepustakaan Populer Gramedia berusaha menghimpun gagasannya yang berserakan itu.
Menelusuri artikel-artikel dalam buku setebal 644 halaman ini, terbayangkan bagaimana Boechari, seorang asketis, yang dalam kesunyian, tenggelam dalam keasyikan membaca inskripsi. Seorang pembaca epigraf tentu memiliki kemampuan bahasa Sanskerta atau Jawa kuno yang tinggi. Betapapun begitu, ketekunan dan keuletan adalah nomor satu. Sebab, menurut Boechari, prasasti sering aus. Aksaranya susah dikenali sehingga ia harus berkali-kali membaca supaya mendapat penafsiran yang memuaskan. Menurut Boechari, kita tak bisa mengharap informasi dari batu akan lengkap. Seorang pembaca epigraf harus tekun mengait-ngaitkan informasi antarprasasti, menganyam makna seperti laba-laba.
Kesulitan itu bertambah karena banyak kata dan ungkapan yang ada dalam prasasti tak tersedia di kamus-kamus Jawa kuno, seperti kamus milik Romo Zoetmulder. Susunan kalimat dalam prasasti Jawa kuno, terutama dari masa pemerintahan Rakai Pikatan, menurut Boechari, agak berbeda dengan susunan kalimat di lontar-lontar kesusastraan. Kalimat dibuat sesingkat-singkatnya, susunan bagian kalimat sering dibalik-balik.
Tulisan-tulisan Boechari, kita lihat, berÂusaÂha meneruskan, melengkapi, atau meÂnoÂlak pendapat ahli-ahli purbakala kolonial, seperti Willem Stutterheim, T.H. PiÂgeaud, George Coedes, Bernet Kempers, C.C. Berg, F.D.K. Bosch, N.J. Krom, Brandes, J.G. de Casparis, Louis Charles Damais, R. Goris, dan H. Kern. Ia terlibat aktif membahas isu-isu arkeologi, seperti di mana letak ibu kota Sriwijaya, apa-siapa Ken Arok, dan mengapa Mataram kuno pindah ke Jawa Timur. Boechari sangat serius. Untuk membahas, misalnya, apakah Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottungadewi istri atau anak Airlangga, ia sampai membaca ratusan prasasti.
Selain itu, Boechari tampak memiliki minat tersendiri. Ia, misalnya, tertarik menyelidiki dari mana sumber utama penghasilan kas Kerajaan Kediri dan lain-lain. Selain dari pampasan perang pajak, Boechari melihat sumber penghasilan dari denda di pengadilan, terutama pajak. Ada berbagai macam pajak: dari pajak hasil bumi, pajak penjualan, sampai pajak usaha kerajinan. Para pedagang asing ada kemungkinan dikenai pajak khusus, selain pajak perdagangan. Bahkan penari topeng, pelawak, dan tukang kendang dikenai pajak. Demikian pentingnya pajak, sampai kategori aparat yang mengurusi pajak pada masa Airlangga berjumlah ratusan.
Yang menarik, di zaman kuno, seperti halnya di masa sekarang, juga terdapat penyelewengan dalam pemungutan pajak. Para petugas pajak sengaja tak menetapkan pengukuran sawah yang benar, sehingga menguntungkan diri sendiri. Pembacaan Boechari menyajikan, bila ada kasus seperti ini, rakyat bisa mengadu kepada raja, dan raja bisa meninjau kembali.
Boechari juga terasa antusias saat membahas keruntuhan raja-raja. Pembacaannya yang melawan arkeolog kolonial, misalnya, soal penyebab serangan terhadap Raja Dharmawangsa Teguh (memerintah pada 991-1007) di Jawa Timur. Seperti kita ketahui, saat Dharmawangsa merayakan pesta perkawinan adiknya dengan Airlangga putra Udayana, Raja Bali, sekonyong-konyong Raja Wurawari menyerangnya. Kerajaan hancur. Ia tewas. J.G. de Casparis berpendapat bahwa Wurawari adalah kaki tangan Sriwijaya. Pada awal abad ke-10 itu, ada rivalitas antara Jawa Timur dan Sriwijaya dalam menguasai akses perdagangan internasional Asia Tenggara. Pendapat demikian bahkan masih populer sampai kini.
Namun, di New Delhi pada 1964, Boechari menyanggahnya. Ia membaca prasasti Pucangan, yang dikeluarkan Airlangga, yang disimpan Kolkata. Prasasti itu mendeskripsikan genealogi Airlangga. Di situ ternyata sama sekali tak dinyatakan adanya penyerangan Sriwijaya. Atas pembacaan itu, Boechari berpendapat bahwa Wurawari adalah vassal Dharmawangsa Teguh yang kecewa terhadap perkawinan tersebut.
Boechari tampak seperti orang yang tak begitu saja menerima pendapat. Dalam tulisannya yang membahas teori Casparis itu, secara agak tersirat ia menilai pemikiran Casparis—sang pembimbing saat bekerja di dinas purbakala—bisa memecah belah karena terlalu menekankan permusuhan antara Sriwijaya dan Jawa Timur. Boechari tampaknya kritis terhadap tafsir-tafsir yang, menurut dia, menjurus ke pertentangan antarsuku.
Ia, misalnya, juga menolak jika Syailendra disebut wangsa yang berbeda dengan Sanjaya, seperti disinyalir Casparis, G. Goedes, dan F.D.K. Bosch. Boechari memperkuat pendapat Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa hanya ada satu dinasti. Melalui pembacaannya atas prasasti Sojomerto (dari abad kedelapan Masehi, prasasti berbaÂhasa Melayu kuno yang ditemukan di Pekalongan), ia meneguhkan bahwa Syailendra dan Sanjaya berasal dari garis keluarga yang sama. Mereka juga orang lokal, bukan dari Kamboja atau India. Baik Sanjaya maupun Syailendra keturunan Dapunta Salendra.
Tesisnya itu diperkuat oleh pembacaannya atas prasasti Sankhara (dari abad kedelapan Masehi), yang dikoleksi Adam Malik. Dalam prasasti itu disebut ada anak Raja Sankara yang pindah agama dari Syiwais ke Mahayana Buddha. Boechari berpendapat, dari Dapunta Salendra sampai Sanjaya, raja-raja menganut Syiwa dan kemudian sejak Rakai Panangkaran berganti Buddha.
Ihwal Airlangga, dia menyodorkan penemuan menarik. Airlangga dikenal sebagai raja yang memakmurkan masyarakatnya. Salah satu puncak keberhasilan Airlangga adalah ia membangun bendungan Waringin Sapta. Sebagaimana dapat dibaca di prasasti Kamglayan, jika Sungai Brantas banjir, kawasan desa-desa Waringin Sapta selalu terendam. Ini mengakibatkan sawah hancur dan para pedagang tak bisa membawa barang ke pelabuhan Hujung Galuh. Pembuatan bendungan menyelamatkan mereka.
Pembacaan Boechari menghasilkan inforÂÂmasi, di kala itu ada sebagian warga sengaja ingin mensabotase bendungan. Mereka adalah orang yang tak mau menerima kepeÂmimpinan Airlangga. Menurut dia, ternyata tak semua penguasa daerah mendukung Airlangga. Itu karena mereka tahu ada orang yang lebih sah naik takhta, yaitu putra Dharmawangsa Teguh, Sri Samarawijaya Dhamasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Menurut Boechari, Sri Samarawijaya mungkin masih bayi atau dalam kandungan saat penyerangan Wurawari. Namun ia selamat. Sebab, dalam pembacaan Boechari atas prasasti Sirah Keteng dekat Trenggalek, yang dikeluarkan pada masa-masa sesudah pralaya, disebutkan bahwa Dharmawangsa Teguh memiliki keturunan. Bertolak dari analisis ini, Boechari memiliki teori sendiri tentang pembagian antara Panjalu dan Janggala. Seperti diketahui, Airlangga sebelum menjadi pandita membagi kerajaannya menjadi Panjalu dan Janggala. Ahli purbakala umumnya melihat pembagian itu diberikan kepada anak-anak Airlangga sendiri. Akan halnya Boechari melihat itu antara anak Airlangga dan anak Dharmawangsa Teguh.
Sepeninggal Boechari, banyak ratusan prasasti yang belum dibaca. Tersimpan di museum-museum purbakala di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Mojokerto, baÂtu-batu itu seolah-olah rindu ditafsirkan. Boechari sendiri menganggap arkeologi adalah ilmu yang dinamis. Selalu terbuka penafsiran baru. Masa lalu kita belum sepenuhnya terang. Masih diperlukan kajian perbandingan antara prasasti kita dan prasasti dari Thailand, Kamboja, serta Champa. Juga bisa kita tambahkan masih banyak prasasti mencurigakan yang kondisi ausnya bukan terlihat seperti karena faktor alam, melainkan diduga digurat atau sengaja dihapus, semacam ikonoklasme.
Namun sampai sekarang belum tampak generasi baru pembaca epigraf setangguh lelaki kelahiran Rembang itu. Tak ada temuan-temuan baru yang polemis. Seperti ketika Boechari pada 1978 dalam sebuah seminar mengenai Sriwijaya menggegerkan dunia arkeologi. Dia ketika itu secara yakin menafsirkan sebuah kalimat di prasasti—Kedukan Bukit—yang pupus bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya terletak di desa kecil Palembang bernama Mukha Upang.
Juga tak terdengar muncul pemikiran berupa tafsir atas tafsir Boechari. Malah, yang menyedihkan, prasasti Sankhara koleksi Adam Malik—yang pernah dibaca Boechari—diberitakan hilang. Saat isi museum Adam Malik dilego keluarga, prasasti berharga itu dijual ke tukang loak yang lewat di depan rumah. Ia dianggap benda tak berguna.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo