Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMPERSIAPKAN diri menjadi calon presiden periode kedua, Joko Widodo semestinya lebih percaya diri. Berbagai sigi mengindikasikan dia berpeluang besar kembali terpilih. Elektabilitas mantan Gubernur Jakarta ini memang belum aman betul karena masih berada di bawah 50 persen. Namun keadaannya jauh lebih baik dibandingkan dengan situasi Susilo Bambang Yudhoyono setahun sebelum memenangi periode kedua pemilihan pada 2009.
Setahun lebih sebelum pemilihan presiden, yang digelar serentak dengan pemungutan suara untuk anggota badan legislatif pada April 2019, Jokowi jauh mengungguli pesaing terdekatnya, Prabowo Subianto. Menggunakan perolehan suara partai-partai hasil Pemilihan Umum 2014 untuk menentukan tiket pencalonan, kecil peluang munculnya calon presiden alternatif yang kuat. Dengan asumsi suara pemilih yang belum menentukan pilihan terbagi secara proporsional untuk kedua tokoh, Jokowi jelas di atas angin.
Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga relatif tinggi di sekitar angka 70 persen. Publik menilai pemerintah sukses membangun berbagai proyek infrastruktur. Lepas dari sejumlah persoalan di belakangnya--misalnya problem pembiayaan dan kecelakaan kerja--pembangunan sarana fisik pada era Jokowi memang terlihat gencar.
Jokowi praktis juga telah menguasai mayoritas kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Tiga tahun lebih memerintah, ia berhasil mengkonsolidasikan partai-partai, termasuk yang pada 2014 tak mendukungnya, seperti Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional. Ia kini bukan lagi sekadar "petugas partai" PDI Perjuangan, melainkan telah menjadi "pemegang saham pengendali" sebagian partai utama. Lima partai telah menyatakan pencalonannya kembali-PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura. Ia pun memiliki posisi tawar yang sangat besar menghadapi pemilihan presiden tahun depan, termasuk buat menentukan calon wakilnya.
Kecuali ada situasi luar biasa yang tak terkendali-misalnya krisis ekonomi parah atau terlibat korupsi-besar kemungkinan ia akan menang. Berbagai usaha menggerus dukungan kepadanya dengan menyebarkan tuduhan seperti "terlibat Partai Komunis Indonesia" besar kemungkinan tak akan efektif. Menurut hasil survei Poltracking Indonesia, kandidat yang akan dipilih dalam Pemilu 2019 adalah mereka yang "merakyat", "jujur dan berintegritas", serta "berwibawa"-ciri yang secara umum merujuk pada Jokowi.
Sebagian kalangan menilai dukungan buat Jokowi bisa saja tergerus oleh kampanye rasialis seperti yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama pada pemilihan Gubernur Jakarta tahun lalu. Penilaian seperti itu tidak memiliki pijakan kuat karena Jokowi bukan kandidat dengan "tripel-minoritas", istilah yang kerap dipakai Basuki sendiri: menganut agama minoritas, datang dari suku minoritas, dan tidak memiliki dukungan partai politik. Gaya bicara dan model komunikasi Jokowi pun tidak seperti Basuki yang meledak-ledak dan berpotensi besar menciptakan blunder.
Karena itu, Jokowi memiliki keistimewaan untuk leluasa memilih calon wakil presidennya. Ia bisa menentukan pendamping terbaik, yaitu yang terbukti bisa bekerja dan mampu membantunya mengatasi persoalan lima tahun ke depan. Ia bisa becermin pada keberhasilan Yudhoyono menguatkan elektabilitasnya pada 2009, dengan memilih Gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai calon wakil presiden, buat mengalahkan pesaingnya yang merupakan para pemimpin partai: Megawati Soekarnoputri-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Jokowi sepatutnya tidak terjebak pada "kecemasan sektarian". Kalah telak dalam Pemilu 2014 di tiga tempat-Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat-Jokowi kini dikabarkan menggenjot upaya menang di sana. Alasan utama kekalahannya ketika itu adalah dia dinilai tak merepresentasikan pemilih Islam di provinsi-provinsi tersebut. Dalam memilih calon wakil presiden 2019, ia disebut-sebut mempertimbangkan kandidat yang bisa mendongkrak suaranya di kalangan pemilih muslim, termasuk di ketiga provinsi. Politik identitas seperti ini akan membuat demokrasi berjalan mundur.
Jokowi boleh saja memilih kandidat wakil presiden yang pada 2024 berpotensi menjadi calon presiden. Namun niat itu hendaknya didasarkan pada jaminan "keberlanjutan pembangunan", bukan pada jaminan "keamanan politik" setelah ia tidak lagi menjabat.
Hari-hari ini kita melihat pertarungan keras para kandidat wakil presiden untuk merebut hati Jokowi. Hari-hari ini kita melihat Jokowi sedang bertarung justru dengan dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo