Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETAK di lantai dua rumah di gang samping kuburan itu sempit untuk sebuah pentas pertunjukan normal. Mungkin ukurannya hanya sekitar 8 x 8 meter. Sama sekali tidak ada prosenium atau kursi-kursi tertata. Begitu naik ke tangga semen, di mulut tangga terlihat berimpitan kursi, dingklik kayu sederhana dua baris, yang mungkin bisa memuat 25 penonton jika berdempetan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan kursi itu terhampar ruang permainan. Tampak hanya ada tiga kipas angin di tembok. Suasana apa adanya. Dus-dus di rak samping kiri dibiarkan begitu saja. Di pojok kanan belakang terdapat toilet kecil dengan tandon air berwarna oranye di atasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petak itu berlokasi di Jalan Jatinegara Timur 4, RT 003 RW 08, Gang Kober Kecil, Kelurahan Rawabunga, Jakarta. Saat malam, bila naik taksi online menuju lokasi itu, Google Maps bisa menunjukkan “jalan pintas” tapi sedikit membuat kita “merinding”: membelah kuburan Kober untuk sampai ke masjid dekat gang. “Tempat ini saya bikin untuk sebuah alternative space,” kata Dindon W.S., sutradara Teater Kubur.
Petak itu dibangun di atas rumahnya. Datang pada pukul 19.30, setengah jam sebelum pertunjukan, kita bisa melihat Dindon berbaur dengan penonton, merokok, mengopi. Di lantai, para aktor berlatih. Warga kampung yang ingin melongok tinggal ke atas. Segera terasa keegaliteran, keintiman suasana. Tidak ada tempat khusus bagi aktor untuk “bersembunyi”. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Azan isya dari masjid cukup keras terdengar. Semua diterima dengan rileks. Tak ada ketegangan. Tak ada protokol. Tak ada master of ceremony. Semua mengalir begitu saja. Tepat pada pukul 20.00, pertunjukan dimulai. Terlihat disiplin keaktoran yang kuat.
Lampu gelap. Penonton yang tadinya santai langsung terisap ke peristiwa dramatik. Tujuh pemain Teater Kubur gabungan aktor lama dan baru—Yardim, Hendra Setiawan, Viktor Pati, Sri Kuwati, Kamila Dara, Sheila, dan Dania Aliyana—bersila melingkar. Dalam katalog tipis yang diedarkan, mereka memerankan pesakitan. Pesakitan 1, 2, dan seterusnya. Seraya bersama-sama mengeluarkan bunyi dengung, mereka menggerak-gerakkan tangan di atas piring-piring bercahaya, seolah-olah merapal mantra. Cukup artistik adegan awal ini. Suasananya bak sebuah ritual penujuman. Piring-piring bercahaya itu piring ramalan. Mereka menyorongkan, mendekatkan piring-piring satu sama lain.
Teater Kubur dikenal bertumpu pada kekuatan ensambel atau permainan-permainan grouping aktor. Proses latihan mengeksplorasi grouping sering dijalankan Dindon sampai berbulan-bulan. Dindon berusaha sampai muncul kemungkinan-kemungkinan grouping yang tak biasa dan tak terduga. Walhasil, energi kolektivitas terasa sangat kuat pada diri Teater Kubur. Dan dalam pertunjukan kali ini kita melihat piring dan cahaya menjadi dasar eksplorasi. Permainan kolektivitas piring yang intens ini menampilkan aura dari magis sampai chaos.
Dindon piawai mengatur irama, ritme. Ia berusaha mengembangkan alur yang tidak membosankan dan tak mengulang-ulang. Seusai permainan piring bercahaya itu, piring diangkat, dan kita melihat cahaya ternyata berasal dari telepon seluler. Para pemain menyorotkan cahaya gawai ke bagian-bagian kecil badan: pundak, jemari, telapak lengan, tumit, dengkul, mata kaki. Gelap ruangan dan cahaya gawai kontras.
Lalu setiap aktor mulai seperti mengejang. Tubuh mereka mengigal. Sebuah ucapan dilantunkan: “Ada kepala menyelinap di balik kabut, kepala siapa mengembuskan angin gersang….” Titik yang membuat pertunjukan menanjak adalah tatkala para aktor mengelilingi sebuah galon air yang pucuknya tertutup slang. Slang itu memuncratkan busa sabun. Para aktor berebut busa, keroyokan.
Salah satu kekuatan aktor-aktor Teater Kubur adalah kemampuan imajinatif dan stamina mereka saat berinteraksi dengan benda-benda. Dalam pertunjukan-pertunjukan terdahulu, misalnya, mereka pernah mengeksplorasi tong, dari dijungkirbalikkan sampai digelinding-gelindingkan. Mereka juga pernah memain-mainkan slang-slang infus. Dan kali ini, selain piring, galon digunakan. Adegan berebut busa dari galon menjadi metafora yang cukup tajam. Perkelahian terjadi. Busa didapatkan untuk membersihkan piring, tapi saat mereka hendak makan, piring-piring tetap kosong.
Adegan menyantap dari piring kosong malam itu mengingatkan saya pada adegan getir para gelandangan di alun-alun Yogyakarta yang bermimpi mendapatkan lotre dan berfantasi makan enak dalam naskah Arifin C. Noer, Mega-Mega. Dalam adegan teater Dindon, satu per satu aktor memperkenalkan menu di piring kosong: “Ini Gado-gado Pancasila, Ketoprak NKRI, Nasi Goreng Rasa Radikal, Sop Konstitusi, Soto Revolusi Mental….”
Perisapan para penampil Teater Kubur sebelum mementaskan Ritus Bocor di Jakarta, 24 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Jelas, betapapun Teater Kubur adalah sebuah kelompok teater eksperimental, mereka sadar dan kritis terhadap pertumbuhan kota. Tema urban tentang kapitalisme yang makin menelan lahan-lahan dan kekuatan politik yang tak pernah mampu mencegah kerakusan industri melahap kota agaknya menjadi tema “abadi” Teater Kubur. Pada dasarnya, malam itu sebuah protes terjadi. Chaos saling lempar piring adalah alusi protes tersebut. Juga saat muncul sesosok laki-laki yang terjerat tali, dari belakang seolah-olah mengayun-ayun. Salah satu kalimat yang kuat muncul: “Ritual apa lagi, Ibu? Tunjukkan, Ibu.” Tapi, tatkala sosok Ibu (dimainkan Sri Kuwati) muncul, ia seolah-olah tak berdaya.
Dan kemudian adegan mayat-mayat. Bagian ini mengingatkan saya pada naskah Aduh karya Putu Wijaya. Seseorang tergeletak dan diseret ke sana-kemari. Dia orang asing yang tak dikenal. “Awas, jangan halangi jalan, minggir-minggir.” “Awas, awas, awas, hei, dia masih hidup.” “Matanya aneh, mata-mata mana.” “Tahan, tahan, bagaimana kalau kita bedah perutnya?” Bergantian pesakitan itu berbicara. Sampai kemudian muncul sesosok pemburu (dimainkan Edy Muhammad). Ia mengunyah-ngunyah kertas sambil melafalkan perkalian-perkalian ganjil. Ia lalu seperti mengumpulkan karung-karung plastik, jas hujan atau entah apa. Satu per satu tubuh itu seperti dibungkus, diseret. Sang Ibu datang, mengelilingi bungkusan-bungkusan tersebut. Ia kembali meratap.
Dari ritus, pertunjukan berakhir dengan ritus. Ritus yang bocor di sana-sini. Pada bagian akhir, para pemain bersila melingkar, kembali mengelilingi piring-piring bercahaya. Ponsel-ponsel dalam piring itu mengeluarkan suara berita. Entah berita tentang bencana, Dewan Perwakilan Rakyat, korupsi, sengketa tanah, atau entah apa. Sosok pemburu tergeletak di depan para pesakitan. Satu per satu pesakitan meletakkan ponsel di “jenazah” pemburu yang tambun.
Bukan pertama kali studio Teater Kubur di Gang Kober Kecil menampilkan pementasan untuk publik. Tatkala pandemi berlangsung masih dengan pembatasan ketat, di situ juga pernah ditampilkan karya Operasi Bocor. “Anis de Jong dan kawan-kawan Delta Dua Theater Company Belanda saat pentas di Taman Ismail Marzuki juga latihan di sini,” ucap Dindon. Dindon dan Teater Kubur baru saja mementaskan karya kolaborasi dengan grup teater Belanda pimpinan dramawan Anis de Jong berjudul Operasi Batavia, sebuah kisah mengenai Raymond Westerling. Pertunjukan ini lebih dulu dikelilingkan di Belanda dan kemudian di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, awal Desember 2022.
Pementasan di petak lantai dua sebuah rumah di Gang Kober Kecil itu memang memberikan pengalaman lain dibanding menonton di TIM, Gedung Kesenian Jakarta, atau tempat mapan lain. “Di Indonesia jarang ada tempat pertunjukan teater dengan kapasitas 25 atau di bawah 50 penonton, berbeda dengan di Jepang. Teater kecil di Jepang ada di mana-mana, dari dekat subway sampai di wilayah-wilayah downtown,” tutur Dindon.
Tapi mungkin di Jepang pun tak ada “Off-off Broadway” yang berlokasi di dekat kuburan. Dindon seolah-olah ingin menyatakan pertunjukan teater bisa bertolak dari yang ada dan memaksimalkan apa yang tersedia. Menonton pertunjukan ini, sembari menyesap kopi pahit yang dibuatkan salah satu anggota Teater Kubur, saya merasa energi kelompok teater yang tidak tunduk pada keterbatasan itulah yang juga menimbulkan rasa “estetis” malam itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo