Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak "jebakan" tersimpan dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Wajarlah jika banyak pihak risau menyaksikan Komisi Perta hanan Dewan Perwakilan Rakyat ngebut meram pungkan rancangan itu. Para politikus Senayan memasang target RUU Rahasia Negara itu bakal disahkan akhir September ini.
Sikap kejar setoran DPR di akhir masa jabatannya itu patut disesalkan. Terlalu berisiko jika 22 rancangan undang-undang hendak dikebut dalam sebulan ini. Terutama karena yang dibahas kali ini adalah peraturan yang berdampak luas bagi masyarakat. Seharusnya undang-undang seperti ini termasuk usulan revisi Undang-Undang Terorisme ditimbang saksama dan dikaji serius dari berbagai aspek.
Pembatasan informasi menyangkut rahasia negara me rupakan sebuah keharusan. Kemajuan teknologi telah membuat informasi apa pun gampang diterabas dan dite robos. Rasanya tak ada yang alergi jika ada rambu-rambu pengatur kebebasan informasi demi kepentingan negara.
Persoalannya, rambu-rambu itu sebetulnya telah ada. Pasal 17 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang baru berlaku Maret tahun depan telah mendedah apa saja informasi yang masuk kategori rahasia. Termasuk informasi yang bila dibuka bisa menghambat penegakan hukum dan membahayakan ketahanan ekonomi nasional.
Jika sudah ada undang-undang kebebasan informasi itu, mengapa harus repot merancang undang-undang baru? Kelihatannya tak ada skala prioritas di Senayan. Lebih parah lagi, RUU Rahasia Negara terbukti membawa aura negatif. Semangat yang diusungnya seolah berlawanan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang sedang gencar dituntut rakyat.
Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya ada 12 pasal dalam RUU Rahasia Negara yang kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Pasal 37, misalnya, menegaskan bahwa rahasia negara tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam peradilan selain perkara tindak pidana rahasia negara. Pasal ini bisa berdampak serius. Selama ini pun penyidik kerap kesulitan menggali informasi dari istana dan lembaga pertahanan. Bisa dibayangkan, jika Undang-Undang Rahasia Negara berlaku, bakal kian sempit peluang penyidik dan aparat pe negak hukum untuk memeriksa perkara yang menyangkut pemerintah.
Persoalan lainnya, kategorisasi "rahasia" dan "sangat rahasia" dalam RUU Rahasia Negara jauh dari jelas. Seperti karet, sifat kerahasiaan bisa mulur-mungkret tergantung sang penafsir, yakni Dewan Rahasia yang dibentuk pemerintah. Ranjau-ranjau bisa meledak dengan tidak terduga. Wartawan yang melakukan liputan investigasi, umpamanya, bisa terkena jerat rahasia negara dan dipenjarakan bertahun-tahun. Lembaga pers yang dituduh melanggar rahasia negara pun bisa didenda Rp 500 juta atau lebih.
Ganjalan berikut yang tak kalah serius adalah kurangnya partisipasi publik. Sejak awal pemerintah dihujani kritik lantaran tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan draf rancangan. Akibatnya, pada Agustus 2008, DPR mengembalikan draf RUU ini kepada peme rintah. Namun revisi yang dibuat pemerintah tak lebih dari sekadar menambah bedak di permukaan. Substansi permasalahan tak banyak berubah.
Ketimbang menebar persoalan yang lebih serius, pembahasan RUU Rahasia Negara sebaiknya dihentikan dahulu. Tak ada guna kejar setoran untuk perkara ini. Biarlah DPR periode mendatang yang membahasnya dengan proses yang lebih baik. Suara berbagai lapisan masyarakat perlu didengar dengan lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo