Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUMI sedang tidak baik-baik saja. Sepanjang 2022, bencana terjadi di mana-mana. Krisis iklim, anomali cuaca, lalu bencana. Itulah urut-urutan yang kian akrab di telinga kita. Anehnya, mereka yang punya kesempatan menunda kehancuran bumi masih banyak yang bermain sandiwara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah sudah berapa kali para pemimpin negara dunia berkumpul di acara seperti konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP). Mereka terus merapalkan konsep net zero emission (NZE) untuk mengatasi krisis iklim, yang disepakati dalam COP21 di Paris pada 2015. Indonesia termasuk negara yang ikut meneken Perjanjian Paris yang mengartikan NZE sebagai kondisi ketika emisi yang dilepas ke atmosfer tidak melebihi emisi yang kembali diserap bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun ini, dalam COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, para pemimpin dunia kembali mengumbar komitmen untuk mengurangi emisi, atas usaha tiap negara atau dengan bantuan dunia internasional. Tapi, setelah konferensi bubar, seperti biasa, tak pernah ada yang benar-benar melaksanakan atau menagih janji-janji tersebut.
Di panggung depan, para pemimpin dunia terus mengumbar janji untuk menyelamatkan bumi. Tapi, di panggung belakang, tak sedikit dari mereka yang membiarkan perusakan alam yang membabi buta, atas nama kepentingan ekonomi tiap negara. Walhasil, bumi pun kian merana.
Khusus di Indonesia, selama 2022 saja Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat lebih dari 3.500 kejadian bencana. Banjir mendominasi dengan 1.504 kejadian, disusul cuaca ekstrem (1.042), tanah longsor (633), serta kebakaran hutan dan lahan (251). Banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan adalah bencana yang—disadari atau tidak—diperparah oleh ulah manusia.
Bagi manusia rakus, hutan adalah sumber uang semata, bukan ruang hidup atau ruang sosial. Mereka membabat hutan dan menjual kayunya, lalu mengeruk nikel atau menambang emasnya. Kecepatan manusia menggasak bumi jauh melebihi kemampuan untuk merehabilitasinya.
Lihatlah ambisi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai produsen utama baterai mobil listrik dunia. Demi ambisi itu, pemerintah melegalkan deforestasi di Sulawesi dan Maluku Utara. Pemerintah memberikan izin kepada lebih dari 250 perusahaan untuk menambang nikel di hutan-hutan dan mengundang investor Cina membangun smelter. Pemerintah juga membujuk bos Tesla, Elon Musk, untuk mengembangkan mobil listrik di Indonesia. Dengan mobil listrik, emisi karbon di perkotaan diharapkan berkurang. Namun, di daerah kaya nikel seperti Sulawesi dan Maluku, penyerapan karbon otomatis berkurang karena hutannya terus dibabat.
Proyek ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur mengidap masalah serupa. Pemerintah berjanji membangun kawasan IKN dengan bahan material ramah lingkungan. Pada saat yang sama, pemerintah membolehkan penebangan pohon di sana. Kontradiksi juga tampak pada upaya pemerintah mengganti bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga uap batu bara dengan pelet kayu hasil menebang pohon.
Maka jangan salahkan aktivis lingkungan yang menyamakan klaim pemerintah seperti itu dengan greenwashing alias taktik pemasaran yang berpura-pura pro-lingkungan. Bila kepura-puraan itu tak dihentikan, “kutukan alam” bisa terus menjelma dalam pelbagai bencana lingkungan.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo