Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Intel Asing dalam Prahara 1965

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETENGAH abad berlalu dan tragedi 1965 tetap menyisakan banyak misteri. Di antara kabut yang masih menyelimuti bagian tergelap sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan itu adalah keterlibatan negara asing. Informasi tentang operasi intelijen berbagai negara di seputar peristiwa itu sangat banyak tapi terserak seperti puzzle yang belum disusun.

Adalah suatu kepastian bahwa Indonesia merupakan wilayah yang dianggap strategis dalam perebutan pengaruh antara blok Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika itu. Di bawah Presiden Sukarno, Indonesia dinilai condong ke kiri—terutama karena kedekatannya dengan Peking dan Pyongyang. Indonesia pun menjadi pusat perhatian kedua kubu bahkan setelah prahara 1 Oktober 1965.

Betapa pentingnya Indonesia terlihat dalam ringkasan informasi yang diserahkan badan intelijen Amerika Serikat, CIA, kepada Presiden Lyndon B. Johnson pada Oktober-November 1965. Dalam dokumen yang sejak Juli lalu dibuka untuk publik ini Indonesia selalu ditempatkan di urutan pertama. Biasanya diawali peta, dengan tanda yang menunjukkan lokasi kekuatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

Dokumen CIA untuk Presiden Johnson itu memuat uraian tentang kondisi Presiden Sukarno, peta kekuatan militer, gelombang anti-Partai Komunis Indonesia setelah peristiwa 30 September, juga pembasmian masyarakat yang dianggap sebagai kader partai tersebut. Ada pula bagian dari laporan CIA yang menyatakan semua jenderal Angkatan Darat sepakat menunjuk Jenderal Soeharto sebagai pemimpin operasi penumpasan PKI. Semua tentang pergolakan di Indonesia ada di lembar-lembar dokumen tersebut.

Berkas-berkas periode Oktober-November 1965 itu memang tidak menjelaskan keterlibatan CIA secara langsung dalam prahara 1965. Apalagi banyak bagian dari dokumen yang tetap ditutup menggunakan blok putih. Bisa jadi pemerintah Amerika Serikat menganggap informasi pada bagian itu masih sensitif.

Indikasi lebih jelas keterlibatan CIA bisa ditemukan pada dokumen rahasia bertanggal 23 Februari 1965, yang telah dideklasifikasi pada 2001. Dalam dokumen bertajuk "Memorandum yang Disiapkan untuk Komisi 303" itu disebutkan persetujuan komisi khusus Dewan Keamanan Nasional Amerika kepada CIA untuk melakukan aksi politik menghancurkan komunis di Indonesia. Caranya dengan menjalin "kerja sama diam-diam guna mendukung kelompok antikomunis, operasi surat gelap, operasi media, juga aksi politik di dalam organisasi dan lembaga di Indonesia".

Berbagai dokumen juga menunjukkan operasi penggalangan pada 1965 mungkin bukan hanya dilakukan intelijen Amerika Serikat, melainkan juga Inggris, Jerman, dan Belanda. Negara-negara itu diduga diam-diam memberikan bantuan dana, peralatan komunikasi, juga senjata. Yang diberikan secara terbuka hanya bantuan berupa makanan atau obat-obatan.

Aneka bantuan negara-negara Barat itu—baik yang disalurkan diam-diam maupun terbuka—bisa memberi penjelasan mengapa TNI Angkatan Darat mampu menggelar operasi penumpasan komunis besar-besaran di seluruh Indonesia. Padahal ketika itu negara hampir bangkrut, antara lain ditunjukkan dengan defisit anggaran dan inflasi yang supertinggi. Operasi ini membunuh ratusan ribu orang yang dicap pro-PKI dan menjebloskan ribuan lainnya ke penjara tanpa pengadilan.

Kabut 1965 harus disingkap. Rekonsiliasi harus dimulai dari hal paling mendasar, yakni penyelidikan secara menyeluruh untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Permintaan maaf pemerintah tanpa pengungkapan fakta adalah sia-sia.

Pengungkapan fakta 1965 memerlukan sikap terbuka dari pemerintah, militer, juga masyarakat yang majemuk. Adalah ironi ketika teror dan intimidasi muncul pada pemutaran film-film dokumenter yang menawarkan sudut pandang lain dibanding "versi resmi" di seputar peristiwa 30 September 1965. Film Jagal dan Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer, misalnya, tak bisa leluasa diputar di Tanah Air karena ancaman intimidasi.

Indonesia sepatutnya membuka arsip-arsip lama pada periode tertentu, seperti yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat dengan melakukan deklasifikasi dokumen rahasia berusia 30 tahun. Akses yang tertutup rapat itu membatasi usaha penyelidikan Peristiwa 1965. Sungguhpun harus diakui, dokumen-dokumen lama itu telah lenyap atau direkayasa selama 32 tahun kekuasaan Presiden Soeharto.

Usaha mengungkap tragedi 1965 selama ini juga dicap sebagai "tanda-tanda bangkitnya bahaya laten komunisme". Stempel itu tertancap kuat di banyak kalangan sejak Orde Baru dan masih bertahan hingga kini. Jika tidak disingkirkan, sikap semacam itu akan menutup selamanya kesempatan kita belajar dari sejarah gelap masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus