Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Paku Buwono XIII menjawab kasus pencurian arca di Museum Radya Pustaka Solo.
Dia menjawab siapa aktor di balik pencurian arca di museum Keraton Solo itu.
Paku Buwono juga menjelaskan keduduan benda purbakala di Keraton Surakarta.
SEPARUH koleksi Museum Radya Pustaka milik Yayasan Keraton Surakarta hilang. Enam arca batu dari abad ke-4 hingga abad ke-10 kemudian ditemukan di rumah pengusaha Hashim Djojohadikusumo di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini potret centang-perenang pengelolaan benda bersejarah di negeri ini. Sebab, bukan cuma museum Kasunanan Solo yang harta pusakanya dilego. Menurut Sunan Pakubuwono XIII, nasib museum-museum lain di negeri ini lebih parah. Raja berusia 60 tahun yang naik takhta pada 10 September 2004 itu menuding semua sengkarut ini lantaran pemerintah tak becus merawat budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, jebolan Universitas Moestopo, Jakarta, itu menuturkan tragedi yang menimpa warisan budaya Indonesia, Jumat kedua Juli lalu. Permaisuri Asih Winarni mendampingi sang raja. KRA Wijaya Saputra, pelaksana hukum Adat Keraton Surakarta, turut menemani wawancara di Ndalem Nalendran, Surakarta, yang rimbun itu.
Mengapa koleksi Radya Pustaka bisa hilang?
PB (Pakubuwono): Sederhana saja. Ada orang berminat memiliki benda antik datang ke museum, lalu dia membujuk pengelola supaya mengeluarkan benda yang dia minati. Tapi kenapa baru diramaikan sekarang? Ini cuma lima. Kemarin-kemarin seribu hilang, kok enggak rame?
Jadi, penjualan benda purbakala sudah lama terjadi?
PB: Mangkunegaran itu sudah habis. Raja itu kan mewariskan harta ke anak-istrinya. Begitu dia mati, harta dijual. Tombak, bedil, keris, tanah, hotel.…
Termasuk Pakubuwono XII?
PB: Tidak. Ayah saya pernah menyerahkan kunci-kunci benda pusaka. Ketika saya jadi raja, saya buka ruangan-ruangan itu. Saya menangis karena barang masih utuh. Artinya, ayah saya tak menjual harta-hartanya.
Menurut Hugo Kreijger, keluarga keraton yang datang menawari dia.
PB: Bohong. Saya cuma ketemu dia sekali, yaitu pada 2004. Heru yang membawa dan mengenalkan dia sebagai pengusaha makanan. Kami tak pernah membicarakan arca.
Heru kok bisa membawa orang asing ke keraton?
PB: Heru itu teman masa kecil saya, teman main band. Dia juga abdi dalem. Kami kenal tapi tak pernah bicara tentang arca. Dia tahu saya tak menjual barang keraton, tak pernah bisnis barang antik.
Anda mengenal Alexander GÖtz?
PB: Wah, orang asing ribuan yang ke sini. Saya tak hafal.
Tapi ada sejumlah surat yang Anda teken?
PB: Palsu. Di surat itu tanda tangan saya Hangabehi. Tidak mungkin. Tanda tangan saya dari dulu bentuknya inisial (menunjukkan KTP tahun 2002): SP. Itu nama asli saya, Surjo Partono. Setelah jadi raja, SP berarti Sunan Pakubuwono.
Wijaya: Saya bilang ke Heru dan Mbah Hadi: kalian jangan mengait-ngaitkan Sinuhun. Bilang ke polisi apa adanya. Kalau tidak, besok kamu mati.
Hugo mengaku dihubungi ajudan-ajudan Anda...
PB: Begini ya. Kami ini penerus Majapahit. Di sini barang antik, seantik-antiknya, ada. Saya punya banyak benda pusaka. (Menunjukkan keris Singo Barong.) Ini harganya miliaran rupiah. Yang begini ada seribu. Kalau saya jual selawe (25) saja, sudah sugih saya. Tapi saya tak mau.
Wijaya: Kalau kami mau main keras dengan pemerintah, kami bisa saja melelang kereta kencana di luar negeri. Ini harta kami. Hak kami jika mau menjual. Kami memakai undang-undang keraton, bukan undang-undang negara. Raja punya hak prerogatif. Ini hukum internasional.
Bukankah itu cagar budaya?
Wijaya: Harta keraton itu ada dua: harta dinasti dan kagungan dalem (milik raja). Harta dinasti tak boleh dipindahkan, kalau kagungan dalem di luar keraton itu boleh. Tapi kami tak mau. Lebih baik mati kelaparan daripada harus menjual benda pusaka.
PB: Begini ya. Negaramu kan ada setelah kami. Republik Indonesia itu mengontrak ke VOC, lalu merdeka 1945. Lalu negaramu bikin undang-undang cagar budaya, peran kami jadi hilang. Padahal, Belanda memutuskan kekuasaan raja istimewa. Kami ini dititipkan ke negaramu. Mbok kalau dititipi itu diurus, dijaga.
Subsidi dari pemerintah kurang?
PB: Kami cuma diberi Rp 1,1 miliar setahun. Saya digaji Rp 1,5 juta sebulan. Abdi-abdi dalem cuma Rp 350 ribu. Cukup untuk apa? Sementara ada delapan event utama di keraton: syawalan, syuro, sekaten, ulang tahun raja, macam-macam. Satu acara biayanya Rp 300 juta. Mana cukup uang segitu? Selama 50 tahun kami menombokinya, pakai uang sendiri.
Dari mana uang untuk menomboki itu?
PB: Kami bekerja keras. Bikin pameran, jual karcis, cari sumbangan. Tapi namanya sumbangan kan tidak tetap. Saran ke pemerintahmu, kalau tidak mau raja-raja ini nyolong lagi, beri uang belanja yang banyak. Kalau uang banyak, barang tak dijual.
Anda tahu bahwa 52 arca perunggu juga hilang?
PB: Kenapa tanya saya? Itu kan terjadi sebelum saya jadi raja. Kenapa pemerintah membiarkan?
Apakah menurut Anda, Heru sudah lama menjual arca?
PB: Baru kali ini. Saya yakin bukan dia aktornya. Dia tak mengerti barang antik. Aktornya orang yang suka barang antik.
Anda kenal Hashim?
PB: Tidak. Dia tak pernah datang ke sini. Memberikan sumbangan pun rasanya belum. Kalau bapaknya mungkin. Pak Sumitro itu teman main tenis ayah saya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, wawancara ini terbit di bawah judul "Saya Tidak Kenal Hashim"