Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OTORITAS imigrasi kita terlihat sangat tidak bisa dipercaya dalam soal Harun Masiku. Kebohongan berlapis-lapis dilakukan hanya untuk mengaburkan keberadaan tersangka penyuap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua berpangkal pada dua wajah Yasonna Hamonangan Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ia muncul sekaligus sebagai bawahan Presiden Joko Widodo dan petugas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia menghadapi konflik kepentingan yang besar dalam dua posisi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai Menteri Hukum, Yasonna semestinya memastikan keimigrasian Indonesia cepat dan akurat. Di sisi lain, sebagai politikus, ia harus menjaga partainya tak tersentuh jerat hukum—termasuk dalam kasus Harun Masiku. Peran ini dijalankan dengan vulgar oleh Yasonna, antara lain, dengan menghadiri konferensi pers atas nama tim hukum PDIP, mempersoalkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi setelah penangkapan Wahyu Setiawan.
Harun, calon legislator dari PDIP, merupakan kunci pembuka kasus penyuapan Wahyu. Memperoleh suara di urutan kelima pada pemilihan umum tahun lalu, ia disorongkan partainya menggantikan Nazarudin Kiemas, yang meninggal tiga pekan sebelum pemungutan suara. Padahal, sesuai dengan undang-undang, peraih suara nomor dualah, Riezky Aprilia, yang berhak. Harun dituduh menyuap Wahyu Rp 900 juta agar bisa mulus ke Senayan.
Wahyu ditangkap petugas KPK pada 8 Januari lalu. Harun lolos dengan bantuan koleganya di partai. Ia disebut-sebut berlindung di kompleks kepolisian bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Segera setelah itu, kor kebohongan dimainkan: Harun meninggalkan Indonesia dua hari sebelum operasi penangkapan.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi Arvin Gumilang menyatakan belum ada catatan Harun kembali ke Indonesia. Informasi serupa kemudian disampaikan Yasonna, yang mengatakan, “Pokoknya, Harun masih di luar Indonesia.” Ketua KPK Firli Bahuri dan pemimpin KPK lainnya seperti percaya begitu saja. Mereka tak serius mengejar Harun, juga keterlibatan politikus PDIP lainnya.
Investigasi Tempo menggugurkan semua usaha disinformasi. Manifes penerbangan, rekaman kamera keamanan Bandar Udara Soekarno-Hatta, juga keterangan istrinya memastikan Harun telah masuk Tanah Air pada 7 Januari. Direktur Jenderal Imigrasi Ronny Sompie akhirnya mengakui kebenaran hasil peliputan itu.
Mungkin demi menyelamatkan muka lembaganya, Ronny berdalih ada alasan teknis yang membuat data perlintasan Harun terlambat. Alasan ini sejatinya mencoreng wajah Imigrasi sendiri. Sebab, sistem teknologi Imigrasi seharusnya bekerja cepat dan memiliki standar keamanan tinggi. Keterlambatan data hingga dua pekan mengundang pertanyaan: apakah Imigrasi kita mampu mendeteksi pelintas yang dianggap membahayakan negara?
Yasonna merasa tidak bersalah dengan kebohongan berlapis-lapis itu. Ia bahkan meminjam nama Tuhan untuk berkelit. “I swear to God, itu error,” katanya. Yasonna lupa, dibanding kepada partainya, ia seharusnya lebih bertanggung jawab kepada publik yang menuntut sistem Imigrasi berjalan baik. Sebagai pelayan publik, ia telah kehilangan moral mempertahankan jabatannya.
Kebohongan Yasonna dan anak buahnya bisa dikategorikan sebagai usaha mempersulit penyidikan kasus korupsi. Presiden Jokowi semestinya mencopot bawahannya itu—kecuali, sebagai sesama “petugas PDIP”, Presiden memang setuju dengan semua langkah Yasonna.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo