BERANGKAT ke Bulan, dengan delman atau unta, Mahbub Djunaidi disambut raja Bulan. Gorbachev suami-istri dan Naro suami-istri telah tiba lebih dahulu. Setelah berbincang-bincang sampai meliuk-liuk dan berliku-liku, Mahbub mengadakan jumpa pers. Kepada Muhaimin Thohir, tokoh pers Bulan, dia berkata, "Mengapa harus muktamar luar biasa? Tidak kurang dari Syarifuddin dan Tamam Achda mendukung Naro di Ancol. Bahwa PPP mesti berasas Pancasila, mesti terbuka, mesti nasional, mesti demokratis, itu jelas. Saya kira, Naro juga kepengin begitu." Pernyataan Mahbub ini mendapat tempat yang layak di sisi medla massa Bulan. Bahkan Muhaimin Thohir - yang dulu berasal dari harian Terbit, kini hijrah ke Bulan - membuat ulasan khusus, sambil tak lupa memuji-muji Ridwan Saidi dan Sudardji. Dua tokoh PPP ini dilihat dari rembulan adalah teman paling akrab. Satpam DPR pun bisa menjadi saksi keakraban dua orang ini. Tapi seminggu setelah kembali dari Bulan, Mahbub mampu juga bicara lain: "NU mendesak DPP PPP agar secepatnya menyelenggarakan muktamar luar biasa untuk mengatasi kemelut yang sedang berlangsung." Mungkin, karena jarak Bandung dengan Bulan ratusan ribu kilometer, ia menyangka Muhalmm Thohlr dan kawan-kawan tidak tahu. Padahal, tanpa Mahbub tahu, Muhaimin membonceng unta Mahbub ke Bumi. Masalahnya memang bukan konsistensi pernyataan di Bulan dengan di Bandung. Bagaimana peluang untuk melamar gadis PPP, setelah Naro sebagai pelamar tunggal ditolak sang mertua? Mertua yang merasa kuciwa dengan Naro yang tidak bertindak menurut yang diharapkan, memberi kesempatan Syarifuddin dan Achda-dua tokoh tidak penting dan berfungsi sementara, untuk kemudian dilupakan-untuk mengobrak-abrik hubungan intim Naro dengan PPP. Dengan begitu, mertua punya alasan menimbang kembali status kemenantuan Naro dan kawan-kawan. Bahwa kemudian Syarifuddin dan Achda cuma menjadi mak comblang, sudah jelas. Gadis PPP, yang kini menjanda, segera diincar oleh yang lain: NU dan MI. MI terakhir ini tentu saja merupakan kelompok yang berbeda dengan Naro dan kawan-kawan, sementara NU tetap kelompok yang itu-itu juga. Dua pesaing inilah yang memlliki kans kuat untuk merebut hati mertua, sementara Naro dan kawan-kawan, Syarifuddin dan Achda, hampir praktis tersingkir. Andai kata muktamar luar biasa ini benar terjadi, seperti diharapkan Mahbub, maka Naro telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ia muncul dengan kup, diakhiri dengan kup. Seperti salat: diawali dengan takblr, dlakhirl dengan salam. Ml Baru pun cepat tanggap. Manuver dibuat. Dengan mengumpulkan semua kekuatan KAHMI, lengkap dengan tokoh pendiri HMI, mereka menghadap. Isunya sederhana: KAHMI, kelompok intelektual muda kota, menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas - suatu isu yang secara intelektual tidak tertandingkan dengan isu Ahmad Siddiq pada waktu yang hampir sama. Di balik jubahnya - walaupun tidak menyenangi jilbab dikenakan oleh muslimat - Kiai mampu berpikir lebih besar tentang hubungan antara Islam dan negara Orde Baru. Peristiwa hadap-menghadap ini sedikit melahirkan titik terang. Setidak-tidaknya, penerimaan asas tunggal memberikan umpan terobosan untuk mendapatkan legitimasi lebih jauh - baik untuk berdagang maupun untuk melamar gadis PPP. Tentu saja, manuver MI ini menggugah calon menantu lain: Nahdatul Ulama. Walau kelompok terakhir ini telah menyatakan diri bersih dari permainan politik - dikukuhkan pula dengan Muktamar Situbondo - toh naluri "bawah sadar" kekuasaan NU tidak sama sekali hilang. Naluri inilah yang mendorong terjadinya pertemuan "pribadi"- tidak resmi, walau dihadiri tokoh-tokoh terkemuka NU - di rumah Kiai As'ad, 20 Maret sore. Maka, ditentukanlah Zamroni untuk membentuk panitia muktamar luar biasa - sementara Syah Manaf walau sudah tua, dipakai sebagai ujung tombak NU menembus manuver-manuver MI Baru. Memang tidak perlu ada kiai yang menembus langsung kepada Pak Harto - berbeda dengan setelah NU dibantai Naro di Ancol - untuk menjelaskan persoalan ini. Toh NU siap dengan seperangkat dalil-dalil fiqih. Dengan ilmu mantiq - ilmu silat lidah - yang tinggi, Abdurrahman Wahid menjelaskan: secara organisasi NU tidak terlibat dalam PPP. Yang terlibat adalah warga NU yang aktif di PPP. Masalah lain, yang menarik dalam kasus PPP ini, adalah timbulnya sikap berlomba-lomba menyatakan diri tidak Islam. Anehnya, yang terpojok adalah orang-orang yang berbau Islam atau yang dianggap memiliki bau Islam. Kelompok Naro mendapat kehormatan pertama menerima anggapan itu. Dan Zamroni, walaupun fasih menyebut Allah dan subhanallah, toh ditugasi untuk mengintip siapa yang masih menyimpan bau Islam. Dengan mengenakan kopiah santri, dia menyatakan pernah dihubungi untuk membersihkan anggota Pansus di F-PP yang tidak setuju dengan Pancasila: orang-orang Islam yang mungkin belum pernah bersentuhan dengan kitab kuning, berbeda dengan Zamroni dan kawan-kawan. Tentang janda PPP sendiri, apa dia mau dilamar kedua orang ini? Wah, dia diam saja. Menurut dalil orang santri, diam itu menunjukkan persetujuan. Assukuutu yadullu 'alan na'am. Tancaap terus, Bang Mahbub! Tunggu ape lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini