Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kecelakaan pesawat tempur Super Tucano telah merugikan TNI AU.
Skema pengadaan pesawat tempur TNI AU perlu diperbaiki.
Alih teknologi dan pelatihan sumber daya manusia penerbangan menjadi penting.
Totok Siswantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Indonesia Aeronautical Engineering Center (IAEC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pesawat tempur Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) jatuh saat latihan rutin di wilayah Pasuruan, Jawa Timur, 16 November lalu. Kecelakaan dua pesawat tempur taktis milik TNI AU jenis Super Tucano dengan nomor registrasi TT-3103 dan TT-3111 itu merupakan pukulan berat bagi TNI karena gugurnya empat perwira menengah mereka. Kecelakaan pesawat tersebut sudah barang tentu mengurangi kekuatan udara, terutama untuk jenis pesawat tempur taktis.
Kecelakaan pesawat ini menimbulkan pertanyaan mengenai skema atau sistem pengadaan pesawat TNI AU dan memerlukan evaluasi mendasar terhadap sistem pemeliharaan serta pengembangan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI.
Super Tucano merupakan pesawat berkemampuan antiperang gerilya (counterinsurgency) buatan Embraer Defense System, Brasil. Pesawat ini merupakan pengganti pesawat yang umurnya sudah tua, yaitu jenis OV-10 Bronco buatan Amerika Serikat.
Super Tucano merupakan versi yang disempurnakan dari pesawat latih EMB-312 Tucano. Pesawat tempur ini lebih cepat dan punya kemampuan terbang lebih tinggi. Pesawat ini dirancang untuk serangan ringan, antiperang gerilya, dukungan udara jarak dekat, dan misi pengintaian udara. Ia dirancang untuk dapat beroperasi di daerah bersuhu tinggi dan kelembapan tinggi. Dia juga dilengkapi dengan generasi ke-4 avionik yang menggabungkan sistem senjata dalam memandu akurasi senjata.
Pesawat Super Tucano mampu beroperasi pada malam hari dengan dilengkapi sistem navigasi yang andal. Salah satunya adalah radar warning receiver, missile approach warning system, dan chaff/flare dispenser. Kemampuan melihat obyek menggunakan sinar inframerah yang andal dengan perlengkapan forward looking infrared tipe Star SAFIRE III seperti yang digunakan pada beberapa pesawat tempur canggih di atas kelasnya.
Kecelakaan pesawat kali ini menunjukkan bahwa tekad untuk mewujudkan program nihil kecelakaan (zero accident) bagi pesawat TNI AU masih belum berhasil. Program tersebut tentunya membutuhkan sumber daya manusia yang benar-benar menguasai sistem dan aspek desain pesawat. Saat ini seharusnya ada sejumlah sumber daya manusia yang menguasai alih teknologi pesawat tersebut. Sayangnya, hal itu belum menjadi ketentuan utama dalam kontrak pembelian pesawat tempur.
Kecelakaan pesawat kali ini membuka masalah pentingnya evaluasi mendasar terhadap sistem pemeliharaan dan pengembangan alutsista TNI AU. Pesawat produksi Embraer Defense System tersebut sejak awal diduga mengandung masalah, dalam hal isi kontrak yang terkait dengan pengiriman komponen atau suku cadang.
TNI AU perlu memperbaiki sistem perawatan dan program alih teknologi untuk pesawat Super Tucano. Sistem perawatan perlu ditunjang dengan berbagai peralatan dan bengkel kerja yang berada di Skuadron Udara 21 Lapangan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur. TNI AU juga perlu mengembangkan fasilitas simulator pesawat Super Tucano untuk pelatihan awak pesawat dan teknisi.
Pengadaan pesawat militer dengan membeli pesawat baru ataupun pesawat bekas negara asing, jika skema pembiayaan dan alih teknologinya tidak tepat, bisa menimbulkan lingkaran setan yang sulit diputus dan berdampak fatal di kemudian hari. Pengadaan harus dipersiapkan secara matang dan sesuai dengan sistem penerbangan nasional serta dukungan sumber daya manusia berkompeten dan daya dukung industri pertahanan dalam negeri. Semestinya kontrak pembelian satu skuadron (16 pesawat) Super Tucano pada 2010 dengan harga US$ 143 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun itu disertai dengan skema offset atau imbal balik bagi industri dalam negeri dan imbal balik kompetensi sumber daya manusia di bidang penerbangan. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan dengan baik.
Pengadaan pesawat terbang untuk keperluan penerbangan sipil ataupun militer sebaiknya dilakukan dengan mengedepankan praktik imbal balik. Bentuk atau imbal balik itu sebaiknya berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia penerbangan.
Skema imbal balik itu mencakup transfer teknologi, produksi bersama di Indonesia untuk komponen dan struktur, serta fasilitas pemeliharaan dan perbaikan. Jenis imbal balik terdiri atas imbal balik langsung dan tidak langsung. Yang langsung merupakan kompensasi yang langsung berhubungan dengan kontrak pembelian, sedangkan yang tidak langsung atau biasa disebut imbal balik komersial biasanya berbentuk pembelian kembali, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah diproduksi oleh negara berkembang tersebut, lisensi produksi, hingga transfer teknologi dengan mendidik sumber daya manusia.
Pendidikan dan peningkatan kompetensi juga menyangkut pelatihan penerbang. Apalagi TNI AU masih perlu menambah penerbang tempur. Untuk mencetak penerbang, tidak hanya dengan merekrut dari lulusan Akademi Angkatan Udara, tapi juga membuka peluang bagi lulusan sekolah menengah atas melalui pendidikan Perwira Sukarela Dinas Pendek (PSDP). Pelatihan ini dinamakan Kursus Pengenalan Terbang Pesawat Tempur (Lead in Fighter Trainer). Dibutuhkan banyak biaya untuk mencetak seorang penerbang tempur. Lulusan sekolah penerbangan yang menjadi calon penerbang tempur harus digembleng lebih dulu di Skuadron Udara 15 Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, untuk berlatih menggunakan T-50 Golden Eagle dan Skuadron Udara 21 Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, memakai pesawat latih tempur Super Tucano.
Sejak pengadaan Super Tucano, proses alih teknologi yang didapat Indonesia belum optimal. Padahal keputusan pembelian itu melalui proses panjang penilaian dari berbagai aspek, baik oleh Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, maupun TNI AU sebagai operator. Pesawat ini mengalahkan beberapa kompetitornya atau beberapa alternatif pesawat sejenis, yaitu L-159A (Ceko), M-346 (Italia), K8P (Cina), dan KO-1B (Korea Selatan).
Program nihil kecelakaan pesawat TNI AU bisa efektif jika didukung oleh sumber daya manusia yang benar-benar menguasai sistem dan aspek desain pesawat. TNI AU perlu mengembangkan sumber daya manusia yang menguasai alih teknologi pesawat tersebut karena Super Tucano merupakan pesawat turboprop serangan ringan yang terus dikembangkan untuk melaksanakan misinya dengan akurasi yang tinggi dan dalam berbagai kondisi. Pesawat jenis ini juga dikembangkan agar memiliki kemampuan pesawat yang dapat beroperasi pada malam hari. Selain itu, perlu pengembangan Super Tucano sebagai pesawat latih lanjut ataupun transisi ke pesawat jet tempur generasi terakhir.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo