Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PREDIKAT negara maritim tampaknya tidak lantas membuat kita memiliki kesadaran tentang kelautan, meskipun kita punya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di hadapan laut, nyatanya kita kesulitan melepaskan diri dari watak agraris. Pola pikir kita, termasuk bahasa kita, tidak hanya membelakangi, tapi justru makin berlari menjauhi lautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain memudar dan bahkan hilangnya kosakata berbasis kelautan, apa yang kian memberi cetak biru bagi keadaan bahasa kita yang kian “memunggungi lautan”? Barangkali jawabannya adalah makin bejibunnya penggunaan konsep-konsep kontinental. Istilah dan konsep kontinental berbasis daratan ini merangsek, tak hanya menggantikan, tapi, lebih dari itu, menenggelamkan konsep-konsep sepadan yang berasal dari tradisi bahari dan kemaritiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Jokowi pernah berhajat menjadikan Indonesia “poros maritim dunia”. Gagasan itu dari sisi linguistik harus batal dan bahkan batal sejak dalam pikiran. Konstruksi berpikir yang dimaksudkan sebagai instrumen untuk meraih cita sebagai poros maritim dunia senyatanya adalah konstruksi kontinental. Tentu saja klaim ini perlu diperdebatkan secara akademik. Namun kesimpulan ini bukan berangkat dari ruang kosong. Guna mendukung natijah ini, bisa kita arahkan sigi pada dokumen resmi tentang kebijakan kelautan masih kental dengan konsep dan istilah yang bukan bersumber dari tradisi bangsa maritim.
Misalnya yang paling mencolok ada pada dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada 2017. Dokumen ini berbasis pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017. Uniknya, untuk menghindari sebutan tragisnya, dalam pengantar dokumen tertulis dengan jelas tajuk “Peta Jalan Kebijakan Kelautan Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia”.
Mengapa konsep peta jalan bisa merangsek ke dalam dokumen resmi tentang kelautan dan kemaritiman? Bukankah peta jalan adalah konsep yang berasal dari frasa road map? Tradisi maritim kecil kemungkinan mengenal konsep peta dan jalan. Ia adalah konsep yang lahir dari tradisi masyarakat yang berkebudayaan kontinental berbasis daratan. Merriam Webster Dictionary, misalnya, mendefinisikan road map sebagai “peta yang menunjukkan jalan khusus untuk perjalanan mobil”.
Di lain pihak, tradisi orang maritim lebih dekat dan karib dengan lema haluan. Di zaman Orde Baru kita mengenal istilah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang belakangan sempat mencuat kembali ketika partai politik ingin mengembalikannya. Haluan adalah konsep maritim yang digunakan untuk mentasawurkan arah atau tujuan. Bukti haluan sebagai kosakata maritim adalah maknanya dalam kamus sebagai “bagian perahu (kapal) yang sebelah muka”.
Peribahasa “berkemudi di haluan, bergilir ke buritan atau kemudi di haluan, bergilir ke rusuk”, yang berarti orang yang menuruti perintah anaknya, istrinya, bawahan, dan lain sebagainya, juga menjadi bukti bahwa lema haluan berkembang dan memijah dari kebudayaan maritim. Dalam kisah pelayaran Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ke Mekah (1889), Abdullah menulis, “Di situlah dijalankannya kapal itu, serta berteriak yang di atas tiang itu memberi haluan.”
Membangun budaya maritim berarti pula membangun tradisi, kebudayaan, dan pola pikir. Bahasa adalah alat utama untuk membangun ketiganya. Jika tidak dari bahasa, lantas dari mana lagi kita hendak mulai membangunnya?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Peta Jalan dan Haluan"