Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI nan cerah itu semestinya menyegarkan. Malam sebelumnya, Ronny Pattinasarani habis-habisan menguras tenaga di lapangan hijau. Sekarang dia ingin bersantai. Namun, apa mau dikata, sedini itu emosinya sudah tersulut.
Di halaman rumah, Stella Maria, sang istri, menangis. Pekarangan rumah kedatangan tamu tak diundang yang kurang ajar. Mereka meninggalkan oleh-oleh: empat kantong tinja.
Tamu nakal itu rupanya jengkel dengan penampilan Ronny bersama tim Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Malam itu, pertengahan Mei 1981, dalam pertandingan penyisihan untuk Piala Dunia 1982, PSSI menelan kekalahan dari tim tamu.
Ada pula penggemar yang kecewa menteror melalui telepon. Kelakuan mereka tak pelak membuat Ronny sakit hati. ”Kalau keluarga dibawa-bawa, itu sudah lain,” katanya.
Biarpun kesal tak terkira, Ronny melihat kenekatan penggemarnya itu dipicu oleh penampilannya yang telah jauh menurun. ”Bukan karena peristiwa itu lo saya mundur. Tapi saya memang sudah tua,” ujarnya kepada majalah ini 27 tahun silam. Dia mundur setelah membela tim nasional di SEA Games Manila pada akhir tahun itu.
Toh, Ronny tetap dipercaya memperkuat tim nasional. Bukan karena dia ingkar janji, tapi keandalannya di lapangan hijau masih dibutuhkan. Pada 1985, barulah dia benar-benar mundur dari sepak bola dan menjalani profesi sebagai pelatih.
Sosok Ronny Pattinasarani, yang berpulang Jumat pekan lalu akibat kanker hati, memang lekat dengan sepak bola Indonesia. Bersama pemain lainnya, seperti Risdianto, Andjas Asmara, dan Ronny Pasla, ia menjadi darling sepak bola nasional.
Di mana pun PSSI bertanding, pada dekade 1970 hingga 1980, Ronny selalu menjadi buah bibir pencinta sepak bola nasional. Mereka menjadi pilar sepak bola Indonesia yang masih harum namanya, setidaknya di kawasan Asia.
Di lapangan, Ronny selalu tampil flamboyan meski dengan kaus kaki melorot. Seolah dia tak mau melindungi tulang keringnya, yang menjadi bagian paling rentan bagi pemain sepak bola.
Dengan jeli dia mengatur pergerakan kawan-kawannya. ”Dia selalu kasih umpan enak buat saya,” kata Risdianto, penyerang yang juga kawan karibnya. Tak semua umpan matang itu berbuah gol. Berkali-kali Risdianto gagal mengeksekusi. ”Namun dia tidak pernah marah atas kegagalan saya itu. Selesai main, kami memilih tidak membicarakan pertandingan,” ujarnya sambil terbahak.
Bagi Risdianto, persahabatan dan tenggang rasa merupakan salah satu sikap yang menonjol dari Ronny. Mereka dekat luar-dalam. ”Kami tahu isi dompet masing-masing,” katanya.
Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1949, Ronny mulanya memperkuat PSM Ujungpandang. Kariernya kian cemerlang setelah hijrah ke Jakarta. Pada awalnya, Ronny bermain sebagai gelandang. Belakangan dia bergeser menjadi libero. Namanya menjadi jaminan masuk tim nasional. Bahkan ban kapten selalu melingkar di lengan kirinya.
Cemerlang di lapangan, di luar lapangan Ronny juga berani memprotes pengurus PSSI yang dinilainya tak sportif, sehingga mereka terganggu. Namanya pernah dicoret dari tim nasional dengan alasan perokok berat. Dalam sehari, dia memang menghabiskan tiga bungkus rokok. ”Saya merokok sejak sekolah dasar,” katanya. Lagi pula saat itu pemain yang merokok di tim nasional bukan hanya dirinya. Berikutnya muncul isu Ronny Sentris, yang menganggap peran sang kapten sangat mendominasi tim.
Selesai berperan sebagai pemain, Ronny berganti baju menjadi pelatih. Mulai Persiba Balikpapan, Krama Yudha Tiga Berlian, Makassar Utama, Persitara Jakarta Utara, hingga Persija Jakarta pernah mencicip sentuhan tangannya.
Jeda dari sepak bola dijalani ketika dua anak lelakinya—Benny dan Yerry—terjerat narkotik. Dengan telaten Ronny merawat dan menghentikan kebiasaan buruk mereka. ”Saya pernah mendengar soal itu. Namun sepertinya dia bisa mengatasinya sendiri,” kata Risdianto.
Dia kemudian turun kembali ke lapangan hijau dengan membangun sekolah sepak bola Asiop dan menjadi pengurus PSSI sebagai anggota tim monitoring Badan Tim Nasional. Salah satu kiprahnya adalah membuat kejuaraan sepak bola usia di bawah 15 tahun.
Jumat pekan lalu Ronny Pattinasarani wafat di Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulomas, Jakarta Timur. Jenazahnya dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, dua hari kemudian. Bekas Ketua Umum PSSI Agum Gumelar dan sejumlah temannya ikut mengantar ke liang lahad.
Ronny telah pergi, tapi kehadirannya tetap terasa. ”Di dalam lapangan, dengan umpan-umpannya, dan dengan pemikirannya tentang perkembangan sepak bola nasional saat dia sudah tidak bermain,” kata Risdianto dengan suara tercekat.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo