PERLUKAH Gepeng bersenjata?
Tidak, jawab teman saya. Tapi kemudian ia berkisah tentang Kebo
Ijo. "Semua itu sudah pernah terjadi -- dan wajar untuk
terjadi."
Di Tumapel di abad ke-13, pemuda yang bernama Kebo Ijo itu juga
celaka karena ia memamerkan sebuah senjata: sebilah keris yang
elok, dan mungkin sakti. Keris itu kemudian ditemukan sebagai
alat pembunuh sang kepala daerah, sang akuwu. Kebo Ijo sebagai
akibatnya dihukum mati. Padahal, ia memakai keris bukan untuk
menteror. Ia memakainya -- mungkin seperti Gepeng atau sopirnya
700 tahun kemudian -- untuk berlagak.
Rupanya memang ada masa ketika senjata bisa jadi alat jual
tampang, seperti kumis atau pun destar. Rupanya ada suatu ketika
orang menerima keris atau pistol atau lainnya sebagai lambang
keunggulan. Di Jawa pernah orang mengatakan bahwa lelaki sejati
harus punya empat hal: perempuan, burung, kuda, dan keris.
Senjata sebagai lambang suatu sukses agaknya memang tak
terelakkan dalam masyarakat yang mengagungkan kejantanan, karena
umumnya kaum prialah yang menguasainya. Dalam semangat machismo
itu perempuan harus dengan mudah dipeluk dan alat berkelahi
dengan mudah dipertunjukkan.
Namun, berbeda dengan atribut-atribut machismo yang lain --
sederet pacar atau sebuah sepeda motor Harley Davidson, sepotong
jaket kain kasar atau sebotol bir senjata juga bisa jadi lambang
tingkat sosial-politik. Tentu saja ini ada dalam suatu
masyarakat, ketika benda itu merupakan benda langka yang hanya
dipakai oleh kalangan atas, dengan semacam kepercayaan: ia bisa
membikin orang lain merunduk. Ia bisa membuat para pengganggu
keder, juga bila sang "pengganggu" itu hanya seorang banpol
kurus yang mau menertibkan jalan.
Seperti keris dari abad ke-13 dan sesudahnya, alat bertempur
pada masa-masa tertentu bisa jadi obyek snobisme. Ia idaman
mereka yang hendak naik tingkat, dengan pelbagai hiasan
lahiriah, ke dalam the previleged few.
Seorang snob memang seorang yang selalu dengan susah payah
menghindari diri dari menjadi orang kebanyakan: Kebo Ijo adalah
seorang snob. Gepeng adalah seorang snob. Kita umumnya juga
snob, yang mengenakan kaus Lacoste bermerk buaya ketika orang
yang terpandang mengenakan merk itu, dan menanggalkannya ketika
orang justru ramai-ramai membelinya.
Namun, senjata berbeda dengan kaus Lacoste. Ia punya fungsi
lain: ia jalan nyata ke arah kekuasaan. Mao, seorang Marxis yang
seharusnya percaya betul kepada kekuatan massa, toh mengakui:
"Kekuasaan lahir dari laras bedil."
Barangkali itulah sebabnya, dalam sejarah, pemilikan senjata
menghasilkan suatu wewenang -- dan lahirlah suatu kelas di atas
yang bisa mengontrol, mengatur, dan memungut. Di Jepang kita
mengenal kaum samurai yang beratus-ratus tahun mengkhususkan
diri dalam keahlian di bidang senjata dan kekerasan, dengan itu
dapat hidup tanpa memproduksikan pangan atau pun barang lain
yang mereka konsumsikan. Di India lahir kasta kesatria -- kelas
prajurit yang kemudian juga jadi kelas para raja.
Dalam struktur yang demikian, persamaan sosial nampaknya hanya
mungkin terjadi bila tercapai suatu persamaan daya jangkau ke
persenjataan, atau setidaknya persamaan keahlian beperang.
Konon di tahun 1200 Sebelum Masehi, perkembangan semacam itu
pernah terjadi.
Di masa itu suatu keterampilan baru tumbuh: orang mulai bisa
membuat senjata dari besi. Dan karena biji besi mudah didapat
berbeda dengan logam lain yang sebelumnya orang kebanyakan pun
dengan tanpa biaya banyak bisa menghasilkan senjata mereka
sendiri. Bila semua sejumlah kecil kaum aristokrat saja yang
dapat membiayai produksi alat perang, kini para petani dan
lain-lain muncul.
Mungkin itulah masa ketika Kitab Perjanjian Lama menyebut: "Di
masa itu tak ada raja di Israel setiap orang berbuat apa yang
ia senangi."
Kedengarannya memang suatu anarki. Namun, yang menarik ialah
bahwa teknologi besi itu juga membantu kehidupan dari segi lain:
memperbaiki produktivitas pertanian, dan meningkatkan kekayaan
secara relatif merata. Dalam kemakmuran itu orang saling menjaga
untuk tak hancur menghancurkan. Dalam kemerataan itu masyarakat
juga bisa lebih bertahan. Namun tak ada masyarakat tanpa
sengketa. Konflik mengharuskan orang siap untuk menang. Keahlian
ke arah itu pun kembali jadi penting. Dengan segera, keunggulan
perang membuka jalan ke arah aristokrasi baru.
Lalu di Tanah Israel muncullah raja-raja. Seorang nabinya pernah
memperingatkan dengan itu kebebasan akan terancam, mungkin
hilang, tapi tak banyak yang peduli. Manusia butuh organisasi,
hierarki, birokrasi. Bahkan kekerasan pun perlu diatur, juga
jual tampang.
Soalnya kemudian: siapa yang mengatur? Siapa yang diatur?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini