KETIKA Dan Barry memperkenalkan interferon di komik Flash Gordon tahun 1960-an, dan menggambarkannya sebagai obat suntik yang mampu menghajar semua jenis virus, banyak orang mungkin menganggapnya masih khayalan. Tapi obat ampuh versi komik itu ternyata bukan tidak ada. Barry si komikus itu memang punya perhatian cermat pada perkembangan ilmu pengetahuan. Barry tahu, pada tahun 1957, dua virolog Inggris, Alick Isaacs dan Jean Lindenmann telah menemukan interferon substansi sei (bukan antibodi) yang mampu memblokir perkembangan virus. Namun, tentu saja, dengan daya khayalannya si pelukis cergam itu telah menampilkan interferon lebih maju ketimbang hasil penelitian kedua ilmuwan Inggris itu. Barry pada tahun 1960 membayangkan interferon sudah sebagai obat suntik yang segera bisa digunakan untuk menolong pasien yang diserang virus aneh. Dua puluh tahun kemudian, khayalan Barry si cergamis jadi kenyataan. Lewat rekayasa genetika, interferon bisa diproduksi dan dicobakan mengatasi berbagai penyakit virus dari influensa, penolakan tubuh pada transplantasi, sampai kanker. Akhir Maret lalu, kantor berita Gamma Prancis, menyiarkan data baru tentang interferon hasil percobaan Prof. Michel Boiron, seorang hematolog kawakan dari rumah sakit Saint-Louis, Paris. Boiron berhasil mencobakan interferon alfa untuk mengatasi kanker darah leukemia tricholeucocyte sejenis leukemia yang jarang. Dari 35 kasus yang ditanganinya dalam percobaan, 34 menunjukkan hasil yang meyakinkan. Lewat suntikan-suntikan interferon alfa, tricholeucocyte bisa dipulihkan sampai jumlahnya normal. "Kita tinggal menunggu lima tahun lagi untuk memastikan apakah interferon alfa bisa disahkan sebagai penyembuh leukemia tricholeucocyte," ujar Boiron. Memang kesembuhan kanker ditentukan setelah "masa perjuangan lima tahun" atau Five Year Survival. Yang berhasil melalui masa itu bisa dikatakan sembuh. Boiron mengemukakan, bila kesembuhan ini sudah bisa dipastikan, maka dapat pula dikatakan bahwa inilah pertama kalinya kanker disembuhkan tanpa menyerang selsel yang sakit, melainkan dengan membangkitkan sistem pertahanan tubuh. Interferon memang bukan obat kanker seperti sitostatika yang menyerang langsung sel-sel kanker. Keadaan ini, menurut Boiron, menunjukkan bahwa percobaan interferon sudah memasuki percobaan gabungan: percobaan laboratorium dan klinis. Dari sini sudah mulai bisa direka dosis suntikan yang perlu diberikan. Walaupun interferon menurut khayalan Dan Barry adalah obat suntik, substansi itu seperti yang dikatakan Boiron adalah bagian pertahanan tubuh yang terdapat pada sel diproduksi sendiri oleh tubuh. Ketika pada awalnya menemukan, Alick Isaacs dan Jean Lindenmann menyebutkan interferon sebagai substansi yang mampu melindungi sel dari serangan berbagai virus. Dalam penelitian-penelitian selanjutnya, diketahui, interferon adalah sejenis protein, atau lebih tepatnya memproduksi protein. Protein inilah yang mempunyai sifat antivirus. Sifat antivirus im ternyata sangat khas. Tidak hanya memblokir pembelahan sel yang terserang virus, tapi juga membangun sistem pertahanan tubuh. Ketika kekhasan ini diteliti lebih jauh, hasilnya menghidangkan sebuah kenyataan yang sangat menakJubkan. Interferon ternyata lebih sesuai dikatakan "kurir" yang dikirimkan sel-sel yang sakit kepada sel-sel sehat untuk memberitakan adanya serangan virus, dan "menyarankan" agar pertahanan dibangun sedini mungkin untuk menghadapi serangan. Misalnya sebuah sel diserang virus. Para penyerang - yang berupa virus-virus itu segera menduduki inti sel dan segera pula menjadikannya "pabrik" reproduksi untuk memperbanyak diri. Inti sel yang sudah diduduki ini akan berbahaya bagi sel-sel lain karena menembakkan virus-virus ke sel-sel lainnya. Begitulah penyakit merambat. Akan tetapi, inti sel yang terserang itu ternyata punya juga pertahanan rahasia. Begitu diduduki, inti sel ini memproduksi interferon, dan merambatkannya ke sel-sel lain - di sekitar sel yang terserang. Sel-sel tetangga yang kedatangan interferon segera memproduksi sejenis protein dan siap menanti serangan. Ketika serangan datang, protein yang disiapkan menggagalkan pendudukan virus dengan jalan memblokir pembelahan inti sel, dan bila perlu memproduksi lagi interferon untuk dikirimkan ke sel tetangga yang lain. Sistem pertahanan interferon serupa itu sangat menarik para ilmuwan. Masalahnya karena substansi alamiah, yang diproduksi tubuh ini, selain ampuh bagi penyembuhan juga tidak menimbulkan dampak samping. Karena itu, menjelang tahun 1980-an, para peneliti memburu kemungkinan memproduksi interferon - mula-mula untuk penelitian, kalau bisa tentunya sebagai obat. Di laboratorium, interferon memang bisa dibuat. Tapi, selain rumit, juga mahal. Dari ekstraksi 1 ons darah putih bisa didapat hanya sepersejuta ons interferon - biayanya US$ 1.500 (Rp 1,5 juta lebih). Namun, usaha memproduksi inferferon tak berhenti sampai di situ. Dengan bantuan rekayasa genetika, lewat laboratorium yang semacam pabrik, interferon bisa diproduksi lebih banyak, walaupun dengan biaya yang sama mahalnya. Caranya menggunakan teknologi mikro yang sangat menakjubkan, dengan bantuan sejenis bakten - dmamakan bakteri E. Coli - yang memiliki sebuah khromoson, dan beberapa plasma sel. Plasma sel bakteri dilepaskan dari selnya. Sementara itu, materi genetika pada DNA dalam sel yang memerintahkan pembuatan interferon dilepaskan pula dari sel-sel darah putih. Kedua benda mikro ini, plasma sel dan "cikal interferon", kemudian disambungkan. Setelah penyambungan, gabungan gen ini dipasangkan kembali ke bakteri bakteri E. Coli itulah. Produksi pun berlangsung: bakteri membelah diri (memperbanyak) dan koloni bakteri yang terjadi punmengandung interferon. Inilah bahan obat suntik - yang harganya sekitar 250 juta rupiah sebotol. Hasil penelitian menunjukkan, interferon hasil laboratorium ternyata lebih murni daripada interferon yang dihasilkan oleh tubuh sendiri - struktur molekulnya agak berbeda. Akibatnya, interferon bikinan ini diperhitungkan lebih potensial. Di sini terletak jawaban, mengapa interferon tubuh tidak selalu bisa mengatasi penyakit. Interferon bikinan diharapkan bisa. Mengatasi kanker, misalnya. Dan, Prof. Michel Boiron mulai menemukan tanda-tanda itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini