Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radikalisme bukan identitas suatu ideologi. Namun doktrin ideologi dapat memotivasi seseorang bersikap radikal untuk mencapai tujuannya. Demikian pula istilah Islam radikal. Ini bukan berasal dari Islam. Namun konotasi radikalisme sering dinisbahkan pada gerakan Islam. Padahal, dengan atau tanpa menggunakan simbol Islam, tindakan radikal dan anarki sering terjadi.
Dalam perspektif Al-Quran, memilih jalan hidup yang menyalahi perintah Allah dan petunjuk Rasulullah SAW adalah kekafiran. Tapi, tragisnya, masih ada orang Islam yang menghakimi saudara muslimnya sebagai orang radikal hanya karena dia berpegang teguh pada Islam dan menaati sunnah Rasul-Nya. Anehnya lagi, ukuran yang digunakan untuk penilaian itu pun bukan ukuran Islam, melainkan ukuran sekuler. Mengecam mereka yang bertindak atas nama Islam dan dengan cara-cara yang Islami sama artinya dengan membiarkan kemungkaran merajalela.
Dalam pandangan tokoh sekuler seperti Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, ciri-ciri Islam radikal itu dipetakan sebagai berikut: 1) Memandang agamanyalah yang paling benar. 2) Meyakini Islam adalah agama yang sempurna untuk mengatur kehidupan. 3) Menjadikan Nabi sebagai teladan yang wajib diikuti. 4) Tidak memisahkan Islam sebagai agama dan negara. 5) Mengimani jihad sebagai cara menghadapi kaum kafir yang mengancam Islam. 6) Membagi manusia dalam dua kelompok, yakni kelompok orang beriman, yang merupakan pengikut Islam, dan kelompok kafir, yang menolak atau mengingkari kebenaran Islam. 7) Menuntut berlakunya syariat Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara.
Berdasarkan ciri-ciri semacam itu, lalu mereka menginventarisasi kelompok Islam radikal seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah, Darul Islam, Front Pembela Islam, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk ulama radikal adalah Hasan al-Banna, Sayid Quthub, Abul A'la al-Maududi, Kartosoewiryo, Abu Bakar Ba'asyir, dan tokoh-tokoh lain yang memiliki kesamaan visi sebagaimana ciri-ciri yang tersebut di atas.
Salahkah seorang muslim mengangkat Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah, padahal Quran telah memerintahkan demikian? Salahkah menjadikan syariat Islam sebagai sistem kehidupan? Bukankah tanpa syariat berarti tak ada agama? (Qs. As Syura, 13). Tidak meyakini Islam sebagai agama yang paling benar, itu menyalahi wahyu Allah (Qs. 5:3). Mereka disebut radikal karena menundukkan segala hasrat dan keinginannya di bawah kehendak Allah. Mereka sering dinilai sebagai orang yang suka memaksakan kehendak, tidak toleran terhadap keyakinan dan pendapat orang lain.
Syafi'i Ma'arif memandang penganut Islam radikal adalah mereka yang, karena kurangnya ilmu, bersikap defensif dan reaksioner, kemudian mencari jalan pintas yang radikal dalam upaya membela diri dengan menafsirkan ajaran agama secara sempit, subyektif, dan tidak bertanggung jawab. Prinsip kearifan dan lapang dada tidak lagi dihiraukan dalam mengatur langkah. Bahkan Hamzah Haz ikut bersikap apriori dengan mengatakan, "Sebaiknya mereka mengevaluasi kembali metode dakwah serta meninjau ulang seruan dakwah yang mereka kumandangkan."
Sikap seperti itu jelas tidak obyektif. Imam Samudra, Amrozi, atau bahkan Usamah bin Ladin, yang dituduh melakukan tindakan kekerasan (radikal) ?kalau tuduhan itu terbukti?itu merupakan hasil ijtihad. Kita tidak berhak menghakimi ijtihad mereka dengan tuduhan negatif.
Identifikasi itu sebenarnya tidak mengagetkan. Sejarah para rasul menunjukkan hal itu. Ketika Ibrahim as. menghancurkan patung sesembahan kaumnya, mereka marah. Ibrahim akhirnya berhadapan dengan kemarahan Raja Namrud yang menghukum dengan melemparkannya ke dalam api unggun. Nabi Musa berhadapan dengan kekejaman Firaun, yang mengaku dirinya sebagai Tuhan karena merasa mampu menghidupkan dan mematikan orang.
Muhammad Rasulullah juga diboikot serta diperangi oleh kaumnya sendiri di bawah pimpinan Abu Lahab dan Abu Jahal. Mereka semua telah mengambil peranan terbesar dalam perkembangan sejarah kebenaran di muka bumi ini. Musuh-musuh mereka yang angkuh dan zalim tidak mampu menghadang setiap gerak dan langkah perjuangannya. Mereka terkenal dengan slogannya, "Kebenaran telah datang dan kebatilan hilang lenyap." Apakah mereka radikal karena menentang kekuasaan zalim dengan cara kekerasan?
Cara pandang dan penilaian dengan meninggalkan kaidah agama, sebagai ciri khas kaum sekuler, memang hanya membuat orang bingung dan kehilangan akal sehat. Inilah yang disebut di dalam Al-Quran sebagai, "Fi Thugyanihim ya'mahun", membabi buta dalam kebingungan. Hal ini disebabkan antara lain:
Pertama, mereka menempatkan akal dan hawa nafsu sebagai panglima yang harus ditaati, sehingga anti terhadap segala bentuk pemasrahan diri kepada Allah secara kafah. Kedua, menolak otoritas Allah dalam mengatur makhluk. Karena itu, mereka menghendaki wilayah negara harus steril dari campur tangan agama. Mereka menafikan hukum Allah dalam bidang pemerintahan, hukum, ekonomi, politik, dan aspek kehidupan lainnya. Ketiga, memposisikan peranan agama menurut selera mereka, padahal fungsi agama telah dijelaskan sebagai hudan linnas wa bayyinah, petunjuk dan penerang bagi umat manusia. Keempat, membatasi otoritas Allah dalam urusan yang mereka anggap pantas dan layak, seperti ibadah mahdhah. Urusan muamalah dianggap wilayah akal dan hawa nafsunya.
Memposisikan Islam sebagai urusan individual, yang tidak berkaitan dengan politik dan kenegaraan, berarti menganggap agama ini tidak memiliki tujuan dan orientasi. Mungkinkah kita menggunakan sistem hidup yang tidak Islami untuk menyembuhkan berbagai penyakit sosial? Bagaimana mungkin seorang muslim bisa patuh kepada perintah orang kafir, tetapi menolak tunduk pada Allah Rabbul Alamin?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo