ADA benarnya nasihat ini: Presiden Habibie jangan terlalu banyak bicara. Dalam masa jabatan sementara yang singkat ini, lebih baik Habibie bekerja keras mempersiapkan pemilu yang jujur dan adil. Dia akan dikenang harum jika dia berhasil, bukan kalau dia banyak berkata, terutama tentang soal yang mungkin tak dikuasainya, seperti komunisme, marhaenisme, sosialisme.
Ketika menerima pimpinan Pemuda Muhammadiyah, Rabu pekan lalu, Habibie menyebutkan bahaya gerakan komunisme, marhaenisme, dan sosialisme: disingkatnya dengan "Komas". Menurut Habibie, "gerakan" itu menginginkan disintegrasi bangsa. Ia bahkan mencoba mengaitkan pada ingatan akan Nasakom, poros gotong royong nasionalisme, agama, dan komunisme, ciptaan Bung Karno dulu. Mungkin dengan harapan orang menjadi ngeri karena ada hubungan bunyinya dengan "Komas".
Menteri Muladi mengklarifikasi ucapan Habibie. Katanya, Habibie tak menuduh, "Hanya, beliau meminta supaya diwaspadai gerakan-gerakan yang populis itu, yang sangat rawan dimasuki komunis." Tapi, hujatan tetap menerpa. Mungkin sekarang, ketika pelbagai "isme" sedang loyo, dan?khususnya di Indonesia?pelbagai trauma sedang dicoba dihilangkan, seruan awas ini dan awas itu seperti berisiknya bunyi tong kosong.
Misalnya soal komunisme. Memang, para tahanan dan hukuman politik telah dibebaskan, termasuk yang tersangkut dengan PKI. Mereka mulai mengisi pemberitaan media massa. Mereka tentu tak merasa bersalah, dan suara protesnya?untuk meluruskan sejarah, setidaknya menurut versi mereka?baru sekarang terdengar. Maklum, kemerdekaan bersuara juga harus jadi hak mereka. Tapi ada dua soal yang tidak menyebabkan suara itu berbahaya. Pertama, mereka umumnya sudah di atas 70 tahun. Terlalu tua untuk berevolusi. Kedua, komunisme sebagai paham sudah bangkrut dasar teorinya, dan sudah tak ada model lagi dalam prakteknya. Sistem kapitalisme sudah merasuk ke Rusia dan Cina. Kalaupun di Indonesia ada anak muda yang tertarik, itu lebih karena Orde Baru menjadikannya mirip buku porno.
Komunisme bukan lagi spectre yang menghinggapi dunia. Ia sudah jadi hantu sawah.
Marhaenisme? Dari sudut praktisnya saja, undang-undang tak melarang partai politik yang memakai asas perjuangan marhaenisme. Bahkan ada beberapa. Marhaenisme memang punya banyak tafsir. PDI Perjuangan lebih bersatu karena tokoh Megawati dan nama Bung Karno, ditambah pengalaman disingkirkan Orde Baru, ketimbang oleh kesatuan paham tentang marhaenisme. Kenapa lantas Habibie menjadi takut?
Lalu sosialisme: sosialisme yang mana? Perdana Menteri Jerman Schroeder, yang sosialis demokrat, boleh diminta Habibie menjelaskan apa gerangan paham ini, dan ada berapa macam tafsir sosialisme di dunia. Di Indonesia, bahkan belum jelas apa beda sosialisme-kerakyatan, yang dulu jadi dasar PSI Syahrir, dan sosialisme menurut PRD (yang juga tak menghendaki diktator proletariat) sekarang.
Barangkali yang perlu dikoreksi ialah kecemasan masyarakat: terlalu prihatin dengan ucapan Habibie. Komat-kamit dan jampa-jampi menangkis "hantu" biasa dipakai untuk menggerakkan dukungan politik, tapi harus dilihat mempan dan tidaknya. Juga kalaupun ia nanti berbunyi "Komas-Kamis": komunis-marhaenis-sosialis-Katolik-Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini