Salim Said
Konsultan politik yang bekerja di perusahan konsultan PT Indoconsult, Jakarta
Jauh sebelum invasi ke Irak dimulai, bahkan sebelum musibah 9/11 menimpa World Trade Center dan Pentagon, gagasan menggusur rezim Saddam Hussein sudah berkecambah di kalangan kaum Neokonservatif (Neokon) yang mendominasi garis-garis kebijakan politik luar negeri Presiden Bush. Bagi kaum Neokon, musibah 9/11 adalah berkah terselubung dalam bentuk momentum yang menggusur penghalang bagi gagasan invasi.
Kaum Neokon berhasil meyakinkan Presiden Bush bahwa 9/11 adalah konsekuensi politik klasik Amerika terhadap Timur Tengah yang oleh mereka dijuluki berdasarkan "Kesepakatan Setan". Di masa Perang Dingin, kebijakan demikian sebenarnya dipraktekkan Amerika di mana-mana—Timur Tengah, Amerika Latin, Asia Tenggara—karena alternatifnya sangat tidak menguntungkan, yakni kemungkinan mereka berpihak pada Blok Timur.
"Kesepakatan Setan" dengan negara-negara Timur Tengah membuat Amerika Serikat mendapat keamanan suplai minyak dan jaminan antikomunis. Sebagai imbalannya, Amerika mendukung pemerintahan-pemerintahan otoriter untuk berbuat apa saja kepada rakyat mereka. Pada pasca-Perang Dingin ini, kebijakan lama Amerika terhadap Timur Tengah, selain tidak beralasan lagi untuk dilanjutkan, di mata kaum Neokon, ternyata hanya menghasilkan Usamah bin Ladin.
Penggempuran terhadap Usamah bin Ladin, yang kini dianggap sebagai ancaman utama bagi keselamatan Amerika, menurut jalan pikiran Neokon, hanya bisa berhasil jika "Kesepakatan Setan" diakhiri dengan cara melakukan nation building di Timur Tengah, karena akar teror itu ada di sana, menurut mereka. Sasaran utama kebijakan kaum Neokon itu adalah Saddam Hussein. Alasan yang dipakai adalah ancaman dari Irak yang dituduh punya senjata pemusnah massal (WMD). Bahwa sampai sekarang tidak terbukti adanya WMD di Irak, ini tidak begitu penting bagi Washington, karena dari dulu isu itu hanya alasan yang diciptakan untuk kepentingan invasi. Seandainya alasan WMD tak ada, pastilah akan diciptakan isu lain, misalnya pelanggaran hak asasi manusia. Itulah sebabnya dari awal harus bisa diramalkan bahwa setelah Irak, Suriah—juga berada di bawah rezim Partai Baath—akan menjadi sasaran, sebelum akhirnya Arab Saudi, Libya, Sudan, Mesir, dan Yaman mendapat bagian. Semuanya—menurut konsep Neokon—akan dipaksa melakukan proses nation building seperti yang dibayangkan dan direncanakan oleh tidak lebih dari 25 orang di Washington itu.
Rancangan mereka, seperti sudah kita lihat, telah mulai dilaksanakan pemerintah Amerika di Afganistan dan Irak sekarang ini. Dalam rangka inilah sejumlah komentator berbicara mengenai teori domino imperialisme Amerika di Timur Tengah. Mungkin karena menyadari ancaman ini, pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, cepat-cepat berubah menjadi jinak dan meninggalkan semua proyek pembuatan senjata yang dengan mudah bisa saja dituduh sebagai WMD dan jadi alasan bagi invasi Amerika.
Untuk lebih mengerti invasi ke Irak, kita juga harus ingat bahwa Amerika Serikat pasca-Perang Dingin adalah negara adidaya tunggal tanpa kekuatan apa pun dan siapa pun yang sanggup mengontrolnya, apalagi menentangnya. Perhatikan, misalnya, bagaimana Washington menghina Perserikatan Bangsa-Bangsa tanpa akibat sama sekali. Dinamika adidaya tunggal—sadar sebagai bangsa yang paling kuat sendiri—itulah yang mendorong Amerika untuk berbuat apa saja tanpa ada yang bisa menghalanginya. Dengan latar belakang inilah muncul golongan kecil pemikir strategis yang kemudian kita kenal sebagai Neokon itu. Simbiosis lalu terjadi ketika Bush junior yang jadi presiden memerlukan gagasan buat memimpin ke depan.
Ada kemungkinan keberanian Saddam menantang Amerika tak berdasarkan perhitungan militer semata. Sampai selesainya interogasi dan pengadilan atas diri Saddam, semakin tampak kemungkinan Saddam telah salah hitung. Jika benar demikian, ini adalah kesalahan besar kedua Saddam dalam berhadapan dengan Washington. Yang pertama ketika ia menginvasi Kuwait. Sebelum itu, ketika berperang melawan Iran, Irak adalah sekutu Amerika. Bantuan senjata dan intelijen mengalir dari Washington, yang sangat marah dan benci kepada Ayatullah Khomeini, yang menggulingkan sekutu setia Washington, Shah Reza Pahlevi. Karena merasa didukung Amerika, lantas saja Saddam melaksanakan impian lamanya, menguasai Kuwait. Saddam lupa bahwa Kuwait adalah sekutu Amerika dan, karena itu, negeri tetangga Irak tersebut, seperti Arab Saudi waktu itu, tidak boleh diganggu. Lagi pula Irak yang menguasai Kuwait adalah Irak yang lebih kuat sehingga membahayakan kepentingan strategis Amerika di Timur Tengah. Tidak pula ada jaminan bahwa setelah menguasai Kuwait, Saddam tidak akan mengganggu Arab Saudi dan negara Arab kaya lainnya, terutama yang terletak di bagian utara Jazirah Arab. Salah hitung karena menyepelekan kepentingan strategis Amerika, Irak kemudian dipaksa memikul derita dan menanggung malu ketika terusir dari Kuwait untuk selanjutnya memikul beban embargo ekonomi PBB.
Menjelang invasi Amerika ke Irak, Saddam tampaknya mengandalkan dua hal: opini dunia yang menolak rencana invasi dan ancaman perang kota yang ditakuti Amerika sejak tragedi Mogadishu. Andalan pertama gagal akibat posisi kuat Washington yang sanggup menyepelekan opini dunia. Yang kedua tidak berhasil karena kontrol Saddam terhadap tentaranya adalah penguasaan semu yang berlaku hanya ketika ancaman serius dari luar belum tampak. Bahkan pasukan Garda Republik, yang dimanjakan, diandalkan, dan merupakan loyalis Saddam, terbukti tidak lebih dari tentara bayaran yang sudah kocar-kacir ketika tank-tank Amerika baru mendekati pinggiran Kota Bagdad.
Tak lama setelah menduduki Bagdad—dan keberadaan Saddam tak diketahui—Washington menjelaskan bahwa yang penting bukan menemukan Saddam, melainkan menggulingkan rezim yang dipimpinnya. Target tersebut sudah dianggap tercapai waktu itu. Maka tampillah Presiden Bush, di atas sebuah kapal induk, mengumumkan berakhirnya perang dengan hasil gemilang. Tanpa diduga sebelumnya, perlawanan dengan korban di kalangan tentara Amerika dan pasukan Sekutu yang tak kunjung surut membuat deklarasi Bush menjadi hanya semacam lelucon. Pada peringkat perkembangan mencemaskan inilah Saddam tampaknya menjadi penting kembali dan, karena itu, perlu ditangkap. Mantan presiden itu dicurigai sebagai pemimpin perang gerilya. Tapi cara tertangkapnya Saddam—tanpa pengawal, tanpa perlawanan, tanpa alat komunikasi—dan perlawanan yang tidak mereda setelahnya menunjukkan bahwa Saddam bukan faktor penting lagi sejak rezimnya runtuh.
Sementara itu, laporan intelijen Barat menyebut adanya paling sedikit sebelas kelompok yang melawan Amerika di Irak sekarang. Di antara mereka tetap ada sejumlah bekas pengikut Saddam, tapi juga ada kaum nasionalis dan golongan Islam yang tadinya anti-Saddam tapi kini memusuhi Amerika sebagai penjajah. Kecurigaan Amerika akan adanya kekuatan Al-Qaidah yang juga memerangi tentara pendudukan amat masuk akal. Bukankah mereka memang telah bertekad akan menyerang Amerika di mana saja? Menariknya, kecurigaan itu dengan bangga diakui kebenarannya oleh juru bicara Bin Ladin.
Perang yang dihadapi Amerika dan para sekutunya pasca-kejatuhan Saddam tampaknya tidak dalam perhitungan Washington sebelum memulai invasi. Irak sekarang ternyata jauh lebih serius dari Mogadishu. Di Mogadishu, tatkala mayat tentara Amerika dipertontonkan oleh CNN dalam keadaan terhina dan diseret oleh kendaraan di jalan-jalan kota oleh para pendukung Jenderal Farah Aidid, Washington dengan segera menarik pasukan mereka. Dari Irak, Amerika sulit menarik pasukan karena invasi adalah bagian dari rencana besar kaum Neokon yang telah dianut dengan khusyuk oleh Presiden Bush. Akibatnya, bukan saja jumlah korban akan terus menjadi konsumsi siaran-siaran televisi, biaya pendudukan juga akan bertambah ketika usaha nation building tidak pula kunjung selesai.
Mungkin terlalu dini memastikan arah kepentingan politik kaum Neokon. Tapi Ari Shavit, kolumnis surat kabar liberal Israel, Haaretz, dalam kolomnya pada edisi 5 April 2003 menyebut bahwa pemikir inti Neokon itu tidak lebih dari 25 orang, "sebagian besar Yahudi" (salah seorang dari mereka adalah Paul Wolfowitz, mantan Duta Besar Amerika di Jakarta dan sekarang orang kedua di Pentagon), dan semuanya berkantor di Washington. Sumber lain di Washington menyebutkan bahwa para pemikir Neokon itu memiliki hubungan sangat baik dengan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon.
Analisis menjelaskan bahwa kepentingan dan kesinambungan hidup (survival) Israel di bawah garis keras Sharon bukan tidak masuk pertimbangan kaum Neokon ketika mereka merancang nation building bagi Timur Tengah. Dengan reformasi atas dunia Arab—mengubah negara-negara Arab mengikuti bangun rancang konsep kaum Neokon—wilayah di sekitar Israel akan berada di bawah elite politik Arab yang akan menjalankan kebijakan Amerika, seperti yang dulu dilakukan dengan baik oleh Shah Reza Pahlevi di Iran. Dengan latar belakang seperti inilah soal Palestina nantinya akan mereka selesaikan. Jika analisis ini ada kekuatannya, rencana penyelesaian konflik Palestina-Israel yang kini dikenal sebagai Road Map mudah dibayangkan akhirnya tidak akan ke mana-mana dan tak akan menghasilkan apa-apa, karena Road Map yang sebenarnya adalah melalui nation building yang langkah pertamanya telah dimulai dengan menginvasi Irak.
Kini, sehubungan dengan rencana nation building yang dimulai di Irak lewat pembentukan sebuah dewan yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara, ada baiknya kita kembali kepada hari bersejarah dirobohkannya patung Saddam pada sebuah taman di dekat Hotel Palestina, di tengah Kota Bagdad. Ketika patung Saddam roboh, yang bergembira bukan hanya marinir Amerika yang berjasa merobohkan patung tersebut, tapi juga mereka yang bertahun-tahun tertindas oleh Saddam. Rezim Saddam Hussein adalah contoh mutakhir yang nyaris sempurna dari jenis kediktatoran yang digambarkan oleh George Orwell dalam novelnya yang berjudul 1984. Ilham Orwell adalah rezim Stalin, diktator Uni Soviet yang kebetulan pula merupakan model rezim Saddam Hussein.
Marilah sekarang kita bandingkan pengalaman Irak dan Indonesia dalam melakukan pergantian rezim. Bisa dipastikan bahwa robohnya patung Saddam dan runtuhnya rezim totaliter Baath di Irak hanya mungkin oleh campur tangan Amerika. Merobohkan patung saja memerlukan marinir Amerika, sementara warga Bagdad hanya sanggup menunggu sebelum mendapat kesempatan menghina patung itu—mereka sendiri tidak sanggup merobohkannya.
Sebaliknya Indonesia. Kita melakukan dua kali pergantian rezim, yang—kendati berdarah-darah—tanpa bantuan asing. Indonesia menggunakan tenaga politik sendiri untuk menggulingkan Sukarno dan kemudian Soeharto. Dan kedua presiden tersebut tidak pernah berhasil menciptakan rezim totaliter, meski mereka bukan tak berusaha ke arah sana. Paling jauh mereka menghasilkan pemerintahan otoriter. Ini berarti di Indonesia ada cukup kekuatan politik domestik guna mempertahankan diri, untuk akhirnya melakukan perubahan politik dengan kekuatan sendiri. Di Irak, keadaan justru sebaliknya.
Maka, jika di Indonesia saja diperlukan banyak tahun untuk secara perlahan dan dengan kekuatan sendiri membangun demokrasi pada era pasca-Orde Baru ini, pertanyaannya adalah berapa banyak tahun, berapa banyak biaya, dan berapa banyak lagi manusia yang harus menjadi korban sebelum Amerika berhasil menyelesaikan nation building di Irak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini