DI sebuah pilar gereja tua di Kota Aurun, Prancis Tengah, ada sebuah pahatan dari abad ke-12. Goresannya agak bersahaja dan primitif, tapi tegas: disitu terlukis Iblis,sedang duduk di dekat sebuah pohon Mulutnya ternganga. Tapi yang menarik adalah benda yang digenggamnya ditangan: sekantung uang. Harta, dengan kata lain, tampaknva selalu punya kaitan dengan dosa. Setan dan kekayaan rupanya memang tema besar yang tak pernah selesai kita menemukannya hampir dalam tiap agama. Di Borobudur, misalnya, pada lapisan tertinggi candi besar itu, suasana praktis kosong, sepi dari hiasan duniawi - seperti halnya taman pasir sebuah kuil Zen. Sebaliknya. di lapisan bawah, terpapar lukisan tentang mereka yang masih penuh napsu dan hasrat: manusia yang hanya sibuk dengan soal-soal yang tidak akan kekal. Dengan kata lain, manusia yang belum menyadari kehadirannya pada sebuah titik genting, antara badan dan roh, antara dunia yang ia kenal dan alam sesudahnya yang ia tak tahu. Islam mempunyai kalimat yang eksplisit tentang itu. orang diserukan, oleh Nabi, untuk bekerja bagi dunia seakan-akan hendak hidup selama-lamanya, tapi sekaligus bekerja untuk akhirat seperti ia akan mati esok hari. Harta bukan hal yang harus ditolak,tapi suatu hal yang cemar bila tanpa rakat. Zakat karena itu bukan cuma sebuah aksi sosial ia pada dasarnya suatu pernyataan regius. Sejarah, tentu saja, rak selamanya beres menuntut jalan yang diserukan para nabi. Tapi mungkin tentang cacat ini, kemarahan tak .selalu pada tempatnya. Toh dalam kenyataan tiap hari, peradaban tumbuh dengan segala hal, termasuk yang tak begitu suci dan tak begitu terang. Kantung, uang tak senantiasa berada ditangan sang iblis di pilar gereja Autun. Seorang yang taat dan bersih seperti Calvin toh akhirnya menulis pagi-pagi pada tahun 1545: "Tuhan tak melarang semua keuntungan, hingga manusia tak mendapatkan apa-apa." Sebab, bila keuntungan dilarang, perdagangan pun harus ditinggalkan.Dan meninggalkan perdagangan akan bisa berabe. Bukan hanya Calvin yang Kristen saja yang menyadari hal itu. Bahkan dua bapak revolusi komunis. Marx dan Engels, ikut mengunggul-unggulkan peranannya dalam sejarah, ketika mereka bicara berapi-api tentang "kaum borjuis". sebab, bagi mereka, kelas menengah inilah yang berhasil melakukan banyak hal, termasuk misalnya menciptakan kota-kota besar. Dan itu berarti, kata Marx dan Engels pula kaum borjuis berhasil "menyelamatkan" sejumlah besar penduduk "dari kebodohan hidup di dusun." Bahkan kaum borjuis itu pula yang membuat "bangsa yang biadab dan setengah biadab" jadi bergantung kepada bangsa yang "beradab" .... Mar dan Engels, dalam hal ini, memang tak tampil sebagai pembela bangsa-bangsa yang kelak kemudian disebut "Dunia Ketiga" - yang, mereka sebut sebagai "biadab" dan 'setengah biadab" itu. Marx dan Engels hanya menyebutkan peranan para pemilik modal dalam sejarah dunia modern, dan dwitunggal pemikir abad ke-19 itu memang tak banyak tahu tentang dunia di luar Eropa. Tapi betapa pun harus diakui: uang dan perdagangan telah mengubah banyak perkara dipermukaan bumi, jadi Iebih buruk ataupun Iebih baik. ilmu, juga kekejaman, kitab suci, juga keserakahan, puisi, juga fanatisme, bisa tersebar Iebih luas, dan bergerak Iebih pesat, berkat kekayaan yang memikat tapi mencemaskan itu. Barangkali itu sebabnya di Kota Bradford.dekat Manchester, ada sebuah patung pualam. Yang diabadikan dengan segala hormat di sana adalah seorang yang bernama Titus Salt. Pada abad ke- 19 bahkan ada buku yang ditulis tentang kehidupan orang ini, agar jadi teladan. Apakah kelebihan Titus Salt? Orang Bradford mengatakan, dengan kagum, "Titus Salt menghasilkan seribu pound sebelum orang lain terbangun dari tempat tidur." Tapi soalnya, kata orang (dan ini benar), setiap ada seorang Titus Salt selalu ada sejumlah orang lain yang tak diabadikan dengan pualam: tertindas atau terhina atau tergencet. Beratus tahun ikhtiar dilakukan untuk meniadakan kontras itu. Beratus tahun kemudian Lincoln ataupun Lenin tak berhasil juga. Apakah jawabannya di pilar Autun dan di stupa dan di sabda Nabi? Di saat ini memang itulah yang kembali banyak ditanya. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini