Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita butuh kata. Manusia memerlukan percakapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam lakon Hamlet, sesosok hantu muncul di satu sudut Istana Elsinore. Kerajaan Denmark tengah dicengkam takhta yang menakutkan. Hantu itu arwah baginda yang dibunuh raja yang kini berkuasa. Melawan kecut hatinya sendiri melihat wajah dari kubur itu, Horatio, sahabat Hamlet, berseru:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika tuan bisa berbunyi, atau bisa bersuara,
bicaralah padaku.
Horatio pun berteriak lebih keras membujuknya ketika hantu itu bergerak pergi. "Stay, and speak!"
Tapi "bicara", to speak, ibarat pintu ke arah entah-seperti dikisahkan Shakespeare dalam lakon ini. Di adegan lain hantu raja yang mati itu datang lagi dan bicara kepada Hamlet, putranya, tentang bagaimana ia dibunuh dan oleh siapa. Maka pembalasan dendam pun berlangsung, dengan darah, kematian, kepedihan.
"Kata-kata, kata-kata, kata-kata," Hamlet menjawab ketika Polonius bertanya apa yang sedang dibaca sang Pangeran. Hamlet tahu, kata punya kemungkinan ke segala arah, meskipun menunjukkan fakta-fakta yang "jelas".
Sebab tak ada yang bisa mengendalikan arahnya. Tidak Hamlet, tak Polonius-tak juga Shakespeare. Tuhan? Dalam sejarah, Tuhan memberi mandat kepada manusia, karena Ia tak ada di antara manusia untuk menjelaskan kata-kata-Nya sendiri. Ia biarkan manusia mengubah kata jadi interpretasi.
Ini dimulai dari "Bacalah!".
Iqra'! Menurut riwayat, titah itu diucapkan Malaikat Jibril sebagai wahyu paling awal yang disampaikan kepada Muhammad di Gua Hira. Sejak itu semua bermula: imbauan, ajaran, cerita tauladan, sabda yang penuh misteri; sejak itu Quran bermula.
Tapi sejak itu juga hadir ta'wil.
"Baca", "membaca", berarti mengikuti sesuatu (yang tertulis) agar dapat dimengerti. Tapi tak disebutkan bahwa dalam Gua Hira ada yang tertulis: tak ada huruf, infografis, atau teks beraksara. Maka "baca" dalam perintah pertama itu pasti bukan sebuah laku visual; iqra' lebih sepadan dengan yang dalam bahasa Inggris disebut "recite". Artinya "mengulangi kata yang diajarkan, dengan suara yang terdengar" (dari pengertian Latin recitâre). Bahasa Indonesia mengenal kata yang lebih dekat ke situ: "melafalkan".
Melafalkan adalah sebuah kemungkinan. Melafalkan tak niscaya bertaut dengan huruf dan angka hitam di atas putih. Kata-kata memang tersedia, tapi tak ada cara yang pasti untuk mengucapkannya. Sepatah kata dapat dilisankan secara berbeda dari dialek ke dialek-setidaknya sebuah teks yang, seperti Quran, baru dikodifikasikan beberapa abad kemudian.
Kodifikasi lazim diperlukan ketika ajaran disiarkan, melalui wilayah dan waktu yang berbeda-beda. Ada dorongan membuat sebuah teks jadi pasti dan permanen, ada rasa khawatir terhadap kata dan kalimat yang selalu banyak arti-kecemasan akan chaos dan kebingungan.
Seorang teman yang pandai berbahasa Arab menunjukkan, iqra', dari kata kerja qaraa, juga berarti "mengumpulkan hal yang terserak menjadi satu". Dengan kata lain, "membaca" berarti "merangkum makna". Persoalannya: siapa yang punya otoritas merangkum dan bagaimana cara mengumpulkan yang terserak?
Di sini, interpretasi atas teks mau tak mau menentukan. Interpretasi adalah sesuatu yang niscaya; tak ada kata tanpa interpretasi, juga sebaliknya. Seorang penelaah Quran terkenal, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan mengatakan, interpretasi adalah "sisi lain dari teks", al-wajh al-akhar li al-nass.
Abu Zayd sengaja tak menggunakan kata "tafsir", melainkan "ta'wil", untuk menegaskan peran akal budi manusia dalam membaca. Bagi Abu Zayd, peran akal budi itu sudah bekerja sejak kata iqra'. Begitu wahyu turun, teks ilahi, nass ilahi, jadi teks manusiawi, nass insani-teks dengan bahasa manusia yang dipergunakan di Mekah abad ke-7. Dengan kata lain, bahasa yang dibatasi sejarah dan disentuh dunia yang berubah.
Dalam From Revelation to Interpretation: Nasr Hamid Abu Zayd and the Literary Study of the Qur'an, Navid Kermani menunjukkan bagaimana Abu Zayd mengecam kecenderungan a-historis yang mengabaikan perubahan dan perbedaan yang dibawa sejarah manusia. Baginya, tak ada ta'wil atas Quran yang bisa dianggap satu-satunya interpretasi yang benar. Itu "semacam politheisme", katanya, karena "menyetarakan Yang Mutlak dengan yang nisbi, yang tetap dengan yang berubah". Abu Zayd bahkan menganggap pemahaman Nabi sebagai hanya pemahaman manusiawi. Nabi dan interpretasinya tak bisa diberhalakan.
Dari sini terasa kritik Abu Zayd kepada muramnya pandangan keagamaan hari ini. Ketika satu ta'wil diberlakukan mutlak dan tak bisa digugat, Kitab Suci dikurung dalam penjara. Quran diubah jadi hanya bacaan tentang ancaman hukuman dan janji surga. "Saya ingin membebaskan Quran dari penjara itu," kata Abu Zayd.
Tentu tak akan mudah. "Penjara" itu sudah bermula ketika kita mati ketakutan hingga hilang percakapan yang ikhlas tentang Tuhan, dunia, dan kematian. Mungkin itu sebabnya Shakespeare membuat Horatio melawan ketakutan-dan Hamlet jadi cerita yang tak mati-mati.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo