Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konferensi pers pengumuman perkembangan perkara korupsi pengadaan solar industri di PT PLN (Persero) oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada akhir Juni lalu bak pertunjukan saja. Tumpukan tinggi uang—disebut berjumlah Rp 173 miliar—dipamerkan dan dinyatakan sebagai barang bukti kasus yang menempatkan Nur Pamudji, mantan direktur utama perusahaan listrik negara itu, sebagai tersangka.
Meski begitu, perkara tersebut sebenarnya tidak terlalu meyakinkan. Nur Pamudji dituduh melakukan korupsi dalam proyek pengadaan solar industri dari PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) pada 2010, ketika ia memimpin PLN. Ia dijebloskan ke tahanan sejak Rabu, 26 Juni lalu. Polisi sebenarnya telah mengumumkan Nur Pamudji sebagai tersangka pada pertengahan 2015. Penyidik melanjutkannya setelah menerima hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Februari 2018, yang menyebutkan ada kerugian negara Rp 188 miliar.
Kesimpulan adanya kerugian negara seharusnya belum cukup menjadi dasar polisi menjerat Nur Pamudji. Penyidik semestinya menelusuri ada atau tidaknya keuntungan yang diterima dia secara pribadi. Jika terbukti ada keuntungan yang dia terima, penetapan tersangka bisa kuat.
Angka kerugian negara dalam kasus ini baru dikantongi penyidik kepolisian tiga tahun setelah Nur Pamudji dijadikan tersangka. Padahal, menurut Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, penegak hukum harus menemukan alat bukti, seperti kerugian keuangan negara, sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Nilai kerugian negara Rp 188 miliar dalam audit juga patut dipertanyakan. Ini karena, menurut audit BPK sebelumnya, tender pengadaan dan pelaksanaan proyek tidak bermasalah dan dianggap sebagai aksi korporasi biasa. Hasil audit BPK yang tak konsisten ini jelas memunculkan wasangka. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi sempat menelisik proyek pengadaan ini dan tidak menemukan korupsi.
Langkah polisi memamerkan gepokan uang ratusan miliar yang disita dari PT TPPI dan disebut sebagai bagian dari kerugian negara dua pekan lalu juga tidak lazim. Pameran barang bukti uang dalam jumlah besar hanya biasa dilakukan dari operasi tangkap tangan. Duit yang disebut sebagai sitaan dalam kasus Nur Pamudji mesti dipertanyakan asal-usulnya: mengapa uang dalam rekening bank perlu dicairkan hanya untuk ditunjukkan sebagai “barang bukti”?
Tuduhan penunjukan langsung PT TPPI juga gampang dipatahkan. Kubu Nur Pamudji mengaku mengantongi bukti proyek ini ditender secara transparan di media dan pemenangnya adalah yang memberikan penawaran harga terendah. TPPI menjadi rekanan pengadaan high speed diesel untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Tambak Lorok, Semarang, dan PLTGU Belawan, Medan, pada 2010.
Pengadaan ini bermula dari kebutuhan solar PLN sebesar 9 juta kiloliter. Sebanyak 7 juta kiloliter dipasok Pertamina. Adapun 2 juta kiloliter dilelang dalam lima lot. PT TPPI, yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Tuban Petrochemical Industries—70 persen sahamnya milik negara—mendapat right-to-match dan memenangi dua lot. Soal pemberian right-to-match inilah yang dipersoalkan polisi. Nur Pamudji berkukuh proses lelang tidak melanggar pedoman pengadaan barang dan jasa PLN.
Bola kini ada di tangan jaksa. Dengan pelbagai kelemahan tersebut, jaksa semestinya mengembalikan perkara ini ke kepolisian atau menghentikannya di tahap penuntutan. Jika tetap memaksakan perkara ini ke pengadilan, jaksa bisa jadi menjalankan peradilan sesat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo