Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keputusan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2025 sangat kontraproduktif.
Pemerintah justru memilih menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan.
Merebaknya rokok ilegal pun bukan disebabkan oleh kenaikan cukai rokok.
PEMERINTAHAN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris. Jika disarikan, PMK tersebut memuat satu ketentuan penting: tarif cukai rokok tidak naik tahun depan. Untuk komoditas yang tiap tahun membunuh lebih dari 290 ribu orang di Indonesia itu, terbitnya peraturan yang diundangkan pada 12 Desember 2024 tersebut sangat disayangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cukai rokok jelas penting. Selain bisa menekan angka prevalensi perokok, cukai rokok atau cukai hasil tembakau tercatat sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan cukai di Indonesia. Di tengah kebingungan pemerintah menghadapi defisit anggaran serta mencari sumber pembiayaan berbagai program strategis yang ambisius, keputusan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2025 tentu kontraproduktif. Apalagi pemerintah justru memilih menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan, meski klaimnya ditujukan untuk barang mewah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, rata-rata kenaikan batasan harga jual eceran rokok pada 2025 berdasarkan PMK tersebut hanyalah 10 persen. Dengan kenaikan itu, berdasarkan hitungan penulis, masih akan tetap ada rokok yang dijual seharga Rp 10 ribu sebungkus.
Pemerintah tak menaikkan cukai rokok karena ingin menekan angka downtrading atau peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah dan menekan tingginya peredaran rokok ilegal. Selain merugikan ekonomi, downtrading menghambat tujuan dinaikkannya harga rokok: agar perokok mengurangi konsumsi rokok serta mengalihkan uang rokoknya untuk belanja kebutuhan pokok, seperti telur, beras, dan pakaian.
Namun peralihan yang dikhawatirkan tersebut sebenarnya terjadi karena kenaikan cukai tidak merata sehingga masih banyak merek rokok murah beredar di pasaran. Ketika harga rokok putih mesin mencapai Rp 50 ribu per bungkus, masih ada rokok kretek yang hanya seharga Rp 12 ribu sebungkus. Perbedaan harga rokok yang cukup jauh ini disebabkan oleh struktur cukai hasil tembakau di Indonesia yang terdiri atas delapan lapisan (layer) tarif. Jarak antar-layer juga masih jauh. Padahal umumnya negara-negara lain sudah menerapkan satu tarif cukai untuk semua produk rokoknya.
Dengan dalih melindungi industri padat karya, pemerintah sengaja membedakan tarif cukai hingga berlapis-lapis. Misalnya, kenaikan tarif cukai sigaret kretek tangan pada 2024 yang hanya 5 persen—lebih rendah daripada sigaret kretek mesin sebesar 12 persen. Padahal, berdasarkan laporan World Bank pada 2017, kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 47 persen dan simplifikasi tarif cukai menjadi enam layer berdampak minim terhadap pengurangan tenaga kerja di sektor industri rokok, yakni kurang dari 0,5 persen atau 2.914 tenaga kerja.
Jumlah tersebut mudah dimitigasi menggunakan 2 persen tambahan pemasukan berkat kenaikan cukai rokok, misalnya dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Lagi pula, pada 2018, World Bank melaporkan kemiskinan yang diderita petani tembakau selama ini lebih disebabkan oleh tata niaga yang tidak adil, jerat hutang, dan kerugian akibat cuaca tidak menentu.
Sayangnya, pemerintah tidak akan mengurangi jumlah layer tarif cukai pada 2025. Struktur tarif cukai yang sederhana merupakan solusi untuk membuat harga rokok di pasaran seragam sehingga mengurangi insentif konsumen untuk downtrading.
Berdasarkan simulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2020, penyederhanaan struktur tarif cukai menjadi tiga atau lima lapisan yang disertai dengan kenaikan tarif cukai 20 persen per tahun membuat penerimaan negara dari cukai hasil tembakau pada 2024 seharusnya bisa mencapai Rp 344-440 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi daripada outlook penerimaan cukai pada 2024 yang tertuang dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, yakni sebesar Rp 230,5 triliun.
Merebaknya rokok ilegal pun bukan disebabkan oleh kenaikan cukai rokok. Di Selandia Baru dan Vietnam, misalnya, tren rokok ilegal stagnan atau bahkan turun meskipun cukai rokok terus naik. Rokok ilegal merebak karena lemahnya penegakan aturan dan rumitnya struktur cukai di Indonesia, yang membuat peluang terjadinya pelanggaran cukup tinggi.
Menaikkan harga jual eceran saja justru membuat keuntungan perusahaan rokok besar bisa makin tinggi karena memiliki efisiensi menyerap biaya tarif cukai. Laporan tahunan PT HM Sampoerna Tbk, misalnya, menunjukkan perusahaan tetap untung sebesar Rp 8,1 triliun pada 2023 atau tumbuh 28 persen dibanding pada 2022 meskipun cukai naik.
Negara pun kehilangan kesempatan mengefisienkan anggaran dengan mengurangi beban kesehatan negara. Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives menghitung kerugian negara akibat konsumsi rokok pada 2019 sebesar Rp 184-410 triliun.
Pada periode 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto ini, lagi-lagi pemerintah mempertontonkan keputusan keliru dalam pembangunan kesehatan dan ekonomi akibat hegemoni industri tembakau di Tanah Air.
Alih-alih mengatasi akar masalah downtrading dan rokok ilegal, pemerintah memilih tidak menaikkan cukai rokok yang justru lebih banyak merugikan negara dan masyarakat, serta hanya memperkaya pengusaha rokok. Belum terlambat pagi pemerintah mengoreksi kebijakan cukai rokok serta lebih berpihak pada kesehatan dan kesejahteraan penduduk Indonesia. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo