Dalam suasana yang sangat tidak kondusif?setelah peledakan bom di Masjid Istiqlal dan bentrok kesekian kali antara rakyat dan tentara di Aceh?nilai tukar rupiah diam-diam menguat terhadap dolar AS. Selain itu, tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia turun ke 33,21 persen. Lalu, kenaikan volume dan nilai transaksi saham di Bursa Efek Jakarta melengkapi gambaran ceria itu. Jumat, 1 Mei silam, indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat menjadi 495 poin dan seminggu kemudian, 8 Mei, naik lagi ke 575 poin. Prestasi ini mencengangkan. Apakah investor asing yang dua pekan terakhir gencar memborong saham hanya mengikuti herd instinct dan sekadar melakukan transaksi hit and run, untuk meraup keuntungan besar secara kilat? Atau benarkah pemulihan ekonomi Indonesia kini dianggap sudah berada pada jalur yang benar?
Apa pun jawabannya, tidak ada yang bisa dikatakan benar-benar tepat untuk menjelaskan gejala maraknya bursa. Memang, ketika ekonomi tumbuh bagus, kenaikan indeks harga saham ikut mencerminkan kenyataan itu. Indeks Dow Jones di AS pekan lalu mencatat rekor kenaikan 11.000 poin, satu prestasi yang menggembirakan tapi juga menakutkan. Menggembirakan, sebab di balik rekor itu, ekonomi AS terasa gegap-gempita karena ditandai dengan kenaikan permintaan pada barang-barang manufaktur seperti mobil dan komputer. Tapi rekor Dow Jones juga menakutkan karena sudah sangat tinggi, sehingga saham-saham dianggap over valued. Akibatnya, setelah itu bisa saja terjadi koreksi, harga-harga jatuh dan kalau tidak awas, mungkin juga crash. Gubernur Federal Reserve AS, Alan Greenspan, wajib menjaga agar crash tidak terjadi, karena dampaknya akan menghantam seluruh dunia.
Lalu, bagaimana harus membaca pasang naik bursa Jakarta? Bukankah investor dan fund manager asing juga tahu bahwa program pemulihan ekonomi?di Korea Selatan, Thailand, terlebih Indonesia?belum cukup baik dan efektif? Khawatir "bursa mengamuk", Menteri Keuangan Korea Selatan, Lee Kyu-sung, mengingatkan agar hati-hati menyiasati aksi borong yang menggebu-gebu. Tapi pihak lain melihat rekor Dow Jones 11.000 poin akan terus memacu pembelian saham seraya memompakan dana ke bursa-bursa Asia. Orang pun bicara tentang kembalinya arus modal dunia ke Asia atau arus balik atau euforia bursa.
Direktur IMF, Hubert Neiss, gembira dan menafsirkan gejala maraknya bursa sebagai tanda pulihnya kepercayaan investor asing pada Indonesia. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita lebih optimistis. Dia memperkirakan akan ada pertumbuhan 2 persen, inflasi bisa ditekan ke 10 persen, dan tingkat suku bunga bisa turun sampai 20 persen. Dan hati kita pun berbunga-bunga. Namun, tidak ada salahnya mendengarkan imbauan Menteri Lee dari Seoul. Lagi pula pengalaman pahit?setelah investor asing meninggalkan bursa Jakarta?mengajarkan kepada kita bahwa arus modal bisa memperkaya, tapi juga memperdaya. Bahwa yang namanya kapital selalu berjaya dengan aturan main yang tidak kita kenal seluk-beluknya. Bahwa semua terlalu bagus dan terlalu cepat, sehingga lebih baik waspada dan tidak begitu saja percaya pada angka-angka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini