Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Hawamisy

Marginalia sebuah upaya alamiah untuk memahami dan memberi konteks, dan mungkin pertanyaan, pada hidup.

9 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Tempo/Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP lepas salat subuh, di banyak pondok pesantren di Nusantara, para kiai tradisional membuka kitab kuning, membaca setiap baris yang tertera, sambil sesekali menerangkan isinya. Para santri—yang sebagian terkantuk-kantuk—membuka kitab yang sama, meletakkannya di meja rendah yang panjang, lalu mencatat keterangan pak kiai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para santri tidak membawa buku tulis. Mereka menuliskannya secara diagonal di bawah setiap kata di kitab yang dibaca. Keterangan dari kiai mereka catat dalam bahasa daerah dengan aksara pegon (huruf Arab yang dimodifikasi agar sesuai dengan bunyi lokal). Kadang berupa tafsir, derajat kesahihan sebuah informasi, atau seringnya sekadar terjemahan kata tersebut dalam bahasa daerah. Ada juga anekdot, cerita, atau interpretasi luas dari sang kiai. Jika keterangan itu tak muat ditulis di bawah teks asli, mereka menuliskannya di tepi halaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Catatan-catatan para santri itulah yang membuat buku-buku yang ditulis ratusan tahun lalu di tempat yang berbeda-beda kembali mendapatkan konteks kekinian dan kesiniannya. Lewat tafsir, komentar, dan bahkan kisah serta anekdot itu, para kiai membumikan kitab-kitab tersebut untuk bisa dipahami oleh para santri masa kini. Tanpa catatan yang terlihat seperti cacing itu, kitab-kitab yang datang dari jauh tersebut terasa asing.

Catatan di tepi buku itu dalam bahasa Arab disebut hawamisy. Dalam bahasa Latin disebut marginalia. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya belajar ilmu-ilmu keislaman. Bahkan kitab-kitab klasik keislaman yang terbit di masa lalu memiliki ruang sangat luas di ketiga sisi luar halamannya untuk memberi ruang bagi hawamisy.

Catatan yang lebih komprehensif kerap diterbitkan sebagai buku sendiri dalam genre ta'liqat (komentar). Sering kali teks asli dipertahankan keutuhannya dan komentar hanya ada di bagian bawah halaman. Sebagian besar komentar itu berupa penjelasan, tapi tak jarang merupakan bantahan pada teks asli. Dengan hawamisy itu para pembaca bisa membayangkan dialog bahkan perdebatan antara penulis asli dan komentatornya.

Marginalia atau hawamisy tentu bisa kita dapati dalam tradisi keilmuan mana pun. Di Eropa, pada Abad Pertengahan, ketika sebuah buku bisa semahal rumah, marginalia memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam ilmu keagamaan, ketika para agamawan memberi catatan penting di sudut-sudut Alkitab. Marginalia adalah ruang tempat pembaca tidak hanya menjadi “konsumen”, tapi juga “produsen” pengetahuan.

Di era digital, ketika orang banyak membaca dalam bentuk buku elektronik, marginalia tetap ada, walau tak terlihat secara langsung. Fitur comment atau note tetap bisa kita jumpai di Kindle atau Google Play Book, meski agak tersembunyi.

Kemajuan teknologi tak mampu menghapus tradisi ini. Keberadaannya tetap dibutuhkan karena marginalia merupakan visualisasi dari apa yang terlintas di otak manusia saat membaca buku. Ia selalu ada, meski tak selalu dituliskan.

Dalam bukunya, Stolen Focus: Why You Can’t Pay Attention, Johann Hari menjelaskan lebih jauh soal ini. Dalam buku itu, Hari ingin mencari jawaban soal rahasia melamun saat ia menemui Jonathan Smallwood, seorang profesor psikologi di Queen’s University.

Jawaban-jawaban Smallwood sangat terkait dengan hawamisy. Menurut Smallwood, saat membaca buku, kita sebenarnya tidak 100 persen berfokus pada kata-kata di halaman-halamannya. Ada sedikit bagian otak kita yang berkelana.

Saat membaca, kita berpikir tentang bagaimana kata-kata di buku itu terhubung dengan kehidupan kita. Kita berpikir bagaimana kata-kata yang sedang kita pelototi itu terkoneksi dengan informasi yang kita terima sebelumnya dari banyak sumber: dari bab sebelumnya di buku yang sama, dari ingatan masa kecil, dari acara televisi yang kita tonton seminggu sebelumnya, dari video pendek yang sedang viral di TikTok. “Kalau kamu tidak melamun, kamu sebenarnya tidak benar-benar membaca buku,” kata Smallwood. “Memberi ruang kosong kepada mental kita untuk berteriak sangat penting untuk bisa memahami buku itu.”

Marginalia adalah “teriakan-teriakan” di ruang kosong itu. Ia bisa berupa persetujuan, koneksi dengan informasi yang lain, atau ketidaksetujuan. Itulah mengapa, ketika membaca buku, kita kerap melakukannya dengan perlahan atau sesekali berhenti. Ini adalah dorongan dari sistem di dalam otak kita untuk memberi ruang kosong agar kita bisa memberi konteks pada buku itu dalam kehidupan pribadi kita.

Masih menurut Smallwood, sesungguhnya otak kita memproduksi “marginalia” tidak hanya saat kita membaca buku. Seorang desainer grafis karenanya sangat penting memberi ruang kosong pada karya visual mereka. Seorang arsitek perlu memberi ruang kosong pada bangunan yang mereka rancang. Di ruang kosong itulah kita “menuliskan” konteks yang kita pahami, memberi makna secara personal. “Jika kamu tidak melakukan hal itu, akan banyak hal yang lewat begitu saja,” kata Smallwood lagi.

Marginalia adalah sebuah upaya alamiah untuk memahami dan memberi konteks, dan mungkin pertanyaan, pada hidup.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Qaris Tajudin

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus