Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heru Suryanto adalah tokoh kunci dalam kasus raibnya sejumlah koleksi langka milik museum Radya Pustaka. Bersama KRH Darmodipuro atau Mbah Hadi, sang kepala museum, dia divonis satu setengah tahun penjara.
Lelaki berusia 55 tahun itu bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Heru Suryonegoro. Kini kabarnya dia juga dibidik sehubungan dengan hilangnya puluhan koleksi perunggu di Radya Pustaka, museum tertua di Indonesia milik Keraton Kasunanan Surakarta itu.
Begitu mudah harta benda purbakala digangsir. Itulah yang membuat Heru, makelar barang antik, tergiur. Kepada Tempo, yang menemuinya di rumah tahanan Surakarta, akhir Agustus lalu, Heru bercerita blakblakan seputar aksinya.
Bagaimana Anda terlibat penjualan arca?
Semua berawal saat Hugo Kreijger datang ke Indonesia, Maret atau April 2007. Dia mengaku sedang mencari arca batu kuno. Saya ajak dia berkeliling ke Borobudur, Prambanan, dan Candi Sukuh, juga ke Keraton Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan. Dia bilang koleksinya biasa. Lalu saya ajak dia ke Radya Pustaka. Ini museum tertua, jadi barangnya pasti istimewa. Dia langsung tertarik sewaktu melihat koleksi arca batu. ”Ini boleh nih,” katanya. Lalu, dia bilang. ”Kamu kan masih keluarga Raja, siapa tahu dia mau jual.”
Lalu Anda menghubungi Raja?
Setelah ada tawaran dari Hugo, saya datang ke Mbah Hadi. Dia sudah tahu siapa saya. Eh, ternyata tawaran itu direspons. Saya pikir, apa salahnya dicoba. Kalau saja Mbah Hadi tidak memperbolehkan, saya juga tidak berani. Mbah Hadi bilang, ”Boleh diambil asal jangan ribut-ribut.” Dia juga minta disiapkan pengganti arca batunya. Pikiran saya, nanti kalau ada apa-apa, ya, bareng-bareng. Ternyata benar, masuk bui bareng, ha-ha-ha.…
Siapa yang punya ide memalsukan arca batu?
Namanya konspirasi, idenya dari Mbah Hadi. Cuma dia tak tahu bikinnya di mana. Saya lalu memesan ke perajin di Muntilan, Jawa Tengah.
Anda palsukan enam arca sekaligus?
Tidak. Intervalnya satu bulan satu buah arca. Saya lihat kondisi. Ternyata aman, lalu coba terus.
Berapa Anda bayar Mbah Hadi?
Saya beli enam arca dari Mbah Hadi Rp 535 juta.
Mahal juga ya...?
Ya, saya berani mahal karena dijualnya juga mahal. Enam arca itu saya jual ke Hugo hampir satu miliar rupiah.
Soal surat dan sertifikat. Benarkah itu palsu?
Begini. Saat itu Hugo merasa dia membeli barang mahal, dia minta tanda terima. Wah, saya pusing, bagaimana caranya. Akhirnya saya bikin surat dan sertifikat palsu.
Termasuk tanda tangan Raja?
Itu saya yang bikin.
Bukankah ada surat asli diteken oleh Raja?
Oh, itu surat pengantar untuk Alexander Götz sewaktu melihat koleksi perunggu. Keraton juga ingin tahu koleksinya sejauh mana. Kata Alexander, ternyata biasa saja.
Alexander? Siapa dia?
Dia sering dimintai tolong orang untuk mencari barang.
Untuk apa dia ke museum?
Dia melihat dan menilai koleksi. Cuma dia tak menunjukkan mana yang asli atau palsu. Dia hanya melihat-lihat, lalu dia bilang koleksinya biasa saja.
Jadi Hugo juga melihat koleksi perunggu?
Iya. Tapi tak tertarik. Dia cuma mau arca batu. Dia menunjuk mana arca yang asli, mana yang palsu.
Anda sendiri bisa membedakan asli dan palsu?
Bisa. Barang tua itu biasanya ada yang patah, entah tangan atau kuping. Kalau diraba, ketajaman batu juga berbeda. Patung baru biasanya lebih tajam, sementara yang lama sudah tidak tajam karena kena proses alam, hujan, dan panas.
Bisa juga menaksir umur arca?
Saya bisa mengira-ngira arca itu dari abad berapa. Kan ada buku pedomannya. Arca Siwa yang duduk di atas padmasana, di atas lotus dengan kaki menjulur, itu biasanya dari abad ke-5 sampai ke-6.
Belajar dari mana pengetahuan itu?
Otodidak.
Anda diperingatkan agar tak mengaitkan Raja dalam kasus ini. Anda merasa terancam?
Ah, tidak. Kami kan masih keluarga. Tak ada ancam-mengancam.
Saat ini diketahui ada 52 koleksi arca perunggu Radya Pustaka yang juga hilang. Anda menjualnya?
Tidak. Bukannya saya mau membersihkan diri. Sewaktu saya datang lagi ke Radya Pustaka bersama Hugo dan melihat koleksi perunggu, dia bilang koleksi di sana sudah lain. Bisnis saya keris dan batik kuno. Kalau perunggu kurang, karena pembelinya cuma orang lokal. Jaringan saya kurang.
Patung Dewi Cunda yang langka juga hilang.…
Ketika saya masuk, patung itu sudah tidak ada. Hugo ke Radya Pustaka antara lain karena mau melihat patung itu. Begitu masuk, dia sampai berseru, ”Oh, my God!” Katanya, koleksi perunggu di situ sebagian besar palsu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo