Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembalikan warisan moyang kami

Tuntutan pengembalian harta budaya negara dunia ke tiga yang kini berada di negara-negara barat. pakistan pernah meminta kembali intan koh-i-noor yang kini jadi permata utama mahkota ratu inggris.(sel)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALI Bhutto, presiden Pakistan yang dihukum bunuh itu, pernah melakukan tindakan yang sepintas lalu unik. Yakni meminta kembali intan : Koh-i-Noor, yang kini jadi per mata utama mahkota Ratu Inggris. Tapi itu hanya satu contoh tuntutan serupa dari banyak negeri berkembang, yang makin gencar menuntut warisan budaya mereka kepada negeri-negeri bekas penjajah. Majalah South edisi Januari kemarin memuat berbagai kasus dan perbincangan hukum mengenai masalah ini. Asantahene dari Ghana misalnya. Ia juga menggugat Inggris--untuk benda-benda kebesaran Asante yang telah diboyongnya dahulu. Benda-benda itu menurut keyakinan rakyat Ghana sungguh keramat, mengandung "jiwa bangsa". Terhadap permintaan itu, seorang anggota Majelis Tinggi Inggris bertanya: "Tidakkah mungkin Tuan-tuan membiarkan barang-barang itu tapi mengembalikan 'jiwa penghuninya'?" Pertanyaan yang khas. Dr. de Silva, direktur museum-museum Sri Langka, dalam pada itu menunjukkan daftar benda milik negerinya yang kini menghuni banyak museum luar negeri. Sebagian, yakni semua yang ada di Inggris, sudah dimintanya kembali. Namu permintaan itu hampir pasti akan ditolak hingga de Silva memusatkan usahanya hanya pada satu benda yang punya nilai khusus bagi Sri Lanka. Yakni sebuah Patung perunggu. Tara, patungabad X yang unik itu, kini ada di British Museum, London. Motif permintaan ketiga negeri itu mungkin berbeda. Namun ketiganya mewakili suara tunggal Dunia Ketiga yang makin lama makin menyadari kehilangan mereka dan majalah itu kini tercantum dalam agenda Unesco, terkoordinasi di bawah sebuah komite khusus. Komite yang bernama panjang ini, The Intergovernmental Committee for Promoting the Return of Cultural Property to its Countries of Origin or its Restitution in Case of Illicit A ppropriation (Panitia Antar-negara untuk Menggalakkan Pengembalian Milik Budaya ke Negara Asal, dan seterusnya), membuktikan kesepakatan antara para anggotanya di satu pihak dan hasrat Unesco di pihak lain untuk meredakan suasana. Paling tidak untuk menyalurkan tuduhan dan lengkingan ke dalam bahasa diplomasi yang "lebih bersahabat." Hasil panitia pada tahun pertama tercapai di bidang propaganda umum. Masyarakat Barat kini, untuk pertama kalinya, jadi sadar akan kerugian budaya besar-besaran yang diderita negeri bekas jaiahan mereka. Pengertian mereka akan pantasnya tuntutan itu jadi semakin baik. Semula tanggapan atas permintaan Dunia Ketiga memang tidak menggembirakan. Karena takut milik mereka akan ludas-tandas, para penjaga barang berharga di Eropa dan Amerika itu bersikap menantang. Ibarat raksasa penjaga bulu domba emas, mereka malah melingkarkan ekor melindungi harta karun yang tersimpan dalam museum-museum mereka. Karenanya, dengan tujuan meredakan kecemasan tersebut, Direktur Jenderal Unesco, Amadou M'Bow, menghimbau agar museum dan lembaga sejenis di Barat "berbaik hati membagi benda simpanannya dengan negara-negara yang menciptakannya, yang terkadang tak lagi memiliki satu contoh sekalipun . . . Paling sedikit memberikan sebuah benda dan mengembalikannya ke negara aslinya." Bahkan pada sebuah simposium tentang 'Warisan yang Hilang' di London, permulaan tahun ini, M. Salah Stetie, ketua panitia antar-pemerintah itu, dengan lebih terperinci merumuskan jenis benda yang menjadi pokok asuhan panitianya. "Tentu saja kami tidak mengatakan semua benda budaya harus dikembalikan. Itu tidak realistis. Kami hanya bicara soal benda-benda yang punya arti asasi bagi tradisi suatu negara Hanya beberapa antara beribu-ribu benda di museum Dunia Barat." Sebagai contoh, disebutnya tiga kitab Quran tertua yang kini semuanya berada di negara bukan-Islam. Juga karya unggul seni Benin, yang tak sebuah pun tinggal di Benin sendiri. Para penuntut, ketua itu menandaskan, sebenarnya bukan bermaksud mempersulit negara yang kini menyimpannya. Pun bukan semata tercekam kedongkolan masa lampau. Katanya, bagai berkhutbah, "Negara-negara ini mencoba memastikan suatu identitas politik dan bangsa setelah bertahun-tahun menjadi jajahan. Bendaseni dan artifak adalah bukti nyata dari identitas budaya mereka itu, kesaksian bagi masa lampau dan jaminan untuk masa depan. Demi membangun dunia yang lebih adil, kita harus mencoba meluruskan ketidakseimbangan ini." Dalam praktek, tuntutan pengembalian seluruh harta budaya memang lalu bergeser menjadi permintaan akan beberapa benda khusus saja. Dan ini memudahkan kerjasama. Hanya saja, keruwetan yang timbul ternyata bukan hanya antara negeri pemilik asli dengan si bekas penjajah. Melainkan juga bisa antar-negeri Dunia ketiga sendiri. Ambil contoh intan Koh-i-Noor, yang tersohor di antara semua harta budaya. Benda itu bukan saja diperebutkan India dan Pakistan. Tapi juga Iran dan Afghanistan. Malah ratna itu konon bukan dirampas, melainkan "dihadiahkan" kepada Ratu Victoria, kemudian menjadi dasar tradisi negara terakhir tempat ia bermukim. Statusnya dianggap berbeda dengan tandakebesaran adat Asanle, yang benar-benar harta rampasan ekspedisi militer Inggris ke Kumasi 1874. Kontroversi seperti itu lantas dijadikan bahan oleh negara pemilik terakhir untuk, betapapun, mengaburkan masalah. Mereka misalnya bilang asal benda kurang jelas. Atau cara memperolehnya sah. Andai sebagiannya benar, toh mereka masih berkeberatan melepaskan yang lain. Keberatan Dunia Barat yang lebih nyata adalah kurangnya peralatan museum yang sesuai, dan staf terdidik, di banyak negara Dunia Ketiga dan ini harus diakui."Kami ini sudah bisa dipercaya. Kami mengenal benda-benda ini, dan punya ahli-ahli," demikian Wilson dari British Museum. Namun Dunia Ketiga bisa saja menuding: kekurangan itu justru akibat infrastruktur miskin selama penjajahan. Pengumpulan dan perawatan benda-benda budaya di negeri asalnya menjadi tidak mungkin, dan inilah sebagian dari keseluruhan utang pihak penjajah. Tentu saja Dunia Barat agak berbeda menafsirkan utang itu. Menurut mereka, negara-negara penuntutlah yang berutang pada negara-negara Barat yang selama itu berjasa sebagai "wali pelindung" harta tak ternilai itu. Kalau tidak, pastilah benda-benda itu sudah lenyap karena tidak terpelihara, akibat pergolakan dan revolusi--dan kebodohan. Namun, seramah-ramah wali, bukankah tugasnya akan berakhir bila orang yang ditanggungnya meningkat dewasa, dan menuntut warisan mereka sendiri? Lagi pula soal "perwal ian " ini bisa memperoleh wajah yang berbeda. "Kalau British Museum hendak dirusakkan dengan mengambil benda-benda di dalamnya, itu sama buruknya dengan meledakkan Parthenon," ucap direktur museum itu. Padahal, lebih banyak benda pualam Elgin yang tersohor itu hancur berantakan ketika mereka angkut dari Parthenon --atau hilang di dasar laut dalam perjalanan ke Inggris-- daripada yangakhirnya sampai ke British Museum. Museum Dunia Barat tampaknya menemukan perlindungan teraman di belakang undang-undang negeri masing-masing. Undang-undang nasional di banyak negara memang secara tegas melarang pemindahan barang apa pun yang tcrsimpan dalam museum. Tapi, di segi lain, berbagai konvensi dan perseujuan internasional yang dirumuskan di Eropa abad ini tegas-tegas menuntut pengembalian benda budaya yang terampas di masa perang. Termasuk benda-benda tambahan yang diperoleh dengan "cara yang tampak sah" atau "disahkan." Dalam kategori terakhir ilu malah bisa masuk pcrmata Koh-i-Noor. Di sinilah justru Dunia Barat terjerat dalam suatu dilema yang menyiksa hati. Andai pihaknya menyetujui prinsip pengembalian itu sesuai dengan kode moral dan etiknya sendiri, yang mula-mula mereka pakai di antara sesama bangsa Eropa, mereka juga harus mengakui bahwa pada dasarnya benda-benda itu diperoleh dengan cara gelap. Dan ini betapapun menuniukkan segi hitam dari "tugas membudayakan bangsa-bangsa" yang diemban Eropa. HARI-HARI kolonialisme barulah satu generasi di belakang kita. Belum lama. Toh, sementara dari kita sendiri banyak sekali orang yang sudah "lupa", bagi Eropa rupanya diperlukan waktu lebih lama lagi untuk menulis kembali sejarah penjajahan--dari sudut yang lain dari yang selama ini mereka ambil dan cekokkan ke bekas negeri-negeri jajahan sendiri. Sementara itu memang diperlukan banyak persiapan, sebelum benda budaya memulai perjalanan pulang. Bantuan teknik untuk menciptakan infrastruktur museum, serta latihan para pegawainya, sudah dimulai oleh Unesco. Sudah dirintis pula peminjaman jangka panjang benda-benda dan koleksi-koleksi khusus, yang bisa diperpanjang lagi tanpa batas waktu dan tanpa kemungkinan diminta kembali. Namun ini sempat mencetuskan kemarahan, Karena langgap memahayakan prinsip restitusi. Di samping itu di Dunia Barat sendiri undang-undang sedang disesuaikan, supaya bisa memungkinkan pertukaran benda budaya secara bilateral. Jadi orang boleh bersabar. Tapi agar panitia Salah Stetie bisa berhasil, sebagi landasan, para anggota dianjurkan menandatangani dan memperkuat persetujuan 1970--yang melarang ekspor gelap benda antik dari negara peserta konvensi. Sebab, sebagai alasan tidak mau mengembalikan artifak, negara Barat memang sering mengemukakan bahwa sejumlah besar benda budaya masih senantiasa mengalir--secara gelap--dari Dunia Ketiga sendiri. Diperkirakan dari India saja, misalnya, keluar sekitar 50.000 benda dalam hanya satu dasawarsa lampau. Dan negara-negara Baratlah yang menyediakan pasaran untuk benda-benda selundupan itu. Dan mereka pula yang masih perlu membubuhkan tanda tangan pada persetujuan tersebut. Adakah pengembalian harta budaya merupakan suatu senjata politik? Tidak, sebenarnya. Atau belum. Tapi Irak pernah mencobanya. Ketika seorang utusan Prancis datang menanyakan minyak, ia dibalas dengan tuntutan agar Codex Hammurabi dikembalikan! Bayangkan, alangkah seru jika Nigeria membatalkan impor buku dari Inggris karena negeri itu tidak mengembalikan benda-benda perunggu asal Benin. Atau seandainya Arab Saudi dengan sopan minta salah satu saja dari tiga kitab Qur'an di "rantau" itu, sebagai ganti minyaknya. Keyakinan bahwa ada kewajiban mengembalikan milik budaya yang diambil atau dirampas sewaktu perang, sebenarnya bukan hal baru. Bukan pula ciptaan Dunia Ketiga. Konsep itu, seperti sudah disebut, berasal dari peradaban Eropa sendiri -- dari Yunani kuno--yang mencuat kembali 2000 tahun kemudian. Kini etik tersebut tertera dalam hukum internasional, kendati anehnya sering bertentangan dengan undang-undang negara masing-masing. Lembaga seperti British Museum, misalnya berlindung di bawah undang-undang British Museum 1963. Museum Louvre di Prancis pun dipelindungi secara itu. Padahal konsep restitusi, yang jelas-jelas diletakkan dalam hukum kasus di Inggris, justru lebih-tua dan lebih luas jangkauannya daripada undang-undang British Museum misalnya. Bukti pertama tentang pengembalian benda budaya dalam sejarah, diberitakan oleh sejarawan Yunani kuno Polybius. Kasus yang dikisahkannya bahkan menarik karena berkaitan dengan kolonialisme--sehingga langsung dapat dibandingkan dengan keadaan sekarang. Terjadi di zaman Kerajaan Romawi, sekitar 2000 tahun lalu. Dalam kasus paling tersohor itu, In Verrem Cicero, ahli pidato dan ahli hukum, Romawi menggugat gubernur Sisilia yang waktu itu jajahan Romawi. Ia menuduh gubernur itu merampasi berbagai gedung umum dan kuil di Sisilia untuk koleksi pribadi. Di situ Cicero membandingkan keserakahan pejabat tersebut dengan kebijaksanaan jenderal Romawi, Scipio, yang pernah menaklukkan Kerajaan Karthago di Afrika Utara. Karthago sendiri sebelumnya pernah menjajah Sisilia. Kata Cicero: "Karena tahu bahwa Sisilia sering dan berlarut-larut menanggung perampasan bangsa Karthago, maka Scipio mengumpulkan semua penduduk Sisilia. Ia memerintahkan mereka meneliti apa saja yang dirampas dari harta mereka (oleh Karthago), dan ia berjanji akan mengembalikan pada setiap kota, milik yang ditemukannya." Sehadi hasil usaha Cicero melawan Gubernur Verres tadi lengkap dengan perbandingannya dengan tindakan Scipio terhadap Karthago--maka Senat Romawi akhirnya memutuskan denda 45 juta sesterce yang harus dibayar sang gubernur, khususnya sebagai ganti rugi perampasan itu. Itulah hikmah kebijaksanaan kuno. Tetapi baru pada abad XIX secara resmi dibuat suatu persetujuan internasional tentang pengembalian harta budaya. Hanya saja, mungkin karena dirumuskan di masa puncak ekspansi imperialisme, persetujuan itu hanya berlaku untuk daerah perang Eropa. Bukan dalam hubungan dengan negeri jajahan di Timur. Sialan, memang. Contohnya: ketika Napoleon ambruk, negara-negara pemenang lantas memaksa pemerintah Prancis mengembalikan banyak rampasan benda seni--meskipun diperoleh sebagai "hasil persetujuan" dengan Napoleon Sebab, dengarlah ucapan Lord Castlereagh selama perundingan perdamaian di Kongres Wina 1815. Wakil Inggris itu merumuskan: "Rupanya tidak bisa ditempuh jalan tengah tanpa membedakan berbagai jenis perampasan yang diselubungi perjanjian, yang mungkin lebih menyolok sifatnya dari tindakan perampasan tanpa malu. Prinsip milik yang dikendalikan oleh tuntutan daerah tempat milik itu dirampas, adalah satu-satunya petunjuk keadilan yang paling tepat." Dengan itu harta Eropa dikembalikan ke pemiliknya. Tapi benda-benda Mesir yang disita dari Prancis oleh Inggris, tahun 1801, masih menghiasi British Museum sampai kini. Di samping itu, pada paruh kedua abad lalu, ide menghargai benda budaya pihak laan sebenarnya sudah cukup berakar dalam pemikiran hukum. Maka jadilah ia bagian tak terpisahkan dari Deklarasi Brussel 1874 tentang 'Kebiasaan dalam Perang'. Deklarasi ini ditandatangani 15 wakil negara Eropa, termasuk Jerman, Belgia, Spanyol, Prancis, Inggris dan Turki. Dalam naskah itu "penghimpunan barang rampasan" dilarang secara resmi. Juga dianggap perlu diselamatkan, sejauh mungkin, gedung-gedung bersifat agama, seni, ilmu atau sosial. Dinyatakan pula, "Semua pendudukan atau penghancuran, maupun pengrusakan secara sengaja atas gedung bersejarah, karya seni dan ilmu, harus dituntut di muka pengadilan berwenang." Deklarasi Brussel itu menggambarkan kesepakatan ahli hukum internasional - bahwa semua fasilitas budaya, ilmu serta karya seni harus dihormati dalam suatu sengketa militer. Memang masih dibedakan antara i'milik masyarakat yang berhak disita oleh pihak pemenang " dan "milik pribadi yang bebas" dari hak penyitaan itu. Tapi deklarasi tersebut menyatakan bahwa hak penyitaan tidak berlaku untuk benda seni, ilmu, pengetahuan alam, perpustakaan atau arsip negara. Semua itu harus diperlakukan sebagai milik pribadi. Tak boleh diboyong. Dan prinsip-prinsip itulah yang dituangkan dalam 'Konvensi tentang Hukum dan Kebiasaan dalam Perang di Daratan', tahun 1899 dan 1907 di Den Haag. Diputuskan: harta milik lembaga, agama, sosial dan pendidikan, serta benda seni dan ilmu, "harus diperlakukan sebagai milik pribadi." Dan perlindungan milik budaya di waktu perang itu juga menjadi pokok pembicaraan pada konvensi khusus di Den Haag, 1954, dengan kesimpulan yang sama. Tapi di tahun 1874 itu sendiri, Inggris menyerang Kumasi. Dan 1897 menyerang Benin. Keduanya berupa "ekspedisi penghukuman"--termasuk perampasan dan perampokan besar-besaran. Dua peristiwa itu menjadi bukti tercela tentang penerapan standar arad ke-19 perihal kelakuan dalam perang. Dan bila ditanya tentang soal Asante, para pejabat Inggris tetap bersedia bertengkar. Kata mereka, regalia emas yang diambil dari koleksi negara di Kumasi itu diperoleh secara sah sebagai ganti rugi. Padahal, meski sementara bangsa Asante memang membayar ganti rugi kepada orang Inggris, berupa perhiasan emas dan serbuk emas, tidak lah masuk akal bahwa mereka akan mau mengorbankan benda-benda adat seperti pedang upacara, harta kerajaan dan topeng emas untuk itu. Bahkan penyelidikan kemudian tentdng ekspedisi itu menunjukkan, perampasan koleksi Asante dijalankan sebagai bagian kampanye militer sebelum ganti rugi untuk berdamai diumumkan. Perampasan inilah juga contoh menyolok dari perampokan "dengan tedeng perjanjian", seperti pernah dikecam Castlereagh setengah abad sebelumnya. Harta pusaka Kotd Benin, termasuk topeng-topeng gading, piagam perunggu, patung-patung dan lain-lain, semua diangkut dalam ekspedisi militer tersebut. Kini, apa yang dihadapi Komite Inesco sebenarnya berasal dari suatu seri resolusi yang dicetuskan dalam forum internasional - dan mulai di PBB tahun 1973. Dalam pidatonya di PBB tahun itu, Presiden Mobutu Sese Seko menghimbau Sidang Umum, untuk menyokong resolusi yang minta agar negara kaya yang mempunyai barang seni negara miskin mau mengembalikan sebagiannya--"supaya kami bisa mengajar sejarah negeri kami pada anak-anak kami." "Benda-benda itu," katanya, "bukanlah bagian dari bahan mentah kami. Melainkan hasil ciptaan nenek moyang kami." Ia menyesalkan pemindahan-besar-besaran benda seni itu, "hampir tanpa bayaran", sering sebagai hasil pendudukan kolonial atau bangsa asing. Resolusi itu menyerukan pengembalian "tanpa biaya"--sebagai cara mempererat kerja sama internasional. Termasuk ke dalamnya "reparasi untuk kerusakan yang terjadi". Beberapa resolusi serupa juga diajukan oleh Konferensi Umum Unesco, Dewan Internasional Museum (Icom) dan Konerensi Bangsa-bangsa Non-Blok. Seyogyanya Presiden Mobutu bisa mengutip suatu kejadian sebelumnya di PBB, untuk menunjang seruannya. Pasal ini bisa dipakai untuk bidang tak tertentu--berupa benda apa saja yang dipindahkan di masa pendudukan kolonial, di luar rumusan tentang rampasan perang. Tanggal 5 Januari 1943, pada puncak Perang Dunia II, sebuah deklarasi diumumkan bersamaan di London, Moskow dan Washington oleh negara-negara Sekutu. Isinya: anjuran kepada PBB untuk "meniadakan hak melakukan pemindahan atau pengangkutan barang-barang apa pun yang berada atau pernahberada di daerah pendudukan atau daerah yang secara langsung maupun tak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pihak lawan. Ataupun barang yang menjadi milik pribadi di daerah tersebut . . . Juga bila pemindahan itu bukan berupa perampasan nyata melainkan transaksi yang kelihatan sah dan seakan tanpa paksaan." Perkara pemilikan konon merupakan sembilan persepuluh dari seluruh isi hukum. Toh perimbangan kekuasaan masih memenangkan Dunia Barat. Hanya sedikit kisah kerja sama yang berhasil dalam pemulangan artifak budaya. Sebuah, sebagai contoh, adalah saling bantu antara Belgia dan Zaire. Negeri terakhir itu dahulu bernama Kongo Belgia. Belgia sama sekali bukan negara penjajah besar: satu-satunya jajahan ya Kongo itulah. Pun dalam kenyataan, Belgia lebih akrab dan bersahabat dalam seni dan sejarah, dibanding kebanyakan negara penjajah. Museum-museum Zaire sendiri menderita kerusakan cukup hebat dalam masa pergolakan setelah kemerdekaan. Ini berarti pertengkaran antara bangsa sendiri. Karena itu dibutuhkan suatu pembenahan budaya. Namun baru setelah sepuluh tahun rembukan gigih persetujuan Zaire-Belgia bisa ditelurkan 1970. Tujuan utama: menyediakan ahliahli ilmu dan teknik Belgia untuk membantu menyusun suatu jaringan museum, dan menata perpindahan koleksi etnografi dan seni. Sebab, harusdiingat, pemeliharaan sebuah museum di samping memerlukan tenaga-tenaga. Ahli juga bukan main mahal--kalau memang mau serius. Dan itulah memang segi positif penyimpanan barang-barang purba tersebut di negeri Barat. PARA kurator Belgia kemudian dipekerjakan di Institut Musees Nationaux du Zaire (IMNZ). Program membangun koleksi itu memadukan restorasi benda dari Brussel dengan pengumpulan dan pendaftaran benda yang masih banyak bertebaran di Zaire sendiri. Juga sejauh mungkin menghapuskan ekspor gelap artifak budaya. Rencana ini sangat berhasil. Kini, koleksi di IMNZ jauh melampaui koleksi museum Belgia sendiri--baik dalam ruang lingkup maupun kualitas barangnya. Ada kalanya pihak Belgia memang berkeras: "kualitas dan hasil pilihan" koleksi mereka tidak boleh terjamah. Toh dikembalikan juga akhirnya dua ratus benda dari periode dan cabang seni. IMNZ sendiri lebih dari sekedar pameran barang seni. Tujuannya memberi gambaran selengkapnya tentang perkembangan sejarah dan masyarakat Zaire. Sampai kini,1000 contoh alat, senjata dan benda rumah tangga telah dikembalikan. Sedang biaya pengangkutan ditanggung pihak Belgia. Pengalaman Belgia-Zaire ini, meski bukan tanpa hambatan--terutama keengganan semula dari Belgia--merupakan contoh menggembirakan. Keikhlasan pada akhirnya memang diperlukan. Termasuk keikhlasan untuk mengmenghapus kenangan buruk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus