KALANGAN utama terciptanya hubungan normal antara Indonesia
dengan RRC adalah dukungan negara raksasa Asia itu kepada partai
terlarang PKI. Menjawab keluhan dan kecaman Jakarta dalam
persoalan tersebut selama ini Beijing mengegos di balik retorik
lama. Bahwa dukungan itu cuma propaganda partai belaka yang tak
ada hubungannya dengan pemerintah yang sekarang berkuasa di
daratan Cina. Dan radiq yang kabarnya berasal dari salah satu
provinsi di selatan Cina meneruskan propagandanya menyokong PKI.
Sebaliknya secara keras Jakarta menuntut, kalau mau ada hubungan
normal, propaganda itu harus dihentikan.
Dalam pada itu Beijing sangat peka akan satu hal, yakni isu
"satu Cina" kontra "dua Cina", yang menyangkut masalah Taiwan.
Cina hanya mau mengadakan hubungan diplomatik dengan negara mana
pun, asalkan negara itu cuma mengakui RRC sebagai satu-satunya
negara Cuna. Dua atau tiga tahun lalu Beijing baru membuka
kedutaan besarnya di Washington setelah Amerika memutuskan
hubungan formal nya dengan Taipei.
Dalam pekan-pekan terakhir ini isu "Dua Cina" turut meramaikan
usaha normalisasi hubungan Jakarta-Beijing. Ceritanya bermula
dengan tersingkapnya "kunjungan rahasia' Perdana Menteri Taiwan
Sun Yun-Suan ke Jakarta pada tanggal 7 sampai 11 Desember
tahun silam.
Berita itu ternyata membuat Beijing cukup prihatin. Mingguan
berita resmi berbahasa Inggris Beijing Review pada tanggal 21
Desember 1981 memuat satu kolom berjudul "Para penguasa
Indonesia sedang mengambil langkah ke arah terciptanya dua
Cina." Mengutip kantor-kantor berita barat majalah bedta itu
mengatakan bahwa Perdana Menteri Sun telah diperlakukan sebagai
layaknya kepala negara. Sedangkan bantuan militer dan hubungan
ekonomi yang semakin erat merupakan topik utama yang dibicarakan
antara Sun dan rombongan dengan pihak Indonesia.
Melihat gejala ini tulisan itu berkesimpulan: "Dalam menghadapi
Cina para penguasa Indonesia menganut taktik ganda. Di satu
pihak mereka menyatakan hanya menganut politik satu Cina dan
mengatakan bahwa pemulihan hubungan dengan RRC hanya soal waktu
saja. Namun, di pihak lain mereka sedang berusaha memperkuat
hubungan di segala bidang dengan Taiwan." Sekali lagi, sambil
mengutip sumbersumber barat Beijing Review mengatakan bahwa
kunjungan Sun ke Jakarta telah mengaburkan lagi prospek
pemulihan hubungan diplomatik Jakarta-Beijing.
Apa pun di balik langkah Jakarta, jelas itu telah membuat
Beijing terperanjat. Apalagi negara itu sekarang sedang
sibuk-sibuknya mendandani hubungannya dengan Asia Tenggara
sesuai dengan strateginya untuk memencilkan Vietnam (dan Uni
Soviet). Boleh jadi juga kecaman Beijing yang dialamatkan ke
Jakarta itu erat huhungannya dengan sikap lunak Indonesia
terhadap Hanoi, karena Jakarta melihat RRC sebagai ancaman lebih
serius.
Di zaman perang dingin dulu, ketika RRC merasa terkurung dan
dipencilkan oleh Amerika beserta sekutu-sekutunya, dukungan
terhadap "gerakan pembebasan nasional" (retodk RRC buat para
pembelot kid dan komunis) berperanan besar. Itu digunakan
sebagai senjata psikologis terhadap negara yang tak bersahabat,
pro-Amedka atau menganut kebijaksanaan dua Cina. Muangthai
merupakan contoh yang paling relevan. Di kala politik luar neged
Bangkok mengekor ke Washington dan bersahabat dengan Taipei,
Beijing disibukkan dengan propaganda kolosal mendukung "gerakan
pembebasan nasional" di negeri itu. Begitu gencarnya propaganda
itu sehingga buat yang tak tahu Muangthai seolah-olah sedang
dilanda perang saudara dan pemerintah di Bangkok besok atau lusa
akan rontok. Tapi, ketika Bangkok mulai melepaskan diri dari
Washungton dan mengakui RRC, propaganda itu menurun.
Bagaimanapun disinggungnya masalah dua Cina merupakan babak baru
dalam proses normalisasi hubungan Jakarta-Beijing. Sampai saat
itu, dalam huhungannya dengan Jakara, Beijing tak pernah
mengutik-utik isu dua Cina padahal hubungan semakin erat
Jakarta-Taipei terutama di bidang ekonomi, telah lama terjalin.
Apakah Beijing menggunakan taktik sama terhadap Jakarta seperti
yang telah dilakukannya terhadap Bangkok di tahun 60-an dulu?
Ini masih teka-teki. Kalau jawaban atas pertanyaan ini positif
pertanyaan bedkutnya, apakah ditinggalkannya dukungan Beijing
terhadap sisa-sisa PKI bisa "dibarter" dengan kesediaan Jakarta
untuk mengorbankan hubungan eratnya dengan Taiwan? Ini
pertanyaan yang jawabnya sukar dicari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini