Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Affandi dibiarkan dalam kabut

Pengarang : m. arsath rois bandung : angkasa, 1986 resensi oleh : jim supangkat.

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CORAT-CORET AFFANDI, 1942-1945 Disusun dari dokumentasi foto M. Arsath Rois, Mochtar Apin Penerbit: Angkasa, Bandung, 1986, 127 halaman AGAK sulit untu menimbang buku ini Sebagai kumpulan sketsa, buku ini kaya dengar gambaran penjelajahan seorang pelukis, di dunia garis. Namun, sebagai buku, ia sangat miskin akan informasi. Terlalu banyak lubang. Berbagai gejala menganga tanpa perenungan, dan sejumlah data terletak kucar-kacir. Maka Corat-Coret Affandi, 1944-1952 ini bisa juga dikatakan, "catatan corat-coret" -- ala kadarnya. Padahal, sketsa-sketsa masa awal dan surat-surat pribadi Affandi antara tahun 1952 dan 1954 yang dijadikan pokok bahasan buku ini bukan sekadar corat-coret yang ekspresif. Ia juga sebuah dokumentasi yang seharusnya sangat merangsang studi empiris -- bahkan memendam banyak sisi yang belum diketahui tentang Affandi. Yang mengganggu, justru tampilnya salah seorang penyusun buku ini, Profesor Mochtar Apin -- satu dari empat guru besar seni rupa, di Indonesia. Ternyata, jajaran data yang padat itu dibiarkan lewat begitu saja di mata seorang akademikus seni rupa kawakan. Sayang, memang! Maka, dua bagian dari buku ini, kumpulan sketsa dan kumpulan surat-surat pribadi Affandi, jadinya seperti padi menguning yang tak dituai, pemandangan indah yang cuma membangun lamunan tanpa manfaat. Rangkaian sketsa Affandi, tentu, bukannya tak bernilai. Tetapi di masa kini, ketika sebagian besar nilai dasar karya-karya Affandi -- yang dipercaya, besar -- masih terkubur, penggalan informasi menjadi sangat penting artinya. Keterangan-keterangan bukan cuma tak memadai pada buku ini, tapi malah berjumlah "minus". Coba simak, deretan sketsa yang dipaparkan tetapi tidak tersusun. Keterangan yang disertakan pada sketsa-sketsa tidak lebih dari catatan album: Indonesia, India, Eropa -- maksudnya bahwa karya-karya itu dibuat di Indonesia, di India, dan di Eropa. Kelemahan lain yaitu urutan tahun pembuatan. Ini diserahkan pada catatan pelukisnya sendiri yang kadang-kadang dicantumkan. Atau, tempo-tempo dilupakannya, dan lebih sering digoreskan tidak jelas -- hingga sulit dilacak, sekalipun dengan kaca pembesar. Seandainya ada sedikit ikhtiar, sebenarnya semua data dengan mudah bisa diungkapkan. Apalagi kumpulan sketsa itu milik dua tiga orang saja, dan Affandi yang membuatnya masih mudah dilacak -- sebagai sumber akurat, untuk konfirmasi. Bagian kedua, surat-surat pribadi Affandi 1952-1954 juga tampil "seadanya". Padahal, dokumentasi itu menghidangkan sejumlah kejutan. Tetapi dalam buku ini jadi samar, karena tak jelas porsinya. Siapa sangka Affandi, sebenarnya, fasih berbahasa Belanda -- dengan gaya Indo. Dan dia, di tahun 40-an, punya pengalaman kaya terjun ke lingkungan seni lukis modern Eropa. Di tengah surat-suratnya yang berisi pesan pribadi itu, tampak beberapa kesan penting seorang pelukis Indonesia, di masa itu. "Nu over Parijs tentoonstelling. Goede recenties en 14 in totaal. Ook ben ik uitgenoodigd om over mijn werk een lezing te houden in Universiteit Sorbone. Dus tot en met Parijs heb ik een goede waardeering. Tapi nyaeta Is, Parijs teh malarat. Djadi ik di Parijs makan angin dan pujian saja dari criticus. Geen enkel schilderij verkocht," begitu bunyi salah satu bagian surat Affandi, tanggal 18/3/53. (Sekarang tentang pameran di Paris. Banyak resensi bagus, total 14 buah. Saya juga diundang untuk memberikan ceramah tentang karya-karya saya di Sorbone. Jadi sampai di Paris saya mendapat penghargaan yang baik .... Tak sebuah pun lukisan terjual). Pemilik surat-surat pribadi ini M. Arsath Rois (siapa dia, wartawan? - tak dijelaskan) tercantum sebagai penyusun buku, di samping Apin. Rois -- terkesan pada surat-surat -- agaknya salah seorang sahabat Affandi di tahun 40-an yang banyak menyimpan dokumen berharga Affandi. Nah, lagi-lagi sayang. Mengapa ia tak membuat catatan keadaan ketika surat-surat itu dibuat. Atau, paling tidak, memaparkan dokumentasi lain, misalnya kliping resensi yang disebut-sebut Affandi ? Pada karangan pendek yang dibuatnya di bagian muka buku, Rois malah menurunkan hasil wawancara, 1982. Dalam wawancara itu ia mencoba mengungkapkan konsep "garis" Affandi dan sahabat itu tentu tak sampai ke mana-mana. Mengapa? Ini jawabannya, "Maafkanlah saya jika salah atau khilaf menilai tokoh Affandi, terutama penggunaan warna-warna dalam gubahannya yang mengagumkan saya, dalam cara yang khas Affandi. Jelasnya saya bukan pelukis, pun juga bukan ahli seni lukis ...." (halaman 15-16). Lalu bagaimana dengan karangan pendek Mochtar Apin yang "pelukis dan ahli seni lukis"? Dalam komentarnya yang lebih mirip kata sambutan, keterangan Apin tak berbeda jauh dari Rois. Tulisannya mengambil gaya "wartawan seni", bahkan di atas komentar yang mau berteori. Kena? Ini, "Dengan kesempurnaan dan keanggunannya sebuah gambar akan selalu merefleksikan jiwa senimannya. Corat-coret suatu gerakan, suatu sarana atau isyarat saja, tetapi yang betul-betul telah dipertimbangkan dengan sangat cermat dan matang, dapat menimbulkan keharuan estetis." (halaman 13). Misalnya Apin, sebagai akademikus, menyimak dasar-dasar teori yang sesungguhnya, komentarnya barangkali tidak sampai samar macam itu. Ambil saja, misalnya, teori yang menggariskan gambar ekspresif sebagai: bukan garis yang membentuk imitasi (gambaran) sebuah obyek tapi garis yang mencerminkan reaksi emosional dan persepsi estetik seniman terhadap obyek yang digambar. Garis-garis ekspresif itu kebetulan saja membentuk gambar. Manifestasi gambar, tak lain, media kontak seniman dengan obyeknya -- bagi sebuah dialog yang terus-menerus. Garis-garis itu disebutkan memiliki getaran estetik. (Virgil C. Aldrich, Philosophy of Art, 1963). Dari dasar itu, sebenarnya Apin bisa bergerak lebih jauh membedah gambar-gambar Affandi. Umpamanya, bagaimana emosi yang meletup bisa dihela membangun sebuah gambaran yang kadang-kadang punya makna simbolis pada gambar-gambar Affandi? Latar belakang humanistis? Dan inilah buku baru tentang Affandi. Tetapi sama saja dengan buku-buku pendahulunya, yang tak mampu menggali konsep pelukis besar itu. Kecuali, ini: ia seorang ekspresionis. Maka, Affandi, di tengah kebesarannya, tetap dalam kabut. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus