Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masnuah berhasil mengukuhkan status nelayan bagi 31 perempuan di Demak, Jawa Tengah.
Ia juga mengadvokasi desa-desa pesisir Demak yang terancam tenggelam akibat krisis iklim.
Aktif mengedukasi masyarakat pesisir mengenai alat tangkap ramah lingkungan dan penanaman mangrove, juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah yang benar.
ROB yang hampir dua bulan terakhir tak kunjung surut di Morodemak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, membuat Hidayah, 45 tahun, khawatir. Perempuan nelayan yang juga anggota Dewan Pengawas Puspita Bahari ini khawatir desanya akan bernasib sama dengan Timbulsloko, yang tenggelam. Saban malam, ia tak bisa tidur nyenyak. "Saya khawatir air mendadak tinggi saat tidur. Takut tiba-tiba kelelep," katanya, Kamis, 15 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai perempuan nelayan yang telah banyak makan asam garam bersama Puspita Bahari—kelompok pemberdayaan perempuan desa—ia bergerak. Dayah—panggilan Hidayah—bersama pegiat Puspita Bahari lain menghubungi semua instansi di Kabupaten Demak. Gerakannya disambut Dinas Pendidikan Kabupaten Demak. "Mereka akan membantu meninggikan jalan ke arah sekolah supaya aktivitas anak-anak tidak terhambat aktivitasnya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dayah menyayangkan respons pemerintah daerah yang cukup lambat. "Jika tak ada gerakan dari Puspita Bahari, lambat sekali bergeraknya," tuturnya. Dayah mencontohkan, dalam hal terkecil mengenai penanganan sampah, justru Puspita Bahari yang berinisiatif mengedukasi masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Ihwal penanaman mangrove di beberapa desa pesisir di Demak yang terancam abrasi dan tenggelam, dia menambahkan, Puspita Bahari yang menjadi motornya.
MASNUAH, 48 tahun, mendirikan Puspita Bahari pada 2005. Mulanya ia resah terhadap nasib perempuan di rumah tangga nelayan yang tak mendapat kesempatan berdaulat. Ancaman pernikahan dini hingga tak diakuinya status perempuan sebagai nelayan membuat ia gelisah. "Kebanyakan anak perempuan di rumah tangga nelayan ketika beranjak dewasa buru-buru dinikahkan supaya ada yang bertanggung jawab terhadap mereka," ucapnya saat ditemui di Jakarta, Kamis, 15 Desember 2022.
Masnuah tidak lahir di Demak. Ia baru pindah ke Demak pada 1992 dari kota asalnya, Rembang, Jawa Tengah. Masnuah lahir dari keluarga nelayan. "Ketika pindah ke Demak, saya melihat kehidupan perempuan di desa-desa nelayan ini sama saja seperti di Rembang," ujarnya. "Kehidupan yang sangat terpuruk, tidak berdaya, tidak memiliki alternatif ekonomi, putus sekolah, dan tidak diakui statusnya sebagai nelayan."
Ia melihat kehidupan para perempuan itu sama seperti dirinya yang hanya sanggup bersekolah hingga tamat sekolah dasar. Ia dibesarkan dari keluarga nelayan kecil dan miskin. "Tidak ada kesempatan sekolah lebih lanjut karena sejak kecil sudah bekerja. Beranjak dewasa, saya belum juga mendapatkan akses yang lebih baik, untuk sekolah maupun bekerja," katanya. Selain itu, seperti perempuan nelayan lain, dia kesulitan mengakses hak-haknya sebagai nelayan hanya karena ia perempuan.
Ia lalu mengumpulkan 30 perempuan nelayan untuk mendirikan Puspita Bahari dengan harapan organisasi itu mampu memberdayakan perempuan di pesisir Demak. Saat itu kegiatan Puspita Bahari berpusat pada penguatan kapasitas perempuan sehingga mereka tak lagi hanya diam ketika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun, pada 2006-2007, jumlah anggotanya menyusut drastis. "Puspita Bahari dianggap sebagai pelawan kodrat, kehadirannya dianggap ancaman sehingga anggota kami dilarang berkumpul," tuturnya.
Masnuah tak tinggal diam. Ia makin aktif berjejaring dengan organisasi-organisasi sipil di luar Demak dan rajin mengikuti segala bentuk pelatihan yang diadakan oleh organisasi tersebut. "Saya memperkuat kapasitas untuk kembali menghidupkan Puspita Bahari," ucapnya. Selain itu, ia mulai jeli melihat celah pengorganisasian yang minim resistansi dari para suami.
Pada 2009, ia menghidupkan kembali Puspita Bahari dan memilih strategi penguatan ekonomi. Ia memulainya dengan mengolah produk sampingan dari tangkapan nelayan, seperti mengolah kulit ikan menjadi kerupuk, abon, dan beragam produk lain. Perlahan anggota Puspita Bahari pun bertambah dari tiga orang menjadi 150 orang yang tersebar di tiga desa, yaitu Morodemak, Purworejo, dan Margolinduk.
Sentra pengolahan ikan anggota Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari di Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Morodemak,Bonang, Demak, Jawa Tengah, Agustus 2021/Facebook Puspita Bahari
Dari kegiatan peningkatan ekonomi itu, ia mulai menyisipkan agenda diskusi rutin bulanan, lalu pengajian. Secara perlahan Masnuah menebalkan garis perjuangan bagi perempuan nelayan supaya diakui hak-haknya sebagai nelayan, setara dengan laki-laki. Ia memanfaatkan momentum terbitnya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Menurut Masnuah, selama ini perempuan yang bekerja sebagai nelayan tak pernah mendapat pengakuan selayaknya laki-laki yang juga nelayan. Akibatnya, para perempuan itu tak pernah memperoleh bantuan dan subsidi, juga tak mendapat perlindungan asuransi. "Kami tidak mendapatkan itu karena kerangka berpikirnya sudah ada para suami yang kerja sebagai nelayan juga sebagai kepala keluarga," katanya.
Upayanya mendapatkan pengakuan status sebagai nelayan perempuan berbuah hasil pada 2018. Ia berhasil mengadvokasi 31 perempuan nelayan Demak. Ia berpegang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 yang tidak mendefinisikan nelayan secara spesifik gender. Sebelum undang-undang itu terbit, perjuangannya seolah-olah menabrak tembok. "Saya pernah memperjuangkan dua nelayan perempuan, tapi tidak membawa hasil karena dianggap tidak pantas dan tak kuat secara hukum," tuturnya.
Dua tahun kemudian, ke-31 perempuan tersebut berhasil mengantongi asuransi nelayan layaknya mereka yang bekerja sebagai nelayan. Meski mereka telah beroleh pengakuan, faktanya hingga hari ini masih terjadi diskriminasi. Ia mencontohkan para perempuan nelayan di Puspita Bahari yang tidak mendapatkan bantuan alat tangkap yang dibagikan pemerintah pada Desember 2022.
Kegiatan Masnuah tak hanya mengadvokasi status perempuan nelayan. Krisis iklim membuat dia aktif mengedukasi masyarakat pesisir mengenai pentingnya ekosistem mangrove dan alat tangkap ramah lingkungan. Sampai hari ini, kata Masnuah, masih terjadi konflik penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. Terlebih setelah terbit peraturan menteri di era Edhy Prabowo yang membolehkan penangkapan menggunakan cantrang di zona tangkap tertentu.
Masnuah juga memaksimalkan gerakan Puspita Bahari untuk mengadvokasi persoalan kerusakan ekosistem pesisir hingga tenggelamnya desa-desa pesisir di Demak seperti di Timbulsloko. Tokoh masyarakat Timbulsloko, Sonhaji, mengatakan peran Masnuah sangat besar dalam mengadvokasi persoalan tenggelamnya kampung. "Bu Masnuah mengumpulkan inisiatif dari masyarakat untuk membangun jembatan supaya masyarakat dapat kembali beraktivitas dengan baik," ucapnya.
Ketua Presidium Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Jumiati mengatakan Masnuah punya peran sangat aktif dalam PPNI. Sebagai Sekretaris Jenderal, kata dia, Masnuah aktif membangun jaringan dan mengelola kerja organisasi. "Masnuah punya banyak pengalaman menangani desa tenggelam, mengadvokasi masyarakat pesisir, menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, menggalakkan penanaman mangrove, dan berbagi pengalaman yang dapat diadopsi di daerah lain," katanya.
Kegigihan Masnuah mendampingi perempuan pesisir dan mengadvokasi isu-isu masyarakat pesisir diganjar banyak penghargaan. Ia mendapatkan Saparinah Sadli Award pada 2018 dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan. Pada 2022, Masnuah terpilih sebagai salah satu penerima Ashoka-Deepening Impact of Women Activators Asia Tenggara. Ia dianggap mampu mengemban misi menumbuhkan ekosistem pengusaha sosial perempuan yang dapat menjadi panutan kepemimpinan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo