Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan penomoran buku internasional (ISBN) kembali menuai reaksi dari masyarakat perbukuan, terutama penerbit.
Perihal dumi buku menghebohkan jagat perbukuan terkait dengan syarat pengajuan ISBN dari Perpustakaan Nasional baru-baru ini.
Setiap buku yang hendak diajukan permohonan ISBN-nya harus dilengkapi dengan berkas PDF dumi buku tanpa markah bayangan (watermark).
KEBIJAKAN penomoran buku internasional (ISBN) kembali menuai reaksi dari masyarakat perbukuan, terutama penerbit. Setelah terjadi pengetatan pemberian ISBN beberapa waktu lalu oleh Perpustakaan Nasional, terbit pula surat edaran 30 Maret 2023. Setiap buku yang hendak diajukan permohonan ISBN-nya harus dilengkapi dengan berkas portable document format (PDF) dumi buku tanpa markah bayangan (watermark). Aturan itu berlaku per 1 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, kewajiban ini hanya dipenuhi dengan menyerahkan berkas PDF sampul dan halaman pendahulu (preliminaries) buku tanpa harus menyertakannya secara lengkap (sampul dan seluruh isi buku). Tentu bagi mereka yang bergiat di bidang penerbitan paham betul bahwa dumi buku merupakan berkas “rahasia” yang tidak dapat diserahkan begitu saja kepada pihak lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajar jika reaksi muncul dari sejarawan JJ Rizal, pemimpin penerbit Komunitas Bambu. Rizal ragu terhadap faktor keamanan berkas PDF ini. Artinya, tidak ada jaminan pasti berkas itu bakal tidak tersebar. Di sisi lain, Perpustakaan Nasional sebagai otoritas pengelola ISBN di Indonesia berkilah bahwa berkas PDF itu akan terenkripsi secara otomatis lalu terhapus secara berkala.
Mari kita telusuri makna dumi buku. Dumi berasal dari dummy dalam bahasa Inggris. Menurut sejarahnya, penggunaan kata dummy berawal pada abad ke-16. Dalam bahasa Inggris, dummy bermakna “tiruan” atau “palsu”. Secara etimologi, ia berasal dari bahasa Inggris kuno, dumm, yang bermakna “bisu” atau “tidak dapat berbicara”.
Penggunaan berikut makna kata ini meluas di dunia industri, termasuk industri penerbitan, untuk menyebut model/prototipe produk sebelum diproduksi secara massal. Dari hal ini maka dapat dipahami bahwa dumi dianggap “bentuk rahasia” dalam industri yang sangat dijaga.
Martin H. Manser dalam buku Printing and Publishing Terms (1988) mendefinisikannya sebagai “suatu sampel (contoh) tawaran pekerjaan yang disertai dengan bahan (material) nyata dan dipotong sesuai dengan ukuran sebenarnya untuk memperlihatkan berapa besarnya, gaya penjilidan, dan sebagainya”. Artinya, dumi merupakan prototipe buku secara fisik sebagai acuan percetakan untuk produksi massal.
Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan dumi buku oleh Perpustakaan Nasional sebagai berkas (fail) buku secara elektronik tentu berbeda dengan pemahaman yang berlaku selama ini. Berkas elektronik buku termasuk hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh penerbit sehingga tidak sembarang dapat diberikan tanpa ada jaminan perlindungan. Di dalam penerbitan buku elektronik, perlindungan ini dikelola melalui digital rights management (DRM) untuk mengantisipasi pembobolan berkas.
Saat mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V, saya menemukan keterangan mengenai dumi yang kurang tepat. Dumi sebagai nomina dalam bidang kegrafikaan dipadankan dengan frasa “cetak coba”. Sepemahaman saya, “cetak coba” merupakan hasil padanan dari istilah galley proof dalam bidang penerbitan/percetakan (kegrafikaan). Istilah ini juga melahirkan pekerjaan bernama proof reading atau korektor yang bertugas memeriksa cetak coba.
Cetak coba pada hakikatnya berbeda dengan dumi. Dari segi format, cetak coba merupakan lembaran-lembaran halaman yang belum tersusun. Kata galley yang bermakna dapur merujuk pada sejarah pencetakan masa lalu. “Dapur-dapur” cetak dulu menyediakan penampan/baki logam panjang yang digunakan untuk membuat huruf. Cetak coba digunakan untuk memeriksa bagian-bagian naskah yang salah.
Koreksi cetak coba atas kesalahan yang dilakukan pengeset huruf (setter) diberi tanda merah, sedangkan kesalahan lain yang disebabkan, misalnya, oleh penulis diberi warna lain. Dengan demikian, biaya kesalahan dapat dibagi secara adil dan benar (Manser, 1988).
Meskipun tertulis d-u-m-i, secara umum banyak orang mengucapkannya d-a-m-i sebagaimana pelafalan kata itu dalam bahasa Inggris. Sama halnya dengan kata gender yang sering diucapkan menjadi jender.
Begitulah perihal dumi buku yang menghebohkan jagat perbukuan terkait dengan syarat pengajuan permohonan ISBN dari Perpustakaan Nasional baru-baru ini. Semoga kita menginsafi tentang dumi buku dan ada solusi terbaik atas polemik ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dumi Buku"