Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Agar Tragedi Mina Tak Terulang

Lebih dari 50 anggota jemaah haji Indonesia meninggal dalam tragedi Mina. Perlu reformasi fikih agar keselamatan tak diabaikan hanya demi mengejar waktu afdal.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maria Hafsah Yudha, 39 tahun, anggota jemaah haji asal Kabupaten Bandung yang tergabung dalam kelompok terbang Jakarta-Bekasi (JKS) 61, nyaris menjadi korban tragedi Mina pada Kamis, 10 Zulhijah (24 September) lalu. Menuju Jamarat atau tempat pelemparan jumrah pada Kamis pagi, Maria dan kawan-kawan berada dalam rombongan terakhir yang melalui jalur Qodarullah. Rombongan berikutnya diarahkan berbelok ke kiri menuju Jalan 204.

"Setelah kami, jalur ditutup. Yang lain diarahkan ke kiri. Rombongan ke kiri itulah yang mendapat musibah," ujar Maria, Sabtu dua pekan lalu. Sebagian grup yang masuk ke jalur kiri itu, kata Maria, berasal dari kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) Persis.

Maria dan rombongannya dari KBIH Nida Firdaus Bandung sengaja memilih waktu jumrah aqabah—melempar tujuh batu ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan—pada 10 Zulhijah karena mengincar waktu duha, mengikuti sunah. "Kami berangkat bersama-sama setelah salat subuh."

Waktu sekitar pukul 08.00 sampai sebelum zuhur itu (sekitar pukul 12.00) memang kerap disebut waktu afdal atau waktu utama. Nabi Muhammad SAW, yang hanya berhaji sekali, disebut melaksanakan jumrah aqabah pada waktu duha.

Jemaah, setelah jumrah aqabah pada 10 Zulhijah dan bermalam di Mina, kembali melempar jumrah aqabah, ula, dan wustha pada 11 dan 12 Zulhijah. Ritual ini dijalani jemaah yang mengambil nafar awal (melontar tiga hari). Sedangkan bagi yang mengambil nafar tsani (melontar empat hari), kegiatan melempar jumrah ditambah pada 13 Zulhijah.

Dorongan mengikuti waktu afdal inilah yang disebut sebagai salah satu penyebab jatuhnya banyak korban jiwa dalam tragedi Mina, Kamis dua pekan lalu—juga pada 2004 dan 2006. Belasan ribu orang berimpitan di satu ruas jalan, seribu lebih di antaranya tewas terinjak-injak. Sebanyak 57 anggota jemaah Indonesia, sampai Rabu pekan lalu, tercatat meninggal.

Kepala Daerah Kerja Makkah Arsyad Hidayat mengatakan panitia penyelenggara ibadah haji Arab Saudi sebenarnya sudah mengeluarkan jadwal melontar jumrah bagi tiap negara. Jemaah Indonesia, misalnya, dilarang melontar jumrah aqabah pada pukul 08.00-11.00 pada 10 Zulhijah. Jadwal itu diperuntukkan bagi jemaah Afrika dan Timur Tengah. "Saat itu adalah waktu yang sangat ramai pergi ke Jamarat," ujar Arsyad.

Kebijakan larangan itu sudah disampaikan kepada ketua kloter, ketua rombongan, dan ketua regu. "Kami sudah diberi tahu sejak manasik. Itu merupakan kebijakan dari tahun ke tahun," kata Ratna Lys Utami, 40 tahun, anggota kloter Jakarta-Pondok Gede (JKG) 10, yang dihubungi di Mekah, Rabu pekan lalu.

Deny Teguh Prasetyo, Kepala Regu 04, rombongan 4, kloter JKG 01, juga membenarkan, "Kami sejak awal dianjurkan untuk menghindari jam-jam afdal." Rombongan Deny menyelesaikan setiap jumrah menjelang subuh. Padahal, kata dia, jika mau, rombongannya bisa melakukan jumrah saat duha karena lokasi tendanya hanya berjarak 600 meter dari Jamarat.

Keselamatan jemaahlah yang menjadi pertimbangan utama pemerintah mengeluarkan kebijakan menghindari jumrah pada jam utama. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin mengatakan penentuan waktu melempar jumrah juga sudah mempertimbangkan aspek panasnya udara di Mina. Pemerintah pun mengatur jalur yang dilalui. Tujuannya agar jemaah terhindar dari berdesak-desakan di Jamarat."Insiden itu berada di luar jalur yang seharusnya dilalui jemaah haji Indonesia," kata Menteri Lukman.

Azyumardi Azra, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, memuji langkah pengaturan waktu jumrah itu. "Pemerintah mengutamakan keselamatan daripada keutamaan ibadah. Itu kebijakan yang bagus."

Lalu mengapa dengan kebijakan yang bagus itu tetap tak menyurutkan jemaah Indonesia—mengutip Azyumardi—"nyelonong pagi-pagi"? Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, menyebut faktor ketidakdisiplinan dan "kepercayaan" pada waktu afdal itu sebagai sumber munculnya persoalan.

Ahli hadis yang juga Naib (wakil) Amirul Haj pada 2009 itu mengusulkan perlunya reformasi fikih haji untuk mencegah musibah Mina terulang. Ia mengatakan dalam Islam ada dua kategori hukum, yaitu syariat, yang tak bisa diubah, dan fikih, yang dapat diubah berdasarkan situasi.

Memang banyak ulama menyebutkan melempar jumrah aqabah pada waktu duha pada 10 Zulhijah sebagai yang utama. Dasarnya, mencontoh pengalaman Nabi. "Tapi harus dilihat situasi ketika itu hanya ada 90 ribu anggota jemaah. Lha, sekarang ada 2 juta orang, bahkan pada 2014 ada 3 juta," katanya.

Dengan kondisi yang berbeda tersebut, ulama saat ini bisa mengeluarkan fikih yang, misalnya, menyebut melempar jumrah di waktu tertentu berbahaya. "Apa yang dulu disebut afdal atau sunah bisa menjadi haram demi keselamatan," ujarnya.

Yaqub juga mengusulkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) meninjau ulang pengaturan kuota haji. Ketentuan kouta, yang menyebut setiap 1.000 penduduk muslim hanya diperbolehkan mengirim satu orang berhaji, sudah tak relevan. "Pengaturan kuota itu sudah sejak 34 tahun lalu," katanya. Ia menyarankan ketentuan itu direvisi dengan mengubahnya menjadi 1 kursi untuk 5.000 orang.

Ia juga berpendapat perlu ada fatwa yang menegaskan bahwa berhaji ulang hukumnya haram, kecuali bagi mereka yang memiliki alasan syar'i, misalnya suami menemani istri. Semua usul itu, kata dia, demi memaksimalkan keselamatan jemaah.

Usul lebih radikal disampaikan Masdar Farid Mas'udi, Naib Amirul Haji 2015. Dia melontarkan ide agar ibadah pokok haji dapat dilakukan selama tiga bulan. Menurut dia, hal itu mengacu pada Al-Quran Surat Al-Baqarah: 197, yang berbunyi "(Musim) haji itu beberapa bulan yang dimaklumi"."Dalam Quran sangat eksplisit, haji itu waktunya beberapa bulan. Semua tafsir menyebutkan Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Karena itu, tidak masuk akal kalau waktu ibadah haji terbatas," ujarnya.

Masdar mengatakan, sebagai ibadah yang sangat fi'li, penuh dengan gerak dan intensif, haji tak mungkin jika tidak diberi waktu yang longgar, sebagaimana waktu salat yang diberi waktu longgar dari kebutuhan sekitar 10 menit. Hal ini berbeda dengan ibadah tarki (pasif), seperti puasa, yang diberi waktu pas-pasan.

Menurut dia, ibadah dengan waktu longgar memiliki dua konsep waktu, yaitu waktu utama dan selebihnya waktu boleh, yang sah dilaksanakan tapi tak mendapatkan keutamaan. "Seperti salat, waktu utama adalah awal. Tapi bukan berarti di luar waktu utama tidak sah," ujar Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.

Untuk haji, kata Masdar, waktu utamanya ada di ujung, sebagaimana yang dilakukan Nabi ketika melakukan haji—yang dilakukan hanya sekali seumur hidup Nabi. "Tapi, mengacu pada Quran, sejak 1 Syawal sudah sah menjalankan proses haji," ujarnya.

Ia juga mengajukan argumen lain bahwa haji adalah proses ibadah napak tilas secara spiritual para nabi. "Karena napak tilas, yang sangat esensial adalah petilasannya, tempatnya, bukan waktunya. Yang harus dijaga keasliannya adalah tempat petilasan, di mana proses haji dijalankan," ujarnya.

Karena petilasan hal yang esensial, ia menambahkan, tempatnya tak boleh diusik. "Maka diberi waktu longgar, agar tak dirusak saat jemaah membeludak," ujarnya. "Sekarang petilasannya hancur lebur. Nanti tempat wukuf akan dibeton, suasana kebatinan Padang Arafah, Padang Masyar, yang menggambarkan saat manusia dikumpulkan pada hari kiamat, sudah tak ada."

Dengan argumen itu, kata Masdar, kelak haji bisa diatur bergelombang, misalnya 10 hari pertama gelombang pertama, bisa 500 ribu sampai 1 juta orang, sehingga satu bulan bisa 3 juta orang. "Sehingga antrean yang begitu lama, berpuluh tahun, bisa diatasi," ujarnya.

Sebagai sebuah gagasan, kata Azyumardi, usul Masdar boleh saja dilontarkan, tapi ulama dunia akan menolaknya. "Karena ibadah haji tak bisa digeser-geser," ujarnya.

Tengku Zulkarnain, wakil ketua majelis fatwa ormas Islam Mathla'ul Anwar, juga menolak ide Masdar. "Sudah ditentukan bahwa 9 Zulhijah adalah wukuf dan 10 Zulhijah melakukan jumrah aqabah. Ini ibadah mahdhah, tata caranya sudah diatur Al-Quran dan dicontohkan Rasul," ujarnya.

Menurut dia, kelonggaran telah diberikan kepada jemaah untuk melakukan wukuf dan melempar jumrah. "Wukuf diberikan waktu dari pagi hingga malam, sedangkan melempar jumrah bisa dilakukan sampai 13 Zulhijah," ujarnya.

Erwin Zachri, Ahmad Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus