DI ZAMAN Soeharto berkuasa, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus menjalani penelitian khusus alias litsus. Mereka yang loyal kepada konstitusi (celakanya, diterjemahkan loyal kepada Soeharto) lolos, tapi yang "kurang loyal" akan terjaring. Daftar calon dari Golkar, selama tujuh kali pemilu, malah ditentukan oleh Soeharto sendiri?sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Di masa itu, ketua umum parpol mutlak harus mendapat "restu" Soeharto, begitu juga pos-pos kunci di partai.
Pekan ini, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar calon anggota DPR sementara, dan belum terdengar ada litsus diberlakukan. Jelas, ini pertanda campur tangan kekuasaan boleh dikata nihil. Entah untuk Partai Golkar. Kalau penyusunan daftar itu bebas pengaruh pemerintah yang berkuasa, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah calon anggota DPR mendatang benar-benar mewakili pendukungnya di kabupaten tempat nama sang calon dicantumkan? Jawabannya: belum.
Sistem pemilihan yang dipakai?proporsional berbasis kabupaten?ternyata tidak mengharuskan seorang calon anggota DPR benar-benar punya ikatan dengan rakyat di sebuah kabupaten. Bahkan, bisa saja sang calon DPR "sama sekali jauh" dari kabupaten tersebut. Tokoh-tokoh Jakarta tetap saja tampil "mewakili" berbagai kabupaten?sama persis seperti pemilu yang dulu. Sebutlah Akbar Tandjung (Golkar), dan Edi Sudradjat (PKP), yang mewakili Bogor, sementara Amien Rais (PAN) tampil di Jakarta Timur. Semua ini terjadi karena partailah yang menentukan siapa dan di kabupaten mana calon anggota DPR itu ditempatkan. Rakyat pemilih di kabupaten, apa boleh buat, untuk pemilu kali ini belum bisa menentukan langsung calon yang mewakilinya di DPR.
Tentu, ini bukan melulu salah partai. Mencari paling tidak 462 orang kader partai untuk calon DPR Pusat (kursi yang tersedia 500 minus 38 kursi jatah gratis ABRI) yang mewakili 305 kabupaten di Indonesia bukanlah perkara gampang. Belum lagi sejumlah calon anggota DPR untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Banyak partai yang menyetor nama kurang dari 462 orang. Bahkan, dua partai nyaris didiskualifikasi karena terlambat menyetor daftar calon anggota DPR. Di samping itu, banyak calon anggota DPR yang namanya "dicantumkan" dulu, tanpa persetujuan yang bersangkutan, agar daftar calon segera sampai di KPU.
Politik massa mengambang Orde Baru sejak 1971 adalah salah satu penyebab sulitnya mencari kader partai. Dengan menghadang parpol untuk masuk ke kecamatan dan desa, kalangan muda di akar rumput itu memandang politik seperti tabu yang harus dihindari. Sejalan dengan itu, politik normalisasi kehidupan kampus (NKK) membuat kalangan muda terdidik perkotaan boleh dikata "buta politik". Golkar barangkali perkecualiannya. Partai pemerintah itu sejak dulu punya Karakterdes?Kader Penggerak Teritorial Tingkat Desa?"mesin" Golkar di pedesaan sejak 1984. Jika "mesin" itu masih bekerja baik, tentu Golkar banyak mendapat keuntungan dalam pemilu kali ini.
Sterilisasi politik selama lebih dari 30 tahun itu dampaknya tentu akan panjang, dan sukar ditebus hanya beberapa bulan sejak orang bebas mendirikan partai. Maka, jangan dulu berharap terlalu banyak dari calon yang akan duduk di Senayan mendatang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini