Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini publik dihadapkan pada pertanyaan akankah persaingan keras Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada 2014 terulang dalam pemilihan presiden tahun depan. Jawaban atas pertanyaan itu baru akan didapatkan pada 10 Agustus nanti, tenggat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum. Dalam sebulan ke depan, elite partai politik akan bermanuver, menjalin pelbagai lobi, untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tahun lalu, masyarakat terbelah dalam fanatisme membela pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (didukung PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Partai Hanura) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional). Pertentangan menjalar ke ruang-ruang publik dan ranah personal-termasuk merusak hubungan kekerabatan banyak orang. Sisa-sisa perseteruan 2014 itu masih terasa hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agar pemilu 2014 tidak terulang
Kemungkinan perseteruan kembali terbuka setelah tahun lalu Dewan Perwakilan Rakyat mempertahankan ambang batas minimal pencalonan presiden. Padahal pemilihan anggota Dewan yang hasilnya menjadi penentu hak partai politik mengajukan kandidat presiden baru akan digelar bersamaan dengan pemilihan presiden. Walhasil, partai-partai akan menggunakan tiket pencalonan presiden yang sebenarnya telah digunakan: hasil pemilihan legislatif 2014. Itu artinya hanya akan ada dua calon presiden, yakni Jokowi dan penantangnya. Melihat elektabilitas dan dinamika politik sejauh ini, penantang terkuat sang inkumben kemungkinan besar tetaplah Prabowo.
Kondisi politik ini sangat menyesakkan dada: sistem politik kita gagal menghasilkan calon pemimpin yang bisa bersaing di level nasional. Empat tahun berjalan dan Prabowo tetap menjadi politikus yang memiliki elektabilitas tertinggi sebagai penantang Jokowi. Partai-partai tidak menjalankan kaderisasi yang baik guna menghasilkan banyak calon pemimpin. Pemilih pun mungkin kembali hanya memperoleh dua pilihan kandidat-dengan sejumlah kelemahan pada keduanya.
Situasi ini makin buruk karena aturan ambang batas minimal pencalonan presiden tetap berlaku. Presidential threshold menutup peluang masyarakat mendapatkan calon alternatif. Dengan syarat ketat-hanya partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional yang dapat mengajukan calon-yang kemudian tumbuh adalah politik oligarki yang membuka pintu pada proses politik yang transaksional.
Kubu penantang Jokowi berusaha memadukan Prabowo dengan calon wakil presiden yang memenuhi kepentingan PKS atau PAN. Calon-calon dimunculkan, meski belum ada yang memuaskan anggota koalisi. Dalam situasi ini, Partai Demokrat, yang pada 2014 tidak bergabung pada kedua koalisi, berusaha mengajukan Jusuf Kalla dan Agus Harimurti Yudhoyono. Namun usaha ini juga sangat bergantung pada apakah ada partai lain yang bersedia berkoalisi membentuk poros ketiga.
Tarik-menarik di antara kepentingan kubu penantang itu akan membahayakan Jokowi. Jika "oposisi" gagal mencapai kesepakatan, Jokowi tidak akan mendapat lawan. Ia akan bertanding melawan kotak kosong sebagai calon tunggal. Untuk memenangi pemilihan, ia harus mendapatkan 50 persen plus satu suara. Pemilihan dengan calon tunggal jelas tak berkualitas. Kemungkinan lain yang tak kalah buruknya: calon boneka diciptakan hanya agar inkumben punya pesaing.
Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang bisa mengubah peta permainan. Lembaga itu kini menangani gugatan uji materi terhadap aturan presidential threshold. Mahkamah semestinya konsisten dengan putusan yang mengabulkan pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak-dan otomatis menghapus ambang batas pencalonan presiden. Jika Mahkamah konsisten dengan putusan itu, peluang publik mendapatkan calon alternatif terbuka. Semua partai, baik lama maupun baru, juga tidak kehilangan hak konstitusionalnya mengajukan kandidat presiden. Transaksi bawah meja bisa dihindari. Persaingan keras yang membelah publik juga bisa direduksi. Tentu saja, tertutup pula kemungkinan Jokowi melawan kotak kosong.
Masih ada waktu bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi keadaan. Lembaga itu harus mengambil putusan berdasarkan prinsip-prinsip yang menjunjung hak konstitusional warga negara. Mahkamah tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sesaat para oligark.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo