Satjipto Rahardjo
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
PENGADILAN Akbar Tandjung memang menarik. Akbar "bukan orang biasa", melainkan seorang ketua dari suatu lembaga prestisius, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Perkaranya juga masih saja memicu perdebatan mengapa, sekalipun vonis sudah dijatuhkan, yang bersangkutan masih bebas di luar. Satu pihak mengatakan, itu menusuk rasa keadilan masyarakat. Pihak yang lain mengatakan, keharusan segera ditahan itu berlaku untuk kejahatan jalanan seperti pencurian, yang pelakunya umumnya orang biasa, yang apabila tidak ditahan akan melarikan diri. Sedangkan?begitu alasan mereka?Akbar adalah orang yang berkedudukan tinggi dan, karena itu, tak perlu dikhawatirkan akan melakukan hal-hal seperti itu. Dan lain-lain, dan seterusnya.
Tulisan ini pertama ingin menyoroti perkara Akbar dari segi filsafat penegakan hukum. Sejak di negeri ini korupsi digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa, tentulah penanganannya juga akan menggunakan cara-cara yang luar biasa?yang belum terlihat "semangatnya" dalam proses peradilan Akbar (juga dalam pengadilan kasus korupsi yang lain). Pengadilan masih saja berjalan menurut alur biasa, seperti dicantumkan secara hitam-putih dalam kitab hukum. Bangsa kita adalah murid yang sangat patuh pada aturan main formal. Ini sikap yang kurang tepat. Sulit sekali bagi kita untuk kreatif jika masih terjebak dalam peraturan, asas, serta doktrin yang ada, yang notabene dalam sejarahnya dirancang berdasarkan filsafat liberal. Saya tidak mengatakan untuk bertindak luar biasa maka kita menepiskan sama sekali peraturan yang ada. Yang ingin dikatakan, kreativitas itu membutuhkan tekad dan keberanian untuk mencari tracee baru, kendati tetap berdasarkan pada hukum yang berlaku. Ini membutuhkan visi penegakan hukum baru, tidak hanya bagi para hakim dan jaksa, tapi juga para advokat.
Filsafat liberal dari hukum yang umum dipakai di dunia sekarang ini, dan yang juga dipakai di negeri kita, ternyata cukup menghambat usaha menangani korupsi. Atmosfer liberal telah sangat dimanfaatkan oleh para terdakwa dan pembela hukumnya, sebagaimana juga tampak kuat dalam pengadilan Akbar. Di sini orang lebih mencari menang daripada dengan penuh semangat ingin memberantas korupsi. Misalnya, hampir saja prosesnya dinyatakan tidak sah hanya karena putusan pengadilan negeri tidak segera diterima terdakwa.
Sikap Akbar yang tetap ingin maju terus karena ada asas praduga tak bersalah juga menarik untuk diberi catatan. Di sini asas tersebut telah dipegang mentah-mentah menurut huruf-hurufnya, tanpa lebih jauh mencari maknanya. Ini merupakan pelajaran tentang betapa dangkalnya kita menjalankan hukum dan bernegara hukum. Kedangkalan itu makin kentara saat vonis bersalah untuk Akbar sudah dijatuhkan untuk kedua kalinya dan asas praduga tak bersalah tetap dijadikan tameng. Tanpa mengubah cara-cara formal rasional seperti itu, alih-alih hukum kita bisa bekerja efektif menangani koruptor, malah ia hanya akan menjadi tempat berlindung para koruptor.
Kasus Akbar juga banyak memberi pelajaran tentang posisi, peran, serta situasi budaya hukum kita sekarang. Budaya hukum kita sudah banyak mengalami perubahan, dalam arti rusak, sejak potretnya sekitar 50 tahun lalu. Penelitian Daniel S. Lev di tahun 1960-an menunjukkan potret budaya hukum kita yang berbeda sekali dengan yang sekarang. Waktu itu Lev masih mencatat nilai-nilai kerukunan, menjaga kehormatan, dan sebagainya?sebuah budaya yang bukan hanya milik Indonesia, tapi juga merata di Asia Timur. Hukum bukan dijalankan secara mentah-mentah, melainkan dikendalikan oleh suatu budaya hukum yang mengunggulkan moralitas. Di Jepang, misalnya, kehormatan dan rasa malu masih menjadi faktor penting dalam kehidupan bermasyarakat, jauh di atas kontrol dan sanksi hukum.
Tapi, Indonesia sekarang sudah bergeser jauh sekali dari sekalian nilai yang mendukung budaya hukum kita yang pernah ada dalam sejarah itu. Tampaknya tidak ada rasa risi dan malu telah menerima vonis pengadilan. Di Jepang, jangankan dijatuhi vonis, baru terlibat dalam proses litigasi saja pejabat sudah merasa malu, kehormatannya terusik, lalu mengundurkan diri.
Hukum tidak bisa dilepaskan dari kandungan moral di dalamnya. Seperti kata-kata Tacitus, "Quid legex xine moribus" (Bagaimana akan ada hukum kalau tidak ada moral). Tetapi, di negeri kita, sekarang orang sudah mulai memisahkan hukum dari moral. Penggunaan hukum modern lalu diartikan "hukum adalah urusan hukum, bukan moral". Pemahaman seperti itu sangat berbahaya. Pemberantasan korupsi akan sangat dihambat manakala hukum sudah dipisahkan dari moral, seperti dicontohkan dalam kasus Akbar ini.
Pengadilan terhadap Akbar bukanlah "pengadilan biasa" seperti dilihat oleh para ahli hukum formalis dan legalis. Secara sosiologis ia merupakan perkara yang berciri istimewa karena tidak menyangkut orang biasa. Menurut sistem ketatanegaraan kita, kedudukan sebagai Ketua DPR membawanya sejajar dengan presiden, Mahkamah Agung, dan lain-lain. Dalam posisinya yang demikian itu, ia memperoleh kehormatan untuk menjadi acuan dan tuntunan bangsanya. Di Amerika Serikat, yang sudah begitu rasional, presiden masih juga dianggap tak sekadar pemimpin rasional. Pada waktu Nixon diadili, terlihat betapa gelisah bangsa itu mencari tokoh pengganti yang bisa dianggap sebagai "bapak".
Penggelaran kasus Akbar selama beberapa tahun ternyata tidak mampu memberi pendidikan hukum dan bernegara hukum yang benar bagi bangsa kita. Yang bersangkutan juga telah gagal meraih kesempatan terhormat untuk mendidik bangsanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini