MEMBANDINGKAN proses terjadinya Indonesia dengan negara Eropa sekarang saya kira kurang tepat. Perbandingan yang lebih tepat adalah antara proses lahirnya bangsa Indonesia dan proses terjadinya negara kebangsaan (nation state) di Eropa setelah Conggres Wina, 1985, yakni setelah Napoleon terkalahkan di Waterloo. Pada awal abad ke-19 inilah sebenarnya lahirnya negara kebangsaan yang unsur-unsurnya terdiri dari suku-suku bangsa yang berlainan. Contohnya ialah Jerman dan Swiss. Di sini yang menjadi kriteria bukanlah lagi ras, keturunan, bahasa, atau raja. Proses itulah yang terjadi di Indonesia sejak Sumpah Pemuda hingga sekarang ini. Adapun masyarakat Eropa sekarang, saya kira, lebih tepat jika dibandingkan dengan ASEAN. Berbeda dengan banyak tulisan mengenai kebudayaan Indonesia, yang umumnya kurang memperhatikan kenyataan bahwa kebudayaan kita itu masih dalam proses, Prof. Harsya Bachtiar justru mencoba mengemukakan proses terbentuknya bangsa Indonesia serta persoalan-persoalan yang timbul dalam proses yang masih terus berjalan itu. Tanggapan saya juga akan menjadi lebih mudah dimengerti jika dihubungkan dengan proses yang sedang berjalan itu. Dan karena proses terbentuknya suatu bangsa juga, dan barangkali, pertama-tama adalah masalah kebudayaan, maka tanggapan saya pun akan bertolak dari sudut kebudayaan. Bila kita bicara tentang kebudayaan bangsa Indonesia, kita memoicarakan kebudayaan suatu bangsa, penduduk suatu negara yang terbentuk kepulauan, yang terletak di antara benua Asia dan Australia dan di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Bentuk dan letak geografi itu banyak menentukan corak kebudayaan bangsa kita. Juga menyebabkan negeri ini sejak dulu mempunyai kebudayaan yang terbuka terhadap pengaruh luar. Sejarah kita dengan jelas menunjukkan, wilayah yang kini dikenal sebagai wilayah Republik Indonesia telah mengalami berbagai pengaruh kebudayaan yang bekas-bekasnya kadang-kadang tidak sulit kita temukan. Kita pernah mengalami pengaruh kebudayaan India, Cina, Arab, dan Persia, sebelum pada akhirnya kebudayaan Barat. Proses pengaruh itu terjadi terus-menerus dan hingga sekarang. Dan ini suatu hal yang tidak bisa kita elakkan. Tetapi juga karena faktor yang sama, geografis, pengaruh luar itu tidaklah merata, bahkan intensitasnya pun tidak sama. Jika kita punya peta kebudayaan, akan jelas kelihatan bahwa hanya beberapa daerah di Nusantara kita ini yang mengalami semua pengaruh luar. Setelah mencapai kemerdekaan, pemikiran tentang negara dan kemasyarakatan menjadi soal penting bagi kita semua. Pemikiran ini pun tidak lepas dari pengaruh-pengaruh luar yang makin lama makin lebih mudah mencapai kita. Dipengaruhi gerakan nasionalis, demokrasi, dan sosial di tempat lain di Benua Asia, timbullah pemikiran ideologis tentang bentuk negara dan masyarakat lahir dan tumbuhnya falsafah Pancasila merupakan bagan dan suatu pertumbuhan dan perkembangan suatu proses, tempat ideologi, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme dari gerakan nasional di Daratan Cina (Sun Yat Sen) ditambah dengan semangat humanisme serta didorong oleh kesadaran akan pentingnya agama, terutama Islam, di dalam kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Tidak kurang pentingnya ialah cara penduduk Nusantara ini mengatur kegiatan bernegara dan bermasyarakat. Bangsa Indonesia telah mengorganisasikan dirinya dalam suatu republik yang demokratis. Menurut cara ini, pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat. Maka, baik bentuk negara maupun tradisi demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat jelas sekali ikut membentuk corak kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak mungkin masyarakat seperti ini mengembangkan suatu kebudayaan lain dari kebudayaan kerakyatan berdasarkan persamaan hak. Teoretis, soal ini kelihatannya mudah. Tetapi pada kenyataannya banyak timbul soal dalam urusan kebudayaan ini. Salah satu, misalnya, ialah tempat kebudayaan daerah dalam kebudayaan nasional, serta hubungan satu kebudayaan daerah dengan kebudayaan daerah lain. Tadi saya katakan bahwa pengaruh luar tidaklah merata terhadap kebudayaan-kebudayaan daerah kita. Ini jelas berpengaruh kepada pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan daerah itu hingga kini. Dari sinilah sering muncul beda pendapat mengenai perbedaan tingkat kemajuan hidup kebudayaan di berbagai daerah. Tidak jarang kita lihat adanya kecenderungan menganggap seni budaya suatu daerah lebih maju dari daerah lain, karena nilai kebudayaannya dianggap lebih tinggi. Ini pada gilirannya akan, dan telah, mengundang reaksi dan daerah-daerah lain. Jika masalah ini kita tinjau dengan menggunakan Wawasan Nusantara, harus dikatakan bahwa tidak ada suatu budaya daerah yang secara apriori harus menempati tempat dominan. Semua seni budaya daerah mempunyai peranan yang sama semuanya mendapat kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangannya. Sikap atau wawasan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Wawasan seperti inilah yang dipergunakan para pelopor kemerdekaan kita yang tergabung dalam Angkatan 1928, sehingga mereka memilih bahasa Melayu (Riau) untuk dijadikan dasar bahasa Indonesia. Pemilihan ini dilakukan berdasarkan alasan-alasan obyektif, yaitu bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang tersebar cukup luas di kawasan Nusantara. Ia juga merupakan bahasa yang sederhana dan sekaligus demokratis. Yang juga tidak kurang penting, dan selalu kita bicarakan, ialah kedudukan kebudayaan asing di dalam membina kebudayaan nasional. Dalam memandang persoalan ini, Wawasan Nusantara dipengaruhi oleh kenyataan geografis bentuk negara kita. Wawasan Nusantara terbuka bagi unsur-unsur dari luar, termasuk unsur kebudayaan Barat. Bahkan, kalau kita cukup jujur, harus diakui bahwa hampir tidak ada segi kehidupan masa kini yang tidak dipengaruhi teknologi dan gaya hidup kebudayaan Barat. Unsur kebudayaan asing atau Barat dapat berguna dalam usaha membina kebudayaan nasional, sebagai faktor integrasi yang penting dalam menghadapi keanekaragaman budaya daerah yang sangat berlainan coraknya. Ia juga penting sebagai unsur pengisi yang berguna dalam hal terjadinya kekosongan alternatif. Walaupun jelas ada keterbukaan terhadap unsur luar ini, sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia sebaliknya menunjukkan banyak bukti bahwa, dalam proses atau pengolahannya, apa yang akhirnya dihasilkan ternyata memiliki ciri khas Indonesia juga. Demikianlah secara ringkas intisari pemikiran kebudayaan Indonesia menurut Wawasan Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini