Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kekuasaan lahir dari senjata

Dalam sejarah, pemilihan senjata menghasilkan suatu wewenang. timbul kelas atas yang mengatur, mengontrol dan memungut. seorang marxis mao yang percaya kekuatan massa, mengakui kekuasaan lahir dari senjata.

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERLUKAH Gepeng bersenjata? Tidak, jawab teman saya. Tapi kemudian ia berkisah tentang Kebo Ijo. "Semua itu sudah pernah terjadi -- dan wajar untuk terjadi." Di Tumapel di abad ke-13, pemuda yang bernama Kebo Ijo itu juga celaka karena ia memamerkan sebuah senjata: sebilah keris yang elok, dan mungkin sakti. Keris itu kemudian ditemukan sebagai alat pembunuh sang kepala daerah, sang akuwu. Kebo Ijo sebagai akibatnya dihukum mati. Padahal, ia memakai keris bukan untuk menteror. Ia memakainya -- mungkin seperti Gepeng atau sopirnya 700 tahun kemudian -- untuk berlagak. Rupanya memang ada masa ketika senjata bisa jadi alat jual tampang, seperti kumis atau pun destar. Rupanya ada suatu ketika orang menerima keris atau pistol atau lainnya sebagai lambang keunggulan. Di Jawa pernah orang mengatakan bahwa lelaki sejati harus punya empat hal: perempuan, burung, kuda, dan keris. Senjata sebagai lambang suatu sukses agaknya memang tak terelakkan dalam masyarakat yang mengagungkan kejantanan, karena umumnya kaum prialah yang menguasainya. Dalam semangat machismo itu perempuan harus dengan mudah dipeluk dan alat berkelahi dengan mudah dipertunjukkan. Namun, berbeda dengan atribut-atribut machismo yang lain -- sederet pacar atau sebuah sepeda motor Harley Davidson, sepotong jaket kain kasar atau sebotol bir senjata juga bisa jadi lambang tingkat sosial-politik. Tentu saja ini ada dalam suatu masyarakat, ketika benda itu merupakan benda langka yang hanya dipakai oleh kalangan atas, dengan semacam kepercayaan: ia bisa membikin orang lain merunduk. Ia bisa membuat para pengganggu keder, juga bila sang "pengganggu" itu hanya seorang banpol kurus yang mau menertibkan jalan. Seperti keris dari abad ke-13 dan sesudahnya, alat bertempur pada masa-masa tertentu bisa jadi obyek snobisme. Ia idaman mereka yang hendak naik tingkat, dengan pelbagai hiasan lahiriah, ke dalam the previleged few. Seorang snob memang seorang yang selalu dengan susah payah menghindari diri dari menjadi orang kebanyakan: Kebo Ijo adalah seorang snob. Gepeng adalah seorang snob. Kita umumnya juga snob, yang mengenakan kaus Lacoste bermerk buaya ketika orang yang terpandang mengenakan merk itu, dan menanggalkannya ketika orang justru ramai-ramai membelinya. Namun, senjata berbeda dengan kaus Lacoste. Ia punya fungsi lain: ia jalan nyata ke arah kekuasaan. Mao, seorang Marxis yang seharusnya percaya betul kepada kekuatan massa, toh mengakui: "Kekuasaan lahir dari laras bedil." Barangkali itulah sebabnya, dalam sejarah, pemilikan senjata menghasilkan suatu wewenang -- dan lahirlah suatu kelas di atas yang bisa mengontrol, mengatur, dan memungut. Di Jepang kita mengenal kaum samurai yang beratus-ratus tahun mengkhususkan diri dalam keahlian di bidang senjata dan kekerasan, dengan itu dapat hidup tanpa memproduksikan pangan atau pun barang lain yang mereka konsumsikan. Di India lahir kasta kesatria -- kelas prajurit yang kemudian juga jadi kelas para raja. Dalam struktur yang demikian, persamaan sosial nampaknya hanya mungkin terjadi bila tercapai suatu persamaan daya jangkau ke persenjataan, atau setidaknya persamaan keahlian beperang. Konon di tahun 1200 Sebelum Masehi, perkembangan semacam itu pernah terjadi. Di masa itu suatu keterampilan baru tumbuh: orang mulai bisa membuat senjata dari besi. Dan karena biji besi mudah didapat berbeda dengan logam lain yang sebelumnya orang kebanyakan pun dengan tanpa biaya banyak bisa menghasilkan senjata mereka sendiri. Bila semua sejumlah kecil kaum aristokrat saja yang dapat membiayai produksi alat perang, kini para petani dan lain-lain muncul. Mungkin itulah masa ketika Kitab Perjanjian Lama menyebut: "Di masa itu tak ada raja di Israel setiap orang berbuat apa yang ia senangi." Kedengarannya memang suatu anarki. Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi besi itu juga membantu kehidupan dari segi lain: memperbaiki produktivitas pertanian, dan meningkatkan kekayaan secara relatif merata. Dalam kemakmuran itu orang saling menjaga untuk tak hancur menghancurkan. Dalam kemerataan itu masyarakat juga bisa lebih bertahan. Namun tak ada masyarakat tanpa sengketa. Konflik mengharuskan orang siap untuk menang. Keahlian ke arah itu pun kembali jadi penting. Dengan segera, keunggulan perang membuka jalan ke arah aristokrasi baru. Lalu di Tanah Israel muncullah raja-raja. Seorang nabinya pernah memperingatkan dengan itu kebebasan akan terancam, mungkin hilang, tapi tak banyak yang peduli. Manusia butuh organisasi, hierarki, birokrasi. Bahkan kekerasan pun perlu diatur, juga jual tampang. Soalnya kemudian: siapa yang mengatur? Siapa yang diatur?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus