Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh orang diketahui tewas, empat di antaranya remaja, dalam demonstrasi yang berakhir rusuh pasca-pengumuman pemenang pemilihan presiden 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum.
Sembilan korban tewas ditemukan di Jakarta dan satu di Pontianak. Satu orang meninggal karena hantaman benda tumpul di kepala, sembilan lainnya tewas oleh peluru yang menembus kepala, leher, dada, dan punggung. Pemerintah harus memastikan pembunuh, juga dalang di balik kerusuhan, itu tertangkap dan dibawa ke pengadilan.
Polisi telah merilis nama sejumlah mantan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia yang diduga terlibat kerusuhan. Di antaranya mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko, yang menyelundupkan senjata dari Aceh. Ada juga mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen, yang memerintahkan pembelian senjata. Lalu muncul pula nama Kolonel Purnawirawan Fauka Noor Farid, bekas anggota Kopassus yang terlibat penculikan aktivis pada 1997-1998. Dia ditengarai merekrut komandan lapangan aksi kerusuhan.
Polisi hendaknya tidak surut langkah. Huru-hara 21-22 Mei bukanlah perang, melainkan kerusuhan dalam aksi massa, tempat hukum sipil berlaku penuh. Negara wajib mengungkap siapa pelaku dan bagaimana kerusuhan dan pembunuhan tersebut terjadi. Penangguhan penahanan terhadap mereka yang sebelumnya disebut-sebut terlibat hendaknya tidak menjadi isyarat bahwa kasus ini akan menggantung atau dihentikan.
Ada indikasi aparat melakukan pelanggaran prosedur. Anggota Brigade Mobil diketahui memukuli seseorang yang dituding sebagai perusuh di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Uji balistik memperlihatkan salah satu korban meninggal ditembak menggunakan AK-101, sama dengan jenis senjata yang dipakai polisi dalam pengamanan.
Ditemukannya peluru dari Glock 42—pistol genggam yang tidak terdaftar sebagai senjata organik polisi atau TNI—mengindikasikan ada pemain lain dalam rusuh itu. Sejumlah saksi menyebut seorang pria berambut gondrong sebagai penggenggam pistol semiotomatis tersebut—tak jelas siapa. Polisi sebelum rusuh sudah mensinyalir ada berbagai kelompok yang akan meramaikan demo. Dengan kata lain, boleh jadi tidak ada pemain tunggal dalam rusuh berdarah itu. Segala silang-sengkarut mesti dijernihkan.
Agar masalahnya terang-benderang, Presiden Joko Widodo harus membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF). Tim independen ini hendaknya melibatkan tokoh masyarakat, aktivis hak asasi, serta pakar hukum yang kredibel. Pemerintah dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai payung pendirian TGPF.
Pembentukan TGPF akan membantu polisi jika penyelidikan mengarah pada keterlibatan individu atau kelompok yang secara psikologis sulit mereka tindak. TGPF juga dapat menerobos sekat-sekat internal polisi—fraksionasi yang ditengarai dapat mengganggu investigasi. Bagi Jokowi, pembentukan TGPF akan menghalau kecurigaan masyarakat bahwa Presiden menggunakan kasus ini untuk menekan lawan politik.
Setelah pemilu April lalu, pemerintah memang terus mencari jalan untuk meredakan ketegangan dua kubu—termasuk dengan memberikan tawaran berkoalisi di kabinet. Strategi “memukul dan merangkul lawan” itulah yang dipercaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi keadaan. Patut disayangkan, suara kritis kubu Prabowo Subianto terhadap penuntasan rusuh 22 Mei pun kian surut seiring dengan makin intensnya koalisi disiapkan.
Menjadikan kasus ini terbengkalai akan menambah panjang pelanggaran hak asasi oleh negara. Selain rusuh 22 Mei, pada era Jokowi terjadi penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan—perkara yang hingga kini misterius. Gandrung pada pembangunan ekonomi, Jokowi hendaknya tidak mengabaikan pelanggaran
hak asasi.
Jokowi dapat belajar dari TGPF kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib. Meski tidak berhasil menyeret auktor intelektualis ke penjara, TGPF Munir berhasil memberikan ”kerangka” pada kasus itu: menghukum pelaku lapangan dan memberikan gambaran kasar perihal siapa di belakang kasus dan mengapa pembunuhan itu terjadi.
Indonesia memiliki sejarah panjang kekerasan negara terhadap warga sipil dalam sengketa elite politik. Eksekusi massal tanpa pengadilan terhadap ratusan ribu orang dalam peristiwa 30 September 1965 menjadi catatan kelam sampai sekarang. Pembunuhan di Priok, peristiwa Talangsari, kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Semanggi I dan Semanggi II tak tuntas hingga kini. Dipercaya rakyat untuk memimpin Indonesia kedua kalinya, Jokowi hendaknya tidak menambah panjang daftar ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo