SEBUAH salib kecil dipasang di Gdansk, Polandia di hari Minggu
itu. Para buruh galangan kapal "Lenin" tetap mogok, dan mereka
menyiapkan kebaktian. Sementara itu, di Roma bagian selatan,
sebuah misa khusus dipimpin iendiri oleh Sri Paus. Orang berdoa
untuk kaum proletar yang sedang menuntut kemerdekaan di Polandia
. . .
Karl Marx, seandainya ia masih hidup, pasti terkejut. Lenin,
seandainya ia masih hidupnya, apa yang akan dilakukan Lenin
seandainya ia masih hidup?
Komunisme, seabad yang lalu, berbicara untuk kaum buruh dan
memberi ilham bagi pejuang proletariat. Kini faham itu berbicara
untuk mereka yang berkuasa dan tak memberi inspirasi lagi.
Justru agama Kristen,--dikutuk Marx seratus tahun yang
lalu--yang kini masih bisa menghimbau. Sebuah salib kecil
dipasang di Gdansk. Patung Kristus itu seolah-olah lebih bisa
mencerminkan tubuh yang tertindas lambang palu-arit sebaliknya
lebih merupakan isyarat si penguasa yang nongkrong di belakang
kursi.
"Marxisme telah mandek," tulis ùeorang ahli filsafat yang tidak
anti komunis, Jean-Paul Sartre, dalam Critique de la Raison
Dialectique "Justru karena filsafat ini ingin mengubah dunia ...
karena sifatnya yang praktis dan memang dimaksudkan demikian,
suatu perpecahan yang nyata pun terjadi di dalamnya, dengan
akibat teori di satu pihak ditolak, dan juga tindakan di lain
pihak . . . "
Agama, sebaliknya, tidak mengklaim untuk jadi petunjuk praktis
pengubah dunia. Semangat agama yang paling dasar menimbang hidup
sebagai yang masih terdiri dari misteri. Memang ada orang agama
yang, seperti kaum Marxis, menyombong bahwa "segala hal sudah
ada jawabnya pada kami" tapi pernyataan itu menantang makna
doa--dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam doa
kita tahu, kita hanya debu.
Marxisme menyatakan diri akan mengubah dunia dengan keyakinan
penuh bahwa dialah pembawa Kebenaran, keyakinan ini disertai
pertimbangan yang realistis: kekuasaan harus direbut, dan harus
dipegang teguh, untuk menciptakan masyarakat yang adil.
Yang ternyata tak disadari oleh Marxisme benar-benar ialah
bahwa kekuasaan ternyata punya dinamiknya sendiri--dan suatu
ketika bisa tak acuh lagi kepada ide yang melahirkannya.
Kalau tidak percaya, tanyailah Julius Tomin. Laki-laki bertubuh
kecil yang tinggal di Praha ini telah menemukan, bahwa
pemerintahan komunis di Cekoslowakia hanya rcpot dcngan
kekuasaan dan produksi. "Rezim ini tak lagi kepingin menjangkau
pikiran rakyat malah sebaliknya".
Ia yang pernah bekerja sebagai buruh biasa di pabrik pembangkit
listrik selama lima tahun pada dasarnya adalah seorang yang
jatuh cinta pada ide-ide. Ia mempelajari karya-karya
klasik--termasuk Plato dan Aristoteles--tapi ketika ia menulis
makalah ke Institut Filsafat, ia ditolak.
Dalam institut itu kemudian ia ketahui, bahwa para anggota
senior pun di sini harus memiliki sebuah buku catatan. Dalam
buku ini mereka harus mencantumkan apa saja yang mereka baca
tiap hari. Sang direktur institut kemulian mengeceknya.
"Anda lihat," kata Tomin seperti dikutip dalam sebuah tulisan di
The New York Times, "setiap hal harus dikontrol, tapi bukan
ideologi lagi yang mengontrol -- melainkan buku catatan itu."
Birokrasi telah menggantikan keyakinan. Julius Tomin, sang
filosof, tak dihadapi dengan argumentasi dan keunggulan ide. Ia
seperti seorang yang jongkok sendirian di tengah gurun,
berbicara kepada sebuah piramid -- bangunan yang terdiri dari
batu, kebisuan dan kekokohan.
Tapi mengapa kebisuan itu? Orang bisa mengatakan bahwa itulah
tanda efisiensi para pendukung tertib dan stabilitas kekuasaan.
Perdebatan dengan para pemikir dan cendekiawan bagi mereka hanya
membuang waktu: menggembok mulut mereka sementara itu sudah
cukup.
Tetapi tidakkah juga kebisuan bisa berarti kekosongan, dan di
dalam piramid itu yang ada hanya mummi?
Itulah sebabna rezim yang ingin dianggap hidup pada akhirnya
harus bicara. Ia ingin menjangkau pikiran rakyat. Ia butuh
dasar-dsar pembenaran. Masalahnya kemudianl: adakah ia berani
untuk berdialog, adakah ia tak gentar untuk mendengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini