Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jakarta-beijing: 1-1

Berita mingguan beijing review menyatakan, kunjungan pm taiwan sun ke jakarta, mengaburkan hubungan diplomatik jakarta-beijing. beijing tak pernah mengutik-atik cina, mungkin menggunakan taktik di bangkok.

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALANGAN utama terciptanya hubungan normal antara Indonesia dengan RRC adalah dukungan negara raksasa Asia itu kepada partai terlarang PKI. Menjawab keluhan dan kecaman Jakarta dalam persoalan tersebut selama ini Beijing mengegos di balik retorik lama. Bahwa dukungan itu cuma propaganda partai belaka yang tak ada hubungannya dengan pemerintah yang sekarang berkuasa di daratan Cina. Dan radiq yang kabarnya berasal dari salah satu provinsi di selatan Cina meneruskan propagandanya menyokong PKI. Sebaliknya secara keras Jakarta menuntut, kalau mau ada hubungan normal, propaganda itu harus dihentikan. Dalam pada itu Beijing sangat peka akan satu hal, yakni isu "satu Cina" kontra "dua Cina", yang menyangkut masalah Taiwan. Cina hanya mau mengadakan hubungan diplomatik dengan negara mana pun, asalkan negara itu cuma mengakui RRC sebagai satu-satunya negara Cuna. Dua atau tiga tahun lalu Beijing baru membuka kedutaan besarnya di Washington setelah Amerika memutuskan hubungan formal nya dengan Taipei. Dalam pekan-pekan terakhir ini isu "Dua Cina" turut meramaikan usaha normalisasi hubungan Jakarta-Beijing. Ceritanya bermula dengan tersingkapnya "kunjungan rahasia' Perdana Menteri Taiwan Sun Yun-Suan ke Jakarta pada tanggal 7 sampai 11 Desember tahun silam. Berita itu ternyata membuat Beijing cukup prihatin. Mingguan berita resmi berbahasa Inggris Beijing Review pada tanggal 21 Desember 1981 memuat satu kolom berjudul "Para penguasa Indonesia sedang mengambil langkah ke arah terciptanya dua Cina." Mengutip kantor-kantor berita barat majalah bedta itu mengatakan bahwa Perdana Menteri Sun telah diperlakukan sebagai layaknya kepala negara. Sedangkan bantuan militer dan hubungan ekonomi yang semakin erat merupakan topik utama yang dibicarakan antara Sun dan rombongan dengan pihak Indonesia. Melihat gejala ini tulisan itu berkesimpulan: "Dalam menghadapi Cina para penguasa Indonesia menganut taktik ganda. Di satu pihak mereka menyatakan hanya menganut politik satu Cina dan mengatakan bahwa pemulihan hubungan dengan RRC hanya soal waktu saja. Namun, di pihak lain mereka sedang berusaha memperkuat hubungan di segala bidang dengan Taiwan." Sekali lagi, sambil mengutip sumbersumber barat Beijing Review mengatakan bahwa kunjungan Sun ke Jakarta telah mengaburkan lagi prospek pemulihan hubungan diplomatik Jakarta-Beijing. Apa pun di balik langkah Jakarta, jelas itu telah membuat Beijing terperanjat. Apalagi negara itu sekarang sedang sibuk-sibuknya mendandani hubungannya dengan Asia Tenggara sesuai dengan strateginya untuk memencilkan Vietnam (dan Uni Soviet). Boleh jadi juga kecaman Beijing yang dialamatkan ke Jakarta itu erat huhungannya dengan sikap lunak Indonesia terhadap Hanoi, karena Jakarta melihat RRC sebagai ancaman lebih serius. Di zaman perang dingin dulu, ketika RRC merasa terkurung dan dipencilkan oleh Amerika beserta sekutu-sekutunya, dukungan terhadap "gerakan pembebasan nasional" (retodk RRC buat para pembelot kid dan komunis) berperanan besar. Itu digunakan sebagai senjata psikologis terhadap negara yang tak bersahabat, pro-Amedka atau menganut kebijaksanaan dua Cina. Muangthai merupakan contoh yang paling relevan. Di kala politik luar neged Bangkok mengekor ke Washington dan bersahabat dengan Taipei, Beijing disibukkan dengan propaganda kolosal mendukung "gerakan pembebasan nasional" di negeri itu. Begitu gencarnya propaganda itu sehingga buat yang tak tahu Muangthai seolah-olah sedang dilanda perang saudara dan pemerintah di Bangkok besok atau lusa akan rontok. Tapi, ketika Bangkok mulai melepaskan diri dari Washungton dan mengakui RRC, propaganda itu menurun. Bagaimanapun disinggungnya masalah dua Cina merupakan babak baru dalam proses normalisasi hubungan Jakarta-Beijing. Sampai saat itu, dalam huhungannya dengan Jakara, Beijing tak pernah mengutik-utik isu dua Cina padahal hubungan semakin erat Jakarta-Taipei terutama di bidang ekonomi, telah lama terjalin. Apakah Beijing menggunakan taktik sama terhadap Jakarta seperti yang telah dilakukannya terhadap Bangkok di tahun 60-an dulu? Ini masih teka-teki. Kalau jawaban atas pertanyaan ini positif pertanyaan bedkutnya, apakah ditinggalkannya dukungan Beijing terhadap sisa-sisa PKI bisa "dibarter" dengan kesediaan Jakarta untuk mengorbankan hubungan eratnya dengan Taiwan? Ini pertanyaan yang jawabnya sukar dicari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus