MELALUI jalan dari batu kapur yang menanjak dan berkelok kelok, mobil kami membelah hutan menuju barak Air Hitam, yang terletak sekitar 25 km dari Vanimo Tidak seorang pun pengantar saya yang tahu dari mana nama itu berasal. Jalanan itu sangat Iengang. Hanya tiga orang yang tampak sepanjang hampir setengah jam perjalanan. Hutan muda, diseling bentangan ilalang dan sesekali juga pohon-pohon sukun, cuma menawarkan sepi. Lawrence Sapian, petugas Departemen Luar Negeri dan Perdagangan PNG yang mengantarkan, menolak ketika ditawari rokok kretek. Begitu juga beberapa petugas perbatasan lain yang ikut dalam rombongan. Mereka Iebih- suka mengunyah pinang, yang memang sangat disukai penduduk PNG, baik pria maupun wanita. Sepanjang perjalanan, harga pinang yang melonjak menjadi pokok pembicaraan. Naiknya harga pinang akhir-akhir ini memang menjadi topik nasional di PNG - di samping masalah perbatasan RI-PNG dan dibicarakan dalam sidang parlemen, serta dikupas dalam tajuk rencana koran. Menteri keuangan PNG Philip Bouraga dua pekan lalu malah menuding kenaikan harga pinang yang dua kali lipat dalam setahun ini sebagai penyebab utama naiknya inflasi dari 7,2%, menjadi 10,3%, dalam tiga bulan terakhir. Belum pernah sebelumnya ada wartawan Indonesia yang mengunjungi barak penyeberang perbatasan, sejak mereka mengalir masuk PNG Februari lalu. Setelah lolosnya tim televisi Australia ABC, yang bisa mewawancarai "presiden" OPM James Nyaro, akhir April lalu pemerintah PNG memperketat peraturan terhadap wartawan asing. Vanimo, ibu kota Provinsi Sepik Barat,yang terletak sekitar 30 km dari perbatasan RI-PNG, termasuk "daerah terlarang". Para pengungsi (secara resmi mereka disebut penyeberang perbatasan) yang ditempatkan di Air Hitam merupakan rombongan pertama yang menyeberang ke PNG, dan berasal dari Jayapura. Mereka berjalan kaki melewati hutan dalam waktu sekitar seminggu, walau lewat udara jarak itu bisa ditempuh dalam 15 menit. Rombongan pertama ini dianggap "kelas berat" karena terdiri dari orang-orang yang kesadaran politiknya kuat. Beberapa di antara mereka bekas dosen dan mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura, juga bekas anggota ABRI yang desersi. Sabtu siang 26 Meiitu, setibanya di Hotel Narimo yang punya 10 kamar, setelah berjalan kaki dari lapangan terbang (tidak ada taksi di Vanimo, yang jumlah penduduknya 3.000 orang), saya bertemu sekretaris Departemen Luar Negeri dan Perdagangan PNG Paulias Matane. Ia tiba di Vanimo sehari sebelumnya dan sangat kecewa karena gubernur Irian Jaya Issac Hindom urung datang ke Vanimo, hingga rencana pembicaraan mengenal pengembahan penyeberang perbatasan ke wilayah RI batal. Sekitar satu kilometer sebelum Air Hitam, Lawrence menunjuk ke scbelah kanan. Tampak beberapa orang sedang membersihkan tanah dari pepohonan yang ditebang. Ada beberapa tenda kelihatan. "Mereka penyeberang perbatasan yang baru tiba sepekan yang lalu. Setelah sekitar sebulan, mereka boleh tinggal di barak utama," kata Lawrence. Sekitar dua ratus meter menjelang perkampungan, mobil kami berhenti. Lawrence turun dan menemui polisi yang menjaga barak. Kami turun diujung barak, yang didirikan di sebelah kiri jalan. Puluhan bangunan panggung berdiri di tengah hutan yang telah ditebas Beberapa di antaranya berupa tenda yang didirikan di atas panggung, tapi ada juga yang cuma ditutup kain. Daerah Air Hitam memang becek, hingga memang tempat tinggal harus berupa bangunan panggung. Di sebelah kanan tampak empat puluhan orang berkumpul, duduk pada batang batang kayu yang dijadikan bangku. Tampaknya, mereka sedang mengadakan kebaktian. Sebagian besar mereka membawa kitab Injil. Lawrence menemui pengkhotbah dan dalam bahasa Pisin (Pidgin) menjelaskan maksud kedatangan saya. Seorang pemuda kemudian tampil dan menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. "Saya tidak bisa memutuskan sendiri, terserah kepada Saudara-Saudara untuk memutuskan apakah kita bisa menerima wartawan TEMPO ini atau tidak," ujarnya. Beberapa orang serentak menjawab, "Tidak." Lawrence berusaha membujuk. Terjadi argumentasi. Puluhan orang kemudian muncul, sebagian besar pemuda, mengepung kami. Beberapa di antaranya tampa eringas "Kita tidak mau ada orang Indonesia di sini. Indonesia jahat. Usir saja dia," seru seorang di antaranya. Seorang pemuda dengan mata melotot maju ke depan. "Bunuh saja dia," teriaknya. Suasana tambah tegang. Kerumunan juga makin besar. Beberapa pemuda berteriak, "Potong saja lehernya." Yang lain menimpali "Orang Indonesia kejam. Mereka telah membunuh 150.00C orang Irian dalam 20 tahun ini." Seorang pemuda, sebelah tangannya memegang rambutnya, dan sebelah lagi menuding saya, berteriak, "Pokoknya, yang rambutnya tidak keriting seperti ini, habiskan saja." Lawrence meloncat dan mendorong mereka mundur. "Isi, isi (easy = tenang)," ujarnya dalam bahasa Pisin. "Dia datang ke sini dengan izin pemerintah PNG. Yupela (kalian) bisa tinggal di sini karena diperbolehkan pemerintah PNG. Jadi, yupela harus menghormati hukum di sini," katanya. Kemudian, "Kalau yupela tude (to day = hari ini) tidak mau toktok (berbicara) dengan dia, orait (allright). Yupela berunding dulu, dan baru memutuskan. Biarlah hari ini dia lukluk (melihat-lihat) dulu." Terjadi argumentasi lagi,yang diselingi teriakan "bunuh" atau "potong lehernya". Sesekali ada pemuda yang maiu, tapi dihalangi beberapa temannya sendiri yang kelihatannya lebih tenang. Seorang petugas perbatasan yang berdiri di samping saya tahu-tahu menghunus pisau dan mengacungkannya pada seorang pemuda yang mendesak maju. "Kalau kamu terus, saya tusuk," katanya. Syukur, ancaman si petugas berhasil. Sementara itu, di tengah keributan itu acara kebaktian rupanya diteruskan. "Mengapa rencana kita pada 13 Februari yang telah dipersiapkan matang bisa gagal? Tuhan rupanya belum mengizinkan. Karena apa? Karena iman kita belum kuat. Karena itu, marilah kita terus memperkuat iman," kata sang pengkhotbah, seorang tua kecil dan kurus. Argumentasi Lawrence akhirnya berhasil. Dua orang pimpinan mereka - yang rupanya merupakan tokoh moderat, setelah berpidato menenangkan massa yang jumlahnya tiga ratusan, termasuk wanita dan anak-anak - mendekat. Seorang di antaranya memperkenalkan diri sebagai Tom. Ia mengaku pernah mengajar di Universitas Cenderawasih dan selalu membaca TEMPO, "Sampai beberapa bulan lalu." la mengatakan, saya hanya diperbolehkan melihat-lihat perkampungan mereka, tapi sebelumnya mereka akan memperlihatkan beberapa spanduk dan poster. Semuanya dalam bahasa Inggris. Isinya, antara lain, menuntut PBB ikut campur tangan menyelesaikan soal Irian Jaya. Dua puluhan anak-anak kemudian dikumpulkan dan, sambil memegang poster, mereka disuruh menyanyi. Salah satu di antaranya "lagu kebangsaan Papua Merdeka". Beberapa lagu Indonesia, antara lain Makan Apa Sekarang, diubah kata-katanya menjadi lagu OPM. Didampingi Lawrence serta beberapa petugas lain, serta seorang polisi, kami berjalan mengelilingi barak. Beberapa orang tua, wanita, dan anak-anak menyapa "selamat siang". "Kami menyediakan beras, susu, gula, dan keperluan mereka lainnya. Kalau ada yang sakit, mereka juga mendapat perawatan," kata Lawrence. "Sebenarnya, kami tidak mengingini mereka. Buat kami, lebih baik mereka tidak ada di sini. Mereka cuma menjadi beban dan menambah persoalan kami,"ujarnya lagi. Menurut Paulias Matane, setiap penyeberang perbatasan tiap minggu memperoleh dana 6 kina (sekitar Rp 7.200). Yang menanggung: pemerintah PNG, pemerintah Indonesia, Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR) dan Gereja Katolik. Jumlah penghuni baraL Air Hitam tercatat 605 orang. Perjalanan mengitari barak itu memakan waktu sekitar 15 menit. Lawrence rupanya cukup cerdik dan tidak ingin kembali ke tempat semula. Untuk itu, mobil telah diperintahkannya menunggu di puncak bukit, beberapa ratus meter dari pusat perkampungan. Tatkala kami muncul kembali ke jalan, terdengar teriakan-teriakan. Lawrence, yang berjalan di depan, tiba-tiba menggapai saya dan berteriak, "Cepat lari. Bahaya." Ternyata, dari arah perkampungan muncul barisan panjang mengarak bendera OPM. Beberapa pemuda berseragam loreng seperti ABRI berlari-lari di depan sambil berteriak teriak. Kami berlari cepat, di atas tebing, di sisi jalan. Sesekali saya mencoba menjepretkan kamera saya. Dengan keringat yang mengucur, akhirnya kami mencapai mobil, yang sudah dihidupkan mesinnya, beberapa meter di depan rombongan yang berlari mengejar. Terdengar polisi membentak, menyuruh mereka berhenti, lalu polisi itu melepaskan tembakan peringatan. Sebelum pintu mobil tertutup, mobil sudah meloncat maju. Terdengar Lawrence menghela napas panjang dan mendesah, "Nyaris." Mobil kami ngebut, dan kali ini jarak yang 25 km itu ditempuh dalam waktu sekitar 10 menit. Kami langsung melapor ke kantor polisi. Malamnya seorang perwira polisi datang dan menjelaskan, "Keadaan sekarang sudah kami kuasai." Tapi sekadar untuk menjaga keamanan, dua orang anggota polisi berpakaian preman diperintahkan menjaga hotel tempat saya menginap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini