ASAS tunggal Pancasila kembali diperbincangkan. Untuk waktu dekat, DPR akan sibuk membicarakannya setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Organisasi Kemasyarakatan disampaikan ke parlemen Jumat pekan lalu bersamaan dengan empat RUU Politik lainnya: RUU tentang Referendum, Perubahan atas UU Pemilu, Perubahan atas UU Parpol dan Golkar, dan Perubahan atas UU mengenai susunan MPR/DPR. Agaknya, RUU Ormas--yang sebelumnya sempat mengundang kontroversi karena keharusan mencantumkan asas tungal Pancasila - paling menarik untuk dibahas. Bahkan sebagian besar ormas merencanakan baru akan berkongres setelah RUU itu disahkan DPR. "Kami juga akan mengadakan muktamar setelah ada UU Ormas," kata Lukman Harun, juru bicara PP Muhammadiyah. Sebab, demikian antara lain bunyi RUU Ormas yang diajukan Pemerintah ke DPR, satu-satunya asas untuk Ormas adalah Pancasila. Namun, asas tunggal ormas itu hanya merupakan asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Agaknya, rumusan tambahan dalam asas tunggal ini cukup melegakan, terutama bagi para pemuka agama. Mereka pernah menyampaikan bahan pertimbangan kepada pemerintah ketika menyusun RUU Ormas itu Desember tahun lalu. "Pengaturan organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi kemasyarakatan yang berjiwa keagamaan, tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau mempersempit, melainkan untuk meningkatkan, peran serta organisasi keaamaan.itu sebagai pengamalan Pancasila," demikian bunyi pernyataan majelis keagamaan yang ditandatangani oleh pimpinan puncak MUI, MAWI, DGI, Parisadha Hindu Dharma Pusat, dan Walubi. Mereka tetap mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan kenegaraan. (TEMPO, 24 Desember 1983). Artinya, kata H.M. Soedjono, MUI tidak lagi menyoalkan asas Pancasila. "Asal agama tetap terjamin," kata pimpinan MUI itu. Apalagi secara jelas dalam pengertian ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota ma syarakat warga negara Indonesia, yan tentunya tldak termasuk agama. Sedangkan RUU Referendum, dimaksud kan untuk meminta pendapat rakyat mengenai setuju atau tidaknya bila UUD 4' diubah. Salah satu syarat referendum itu sah ialah 90/O pemberi pendapat rakyat yang didaftar memberikan pendapat. UUD 45 bisa diubah bila 90% dari pendapat rakyat yang masuk setuju. Tapi, berbeda dengan pemilihan umum, anggota ABRI punya hak untuk memberikan pendapat dalam referendum itu. "Keduanya, pemilu dan referendum, janan disamakan," kata Achmad Subagyo, sekretaris Fraksi Demokrasi Indonesia kepada TEMPO. Sebab, katanya, ABRI tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan alasan konsensus nasional. Agar ABRI berdiri di atas semua golongan. Artinya, ABRI tidak perlu turun lapangan untuk berebut suara dalam pemilu. Sebagai imbalan, ABRI akan mendapat 100 kursi di parlemen. "Sedangkan referendum itu untuk mengetahui pendapat rakyat. Kalau ABRI tidak ikut, apa pemecahannya?" katanya. Soal referendum yang semula disinggung dalam pidato Presiden Soeharto (tanpa teks) di depan peserta Rapim ABRI 1980 di Pakanbaru, diduga tidak memakan waktu lama. RUU sepanjang sembilan bab dan 26 pasal itu telah disusun lebih teknis dan terperinci. Selain dua RUU baru di atas, pemerintah juga mengajukan tiga RUU perubahan. Yang mengalami perubahan cukup besar ialah RUU tentang Perubahan atas UU no. 16/1969 yang telah diubah pula dengan UU no. 5/1975 mengenai susunan dan kedudukan MPR/DPR. Angota MPR hasil Pemilu 1987 nanti ditambah menjadi 1.000 orang dari jumlah sekarang 920 orang. Sedangkan anggota DPR untuk periode yang akan datang berjumlah 500 orang. Sebanyak 400 kursi diperebutkan oleh parpol dan Golkar lewat pemilu, dan sisanya, 100 orang, diangkat untuk jatah golongan karya ABRI. Soal penambahan anggota DPR dan MPR itu, menurut ketua FPP Sudardji, dimaksudkan untuk mengikuti pertumbuhan penduduk saja. Yang cukup mencolok berubah dalam RUU mengenai DPR/MPR kali ini ialah hilangnya anggota DPR bukan ABRI yang diangkat. Selama ini sebanyak 21 orang - empat kursi telah diberikan untuk wakil Timor Timur - dari jatah 25 kursi diangkat presiden. "Golkar memang tidak akan mempunyai anggota yang diangkat," kata Haditirto sekretaris Fraksi Karya Pembangunan kepada TEMPO. Agaknya, Golkar merasa optimistis mampu mempertahankan kemenangannya setelah tiga kali pemilu, sehingga tidak memerlukan lagi "pengaman" dengan anggota yang diangkat itu. Tentu saja, langkah menghapuskan anggota parlemen bukan ABRI yang diangkat itu melegakan parpol. "Lebih baik setiap kursi di DPR itu diperebutkan lewat pemilu," kata Achmad Subagyo. "Harus diingat, satu kursi mewakili empat ratus ribu suara." Ia melihat hal yang tidak adil untuk kelompok yang diangkat itu. "Mereka menggunakan hak pilih, tapi wakilnya diangkat," katanya. Berbeda dengan ABRI. Sesuai dengan konsensus nasional, mereka diangkat karena tidak menggunakan hak pilih." Sedangkan RUU perubahan atas UU no. 3/1975 tentang Parpol dan Golkar tampaknya tidak akan mengundang kontrorersi. Baik parpol maupun Golkar sudah rela menerima asas tunggal Pancasila. Sebab, RUU itu hanya menyebutkan perubahan pada pasal asas, tujuan, dan program, bahwa parpol dan Golkar mesti berasas tunggal Pancasila. Asas atau ciri parpol dan Golkar sama sekali tidak dimasukkan seperti UU no. 3/1975. Dalam UU yang beriaku sampai sekarang, masih tercantum asas/ciri dalam anggaran dasar yaitu Islam untuk PPP demokrasi Indonesia, nasionalisme, dan sosialisme Pancasila untuk PDI dan asas/ciri kekaryaan bagi kesejahteraan bangsa dan keadilan sosial dalam rangka Pancasila untuk Golkar. Dari lima RUU yang mengatur kehidupan politik itu, agaknya RUU mengenai perubahan atas UU no. 15/1969, UU no. 4/ 1975, dan UU no. 2/1980 tentang Pemilu yang akan mengundang perdebatan panjang. Dalam perubahan yang diusulkan pemerintah, ke uatan sosial politik peserta pemilu agar mengajukan nama dan tanda gambar yang mengungkapkan bahwa organisasinya berasas tunggal: Pancasila. Beberapa sumber TEMPO di DPR menduga, tanda gambar Ka'bah dalam Pemilu 1987 nanti akan dipersoalkan, karena dianggap tidak mencerminkan simbol Pancasila seperti dalam "Perisai Pancasila" dalam lambang negara. "Sebenarnya, lambang itu juga mencerminkan Pancasila," kata H. Nuddin Lubis, wakil ketua DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan kepada TEMPO, "Jadi, lambang itu tidak mencerminkan ateisme, sekularisme, atau komunisme."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini