Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo punya 1.001 cara menjaga keberlanjutan kekuasaan. Salah satunya dengan membagi izin usaha pertambangan (IUP) untuk organisasi kemasyarakatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karpet merah untuk organisasi kemasyarakatan itu merupakan bentuk terima kasih Jokowi karena telah mendukungnya dan menyokong Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya, dalam pemilihan presiden 2024. Jokowi juga membutuhkan sokongan ormas bermassa besar karena posisi anaknya kini tengah dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi lantaran menjadi calon wakil presiden dengan mengakali hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, pada 2022 Jokowi membentuk Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi dengan kewenangan besar: mencabut atau menghidupkan izin usaha pertambangan dan perkebunan. Satgas ini dipimpin Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Hingga Januari 2024, Bahlil telah mencabut 2.078 izin usaha pertambangan dan perkebunan yang tak produktif. Kini ia bersiap melelangnya.
Kewenangan Satgas ditopang Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi. Dalam aturan ini, pemerintah menyebutkan organisasi kemasyarakatan, usaha kecil dan menengah, atau koperasi bisa mendapatkan wilayah IUP pertambangan mineral dan batu bara dengan mengikuti lelang.
Masalahnya, organisasi kemasyarakatan pendukung presiden ogah mengelola IUP yang tak produktif. Mereka, di antaranya Nahdlatul Ulama yang sudah mengajukan diri, mengharapkan konsesi tambang yang memiliki cadangan besar seperti wilayah tambang yang sudah diciutkan wilayah operasinya melalui perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara atau PKP2B. Namun, aturan menghalangi ormas memiliki wilayah IUP khusus (WIUPK) ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan wilayah izin usaha pertambangan khusus tak bisa dimiliki organisasi kemasyarakatan. Dasar aturan ini adalah Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang menyebutkan hanya badan usaha swasta yang boleh mendapat WIUPK, itu pun melalui mekanisme lelang. Instansi lain yang diprioritaskan PP Nomor 96 adalah badan usaha milik negara dan daerah.
Untuk menghilangkan ganjalan itu, Menteri Bahlil mengusulkan revisi PP Nomor 96 dengan menambahkan dua ayat pada Pasal 75A. Ayat pertama menambahkan klausul prioritas WIUPK kepada badan usaha swasta. Ayat kedua mendelegasikan pengaturan lebih detail dalam peraturan presiden. Lagi-lagi, cara Bahlil ini membentur Undang-Undang Minerba.
Dalam kebuntuan itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyodorkan ide lain. Agar organisasi kemasyarakatan pendukung Jokowi bisa mendapat konsesi, aturannya diubah dengan membuka peluang kerja sama organisasi sosial dengan badan usaha yang mendapat prioritas IUP. Kelak, jika sudah kompeten, organisasi kemasyarakatan boleh mengakuisisi saham perusahaan yang menjadi cantelannya.
Utak-atik aturan untuk memuluskan kepentingan politik jelas berisiko besar. Usaha pertambangan adalah bisnis yang membutuhkan keahlian teknis pengelolaan sumber daya alam dan rantai pasok yang kompleks. Alasan pemerintah memberikan IUP kepada organisasi kemasyarakatan untuk pemerataan kesejahteraan juga mengada-ada.
Bisnis ekstraksi sumber daya alam butuh modal besar, industri yang profesional, keahlian pengelolaan bisnis serta teknik yang mumpuni. Pemberian konsesi tambang kepada organisasi kemasyarakatan juga membuka peluang koncoisme dan punya dampak jelek terhadap ekonomi dan kesejahteraan. Dengan memberikan konsesi kepada organisasi sosial, penerimaan negara hanya didapat dari pajak dan royalti. Jika konsesi dikelola BUMN atau BUMD, pemerintah juga akan memperoleh dividen.
Dengan segala dampak buruk itu, Jokowi sebaiknya stop mengakali aturan untuk kepentingan politiknya. Jokowi semestinya menyiapkan masa pensiun pada Oktober nanti tanpa membuat kegaduhan dan kerusakan lebih parah.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Utak-atik Membayar Utang Politik"