Todung Mulya Lubis
Pendiri Center for Electoral Reform (Cetro).
Persoalan Aceh sepertinya tak pernah selesai, sejak zaman kolonial sampai sekarang. Perang melawan penjajah yang berpuluh tahun, pemberontakan DII-TII, daerah operasi militer, dan sekarang keadaan darurat militer. Masa damai di Aceh tak pernah berlangsung lama sehingga pertumbuhan ekonomi Aceh tak pernah optimal. Jumlah rakyat miskin tetap banyak, dan masa depan tak jelas kapan cerahnya. Kita tidak tahu sampai berapa lama persoalan Aceh ini akan selesai.
Seperti kita ketahui, keadaan darurat militer telah diperpanjang untuk enam bulan lagi sejak November 2003. Perpanjangan ini memberi kekuasaan pemerintahan berada di tangan militer, yang dalam hal ini dijabat oleh Mayjen Endang Suwarya selaku Penguasa Darurat Militer Daerah (selanjutnya disebut Penguasa Darurat). Gubernur dan semua jajaran sipil di bawahnya harus tunduk pada kebijakan dan perintah Penguasa Darurat. Dengan keadaan seperti ini, Penguasa Darurat dapat menggunakan semua aparat dengan leluasa dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka yang diyakini masih terus-menerus berjuang untuk memisahkan diri dari Republik. Komando di bawah satu tangan dianggap harus diterapkan karena situasi Aceh yang rawan. GAM, sebelum keadaan darurat militer diberlakukan, telah merasuk sangat mendalam ke sebagian besar wilayah Aceh. Dengan kondisi begitu, Aceh bukan mustahil akan terlepas dari Indonesia.
Menurut penuturan Penguasa Darurat, keadaan Aceh sekarang jauh lebih aman. Aktivitas ekonomi di Banda Aceh dan beberapa kota lain sudah berjalan normal, tapi keadaan darurat militer ini masih tetap harus dipertahankan karena GAM setiap saat bisa saja memporak-porandakan keadaan aman menjadi tidak aman. Sangat mungkin Penguasa Darurat benar karena lembaga itu punya semua data dan informasi. Tapi banyak juga orang Aceh yang merasa keadaan darurat militer ini sebagai kebijakan yang berlebihan. Opsi darurat sipil atau operasi militer terbatas di daerah yang tidak aman seharusnya dipilih karena akan membuat luka orang Aceh, yang sudah sedemikian dalam, tidak menjadi lebih dalam lagi. Persoalannya, opsi ini akan mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil, dan militer harus menundukkan dirinya pada pemerintahan sipil. Yang dikhawatirkan di sini adalah melemahnya kesiapan militer dalam menghadapi GAM sehingga GAM akan mampu memperkuat posisinya di banyak kantong rakyat sipil dan bisa mengancam keutuhan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik.
Katakanlah Penguasa Darurat benar, pertanyaannya sekarang: bagaimana pemilu bisa diadakan pada April dan Juli mendatang? Apakah pemilu bisa diadakan dalam keadaan darurat militer yang sarat dengan suasana "tidak bebas"? Harap diingat bahwa Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilu secara tegas mengatakan bahwa "pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Persyaratan ini adalah persyaratan normatif yang sifatnya universal. Semua pemilu di dunia didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Lebih jauh lagi, pemilu di mana pun selalu diadakan dalam keadaan normal, tidak dalam keadaan darurat militer. Pakistan, terakhir ini, mengadakan pemilu setelah keadaan darurat militer dicabut. Tentu ini tidak berarti semua pemilu dalam keadaan normal itu tak ada pelanggaran, tetapi paling tidak secara normatif kita tak bisa menuduh bahwa pemilih dikungkung oleh keadaan "tidak bebas" karena keadaan darurat militer.
Penguasa Darurat sudah mengatakan bahwa militer akan bersikap netral dalam pemilu di Aceh. Pertanyaannya: apakah hal ini dapat menjamin rasa "bebas" dalam pemilu nanti, mengingat Undang-Undang No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya memberikan begitu banyak kekuasaan kepada penguasa yang pada gilirannya akan mengancam rasa "bebas" tersebut? Apalagi Penguasa Darurat pernah mengatakan tak akan membolehkan pemantau asing masuk ke Aceh. Perlu dicatat di sini bahwa Undang-Undang No.12/2003 tentang Pemilu menjamin adanya pemantau dalam pemilu, sehingga bukan mustahil larangan itu ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang No.12/2003.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah, dalam hal pemilu tetap diadakan di Aceh, undang-undang mana yang akan berlaku: Undang-Undang No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya atau Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilu? Apabila yang berlaku adalah Undang-Undang No. 23/1959, pastilah aroma ketidakbebasan akan mengedepan karena undang-undang ini, misalnya, memberi kewenangan kepada Penguasa Darurat untuk membatasi kebebasan informasi bagi pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu melalui wewenang menguasai perlengkapan pos dan telekomunikasi, pemancar, penerbitan, dan surat-surat. Lalu, ada pula pembatasan terhadap mobilitas melalui wewenang untuk memaksa warga agar tidak meninggalkan wilayah dalam waktu tertentu, atau memaksa warga meninggalkan wilayah untuk waktu tertentu, serta pembatasan lalu-lintas darat, laut, dan udara. Lebih jauh, ada juga pembatasan terhadap hak untuk menyatakan pendapat dan berkumpul melalui wewenang menutup gedung-gedung atau balai pertemuan, ditambah wewenang untuk melakukan penahanan maksimum 20 hari dan dapat diperpanjang sampai 50 hari. Alhasil, baik pemilih, peserta pemilu, maupun penyelenggara pemilu tak akan dapat "bebas" dalam menjalankan hak konstitusional mereka.
Kalau berlakunya Undang-Undang No. 23/1959 ditambah dengan Keppres No. 43/2003 yang melarang warga asing, LSM, wartawan, asing maupun nasional, melakukan kegiatan di Aceh tanpa seizin Penguasa Darurat, sempurnalah ketidakbebasan di Aceh. Sulit untuk membayangkan bahwa pemilu akan dapat berlangsung di Aceh seperti yang diharapkan banyak pihak. Atau, kalaupun dilaksanakan, bukan mustahil pemilu di Aceh akan menguntungkan partai-partai tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Kalau ini yang terjadi, jangan heran jika ada pihak atau kelompok yang menggugat pemilu di Aceh sebagai pemilu yang tidak sah atau cacat karena tak memenuhi syarat normatif yang tertuang dalam Undang-Undang No. 12/2003. Buntut-buntutnya, kita akan melihat ada pihak atau kelompok yang mempertanyakan keabsahan pemilu di Aceh ke Mahkamah Konstitusi, yang memang berwenang memeriksa perkara yang menyangkut keabsahan pemilu.
Mungkin Penguasa Darurat tak membayangkan hal ini akan terjadi, padahal konfigurasi ketatanegaraan kita tengah mengalami perubahan, yakni Mahkamah Konstitusi telah hadir dengan kewenangan yang cukup menentukan. Sebaiknya pemerintah memikirkan mengenai hal ini secara lebih serius, satu dan lain hal untuk menjaga integritas hasil pemilu secara keseluruhan. Sebab, jangan karena cacat pemilu di Aceh, pemilu di tempat lain juga terimbas. Ini sama artinya dengan rusak susu sebelanga karena nila setitik.
Kalau kita membaca Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan, sesungguhnya selain keadaan darurat militer kita punya opsi lain, yaitu operasi militer terbatas khusus di daerah-daerah yang masih bergejolak. Opsi ini, kalau dipilih, akan bisa menyelamatkan pemilu dalam artian di daerah-daerah aman pemilu bisa dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan normatif, atau dalam suasana yang "bebas" sehingga tudingan pemilu diadakan dalam iklim "tidak bebas" bisa dikesampingkan. Wacana dan sosialisasi tentang opsi ini sudah berkali-kali didengungkan, tetapi kita tetap dihadapkan pada telinga tertutup sehingga tidak salah jika ada yang bertanya: kenapa keadaan darurat militer ini secara mati-matian dipertahankan? Ada apa di balik semua ini? Juga, berapa banyak anggaran yang mesti disediakan untuk membiayai keadaan darurat militer ini kalau pada enam bulan pertama keadaan darurat militer sudah menghabiskan biaya sekitar Rp 1,6 triliun? Bukankah dana tersebut lebih baik dipakai membangun kembali gedung-gedung sekolah dan berbagai prasarana umum yang sudah hancur?
Pilihan operasi militer terbatas tampaknya merupakan pilihan yang layak untuk dipertimbangkan, terutama untuk menghindari cacat pemilu yang pasti akan jadi sumber gugatan pihak-pihak yang tak ikhlas menerima kekalahan. Selain itu, yang paling penting dipikirkan adalah bahwa mengadakan pemilu dalam keadaan darurat militer jelas akan memberi peluang kepada GAM untuk berkoar-koar bahwa pemerintah memang tidak punya itikad baik untuk menyelenggarakan pemilu yang "langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Karenanya, pemilu di Aceh tidak sah. Karenanya pula, jalan satu-satunya buat Aceh adalah menjadi negara sendiri terlepas dari Indonesia. Saya heran bahwa hal ini tak terpikirkan oleh pihak-pihak yang mempertahankan keadaan darurat militer di Aceh.
Sudah waktunya pemerintah berpikir realistis dan strategis dalam artian menyelamatkan keseluruhan integritas pemilu, dan untuk itu satu-satunya jalan adalah meniadakan keadaan darurat militer, atau setidaknya membuat jeda darurat militer. Khusus untuk daerah-daerah yang masih bergejolak, Undang-Undang No. 12/2003 memungkinkan diadakannya penundaan pemilu atau pemilu susulan karena gangguan keamanan. KPU seharusnya dapat memberikan "advis" ini kepada pemerintah sehingga apa yang oleh Penguasa Darurat disebut sebagai "pesta demokrasi" (walau saya tak setuju dengan istilah ini) dapat terselamatkan. Jadi, KPU tidak menjadi "stempel" bagi perpanjangan keadaan darurat militer.
Putusan memang ada pada tangan pemerintah, dan tulisan ini pun sekadar memberikan wanti-wanti karena Pemilu 2004 buat republik ini adalah sebuah milestone, suatu tonggak sejarah yang seharusnya memulai bab baru dari konsolidasi demokrasi. Karena itu, penting agar pemilu di Aceh tidak menjadi sekadar pemilu-pemiluan, tetapi suatu pemilu yang memenuhi semua persyaratan normatif universal sehingga tak menuai kecaman dan gugatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini