Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arip Senjaya*
Kata dan hati termasuk kata yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan dengan rinci dan mendalam. Hal itu menunjukkan bahwa penutur bahasa Indonesia senang menggunakan kata kata dan juga senang menggunakan kata hati. Karena itu pula salah satu ukuran keberhasilan sepuluh tahun zaman reformasi ini, menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, adalah pemerintah telah mampu menjembatani kata hati rakyatnya tanpa adanya tekanan (Koran Tempo, 22 Mei 2008).
Aneh juga sebenarnya mengapa kata dan hati dapat bergabung dan menjadi frasa yang sangat sering digunakan. Padahal pada mulanya kata adalah ujaran yang dalam ragam tulis hanya merupakan susunan-terikat fonem-fonem dan mengandung makna. Mata dan kata berbeda maknanya karena berbeda fonemnya, /m/ + ata menghasilkan organ tubuh yang digunakan untuk melihat; /k/ + ata menghasilkan pengertian ujaran. Topi dan tapi juga menjadi berbeda makna semata karena adanya perbedaan unsur terkecil penyusunnya, topi mengandung fonem /o/, tapi mengandung fonem /a/.
Apabila kata mata dan kata atau topi dan tapi saja sudah berbeda maknanya, bisa dibayangkan betapa jauhnya perbedaan makna kata dengan hati. Hati adalah organ tubuh, dan kata adalah ujaran yang berwujud ikatan fonem-bermakna baik dalam ragam lisan maupun dalam ragam tulis. Dalam lisan, kata dihasilkan oleh organ mulut (gigi, lidah, langit-langit), dengan dukungan paru-paru, tenggorokan, hidung, dan bantuan otak. Meskipun begitu, rasanya tak pernah kita mengatakan kata paru-paru, kata gigi, kata mulut, atau kata lidah, meskipun paru-paru, gigi, mulut, dan lidah adalah alat tubuh yang menghasilkan kata (lisan). Kita juga tidak memiliki frasa kata tangan meskipun tangan kita berperan besar dalam menuliskan kata.
Hati sebenarnya organ tubuh yang berperan mengambil sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu, tak ada keterlibatannya dalam memproduksi kata. Tapi ada kepercayaan bahwa kata-kata manusia mencerminkan hati dan pikirannya, bukan mulutnya atau lidahnya. Dalam terminologi keagamaan sering kali manusia diingatkan akan bahaya penyakit hati. Membiarkan hati mendendam adalah berarti membiarkan kita hidup dalam dosa; dan membiasakan hati bersikap pemaaf, terbuka, toleran, adalah berarti melibatkan kita dalam cahaya Tuhan. Hati yang sudah memperoleh cahaya Tuhan, menurut KBBI disebut hati nurani. Tapi sayang sekali frasa hati nurani belum memiliki lawan-frasa yang setimpal. Kita tidak bisa mengatakan (orang yang) berhati batu sebagai lawan dari hati nurani.
Kalau pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir ini dikatakan Maswadi Rauf berhasil menjembatani kata hati rakyatnya, apakah yang jadi kemelut masyarakat selama ini memang melulu soal hati? Tentu saja tidak hanya soal hati, tapi juga soal perut. Tapi adakah frasa kata perut? Mungkin nanti akan ada kalau ada satu masa pemerintahan yang berhasil menjembatani masalah perut rakyatnya.
Para penyair umumnya memang tak menyadari bahwa membuat frasa baru dengan cara melepas kata-kata tersebut dari pengalaman empirik tak lebih dari kerjaan kaum idealis, banyak penyair yang lupa bahwa kata dan frasa tidaklah dibuat atau diciptakan oleh masyarakat. Ungkapan baru yang akan mengakar adalah ungkapan yang memang diserap dari akar pengalaman empirik, bukan idealistik. Seindah apa pun sebuah metafor, kalau tidak ditumbuhkan dari akar pengalaman empirik-kolektif, metafor itu hanya akan bertahan sebagai metafor itu sendiri. Pantas saja ada ungkapan ”puisi kamar” untuk menyebut puisi yang dibuat dari pengalaman idealistik-individual.
Kata-kata dari suara kesendirian yang dibuat terpisah dari realitas empirik sebenarnya sama fatalnya dengan kata yang berlaku pada sebuah kelas yang lalu diklaim sebagai kata yang berlaku pada semua kelas. Dengan demikian kata hati rakyat adalah ungkapan yang mengandung gejala pengklaiman suara empirik dari kelas tertentu. Mana mungkin semua rakyat memiliki hati yang satu atau sama! Yang menderita adalah buruh, tapi bahasa penderitaan buruh itu sering dijualbelikan oleh para politikus yang bukan dari kalangan buruh. Yang kelaparan adalah para petani tapi kata-kata dari alam kelaparan sering kali didagangkan oleh mereka yang tidak kelaparan. Klaim seperti itu sekali lagi tak jauh berbeda dengan teknologi pemetaforaan yang biasa dipraktekkan oleh para penyair: berpikir bahwa eksistensi batiniah orang lain adalah sama: kau adalah juga aku, aku adalah dirimu, kalian sama saja dengan mereka. Kata penyair Sutardji Calzoum Bachri, kalian adalah pun atau kalian adalah juga atau kalian adalah sama saja (lihat puisinya yang berjudul Kalian dalam buku O Amuk Kapak). Dalam puisi macam itu penyair tak lebih dari mereka yang sering mengklaim bahasa kelas tertentu.
Jadi, apa yang lebih penting? Kreatif mengembangkan bahasa atau kreatif mengembangkan kehidupan kita? Kalau Anda percaya dengan ungkapan ”keindahan puisi adalah omong kosong dan keindahan yang sebenarnya adalah kehidupan”, mari kita ubah kehidupan supaya kata-kata kita berubah, karena kalau dibalik adalah agak mustahil. Kata tidak dibuat, tapi dilahirkan.
*) Dosen pendidikan bahasa dan sastra Indonesia FKIP Untirta Banten
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo