Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH masjid Ahmadiyah dibakar dan sejumlah fasilitas penganut keyakinan itu kembali dirusak massa, kini apa yang bisa dikatakan Majelis Ulama Indonesia?
Di Sukabumi, Masjid Al-Furqon hangus jadi abu. Tiga ruang madrasah di sana porak-poranda. Di Majalengka, seorang penganut Ahmadiyah menempelkan tulisan ”Kami Penganut Ahlulsunnah Waljamaah”—keyakinan mayoritas umat Islam Indonesia—di dinding rumah agar terhindar dari amuk massa.
Kecemasan di mana-mana. Ketakutan merajalela. Majelis Ulama Indonesia harus bertanggung jawab atas semua ini. Juga Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat—sebuah lembaga ad hoc di bawah kejaksaan—”hakim” yang merekomendasikan mati-hidupnya sebuah keyakinan di Indonesia. Di atas itu semua patut pula kita bertanya: di manakah pemerintah yang pernah berjanji menjaga keamanan warga Ahmadiyah setelah munculnya vonis Majelis Ulama dan Badan Koordinasi?
Majelis Ulama sudah selayaknya meminta maaf kepada warga Ahmadiyah. Menjatuhkan fatwa sesat kepada aliran itu berarti memberikan lampu hijau kepada gerombolan penyerang Ahmadiyah untuk bertindak anarkistis. Sejarah mencatat: kekerasan kepada Ahmadiyah mulai dilakukan pada 1980-an—sewaktu Majelis Ulama pertama kali mengeluarkan fatwa sesat itu.
Didirikan lebih dari 30 tahun lalu oleh sejumlah ulama yang mewakili sejumlah organisasi Islam, Majelis Ulama mestinya kembali ke khitahnya sebagai lembaga yang menjaga silaturahmi umat Islam. Pandangan warga Ahmadiyah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad selayaknya tak membuat Majelis Ulama melupakan dialog—aspek penting dalam agama dan demokrasi.
Dengan berdialog, kata sepakat memang tak dengan sendirinya tercapai. Tapi prinsip negosiasi mengajarkan kepada kita, semakin intensif dialog dilakukan, peluang terjadinya kekerasan semakin bisa ditekan. Namun itu semua hanya bisa terlaksana jika para ulama di Majelis Ulama tak memandang Ahmadiyah sebagai ancaman melainkan sebagai mitra dialog. Setidaknya, Majelis Ulama menjadi juru tengah yang menjembatani perbedaan pendapat di antara umat.
Pengurus Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat juga perlu menyadari bahwa lembaga itu adalah produk masa lalu dan mesti menyesuaikan diri dengan zaman. Dibentuk pada 1984, dasar hukum badan ini adalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kata ”menyimpang” yang kerap dilekatkan Badan Koordinasi kepada kelompok penganut keyakinan mudah dipahami sebagai pasal karet untuk mengontrol kegiatan agama.
Pasal lain yang tak kalah absurd adalah larangan orang untuk menyebarluaskan penafsiran yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama resmi. Pelanggar aturan yang telah diadopsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diancam pidana lima tahun penjara. Absurd karena negara tidak punya hak mengadili benar atau tidaknya keyakinan anggota masyarakat—kecuali dijalankan dengan melanggar peraturan atau hak orang lain. Konstitusi negara Pancasila ini bahkan menjamin kebebasan beragama.
Pasal karet sebagai dasar kerja Badan Koordinasi mudah dimengerti karena lembaga itu memang dibuat dengan memakai kacamata pendekatan keamanan. Sejarah mencatat, Badan Koordinasi adalah lembaga yang dibuat untuk mengontrol bekas anggota Partai Komunis Indonesia yang ”masuk” ke agama-agama resmi atau aktif dalam kegiatan aliran kepercayaan.
Komposisi keanggotaan badan itu menegaskan perihal pendekatan keamanan tadi. Ketua Badan adalah Jaksa Agung dengan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen sebagai wakil. Di kursi anggota duduk perwakilan Badan Intelijen Negara, polisi, Asisten Teritorial Tentara Nasional Indonesia, Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan Nasional.
Sepak terjang Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat harus segera diakhiri. Warga Ahmadiyah atau mereka yang peduli terhadap kebebasan beragama dapat membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi. Jika undang-undang ini dicabut, dengan sendirinya Badan Koordinasi juga bisa dibubarkan.
Pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri untuk melarang Ahmadiyah. Surat keputusan yang kabarnya sedang disiapkan itu jelas akan membuat pemerintah secara nyata melanggar konstitusi. Tanpa keputusan bersama saja warga Ahmadiyah seperti hidup di negeri musuh: diusir, dikucilkan, diteror. Dengan keputusan bersama, kekerasan terhadap warga Ahmadiyah akan menjadi-jadi.
Indonesia tidak boleh membiarkan dirinya dicap sebagai negara yang gagal melindungi hak sipil warganya. Perlu dipastikan bahwa penduduk bebas memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Bahwa orang ramai berhak hidup aman dan terhindar dari segala teror, ancaman, dan ketakutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo