Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kekuasaan Untuk Keadilan ?

Marxisme menyatakan diri akan mengubah dunia dengan keyakinan penuh bahwa dialah pembawa kebenaran. keyakinan ini disertai pertimbangan realistis: kekuasaan harus direbut untuk menciptakan keadilan.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH salib kecil dipasang di Gdansk, Polandia di hari Minggu itu. Para buruh galangan kapal "Lenin" tetap mogok, dan mereka menyiapkan kebaktian. Sementara itu, di Roma bagian selatan, sebuah misa khusus dipimpin iendiri oleh Sri Paus. Orang berdoa untuk kaum proletar yang sedang menuntut kemerdekaan di Polandia . . . Karl Marx, seandainya ia masih hidup, pasti terkejut. Lenin, seandainya ia masih hidupnya, apa yang akan dilakukan Lenin seandainya ia masih hidup? Komunisme, seabad yang lalu, berbicara untuk kaum buruh dan memberi ilham bagi pejuang proletariat. Kini faham itu berbicara untuk mereka yang berkuasa dan tak memberi inspirasi lagi. Justru agama Kristen,--dikutuk Marx seratus tahun yang lalu--yang kini masih bisa menghimbau. Sebuah salib kecil dipasang di Gdansk. Patung Kristus itu seolah-olah lebih bisa mencerminkan tubuh yang tertindas lambang palu-arit sebaliknya lebih merupakan isyarat si penguasa yang nongkrong di belakang kursi. "Marxisme telah mandek," tulis ùeorang ahli filsafat yang tidak anti komunis, Jean-Paul Sartre, dalam Critique de la Raison Dialectique "Justru karena filsafat ini ingin mengubah dunia ... karena sifatnya yang praktis dan memang dimaksudkan demikian, suatu perpecahan yang nyata pun terjadi di dalamnya, dengan akibat teori di satu pihak ditolak, dan juga tindakan di lain pihak . . . " Agama, sebaliknya, tidak mengklaim untuk jadi petunjuk praktis pengubah dunia. Semangat agama yang paling dasar menimbang hidup sebagai yang masih terdiri dari misteri. Memang ada orang agama yang, seperti kaum Marxis, menyombong bahwa "segala hal sudah ada jawabnya pada kami" tapi pernyataan itu menantang makna doa--dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam doa kita tahu, kita hanya debu. Marxisme menyatakan diri akan mengubah dunia dengan keyakinan penuh bahwa dialah pembawa Kebenaran, keyakinan ini disertai pertimbangan yang realistis: kekuasaan harus direbut, dan harus dipegang teguh, untuk menciptakan masyarakat yang adil. Yang ternyata tak disadari oleh Marxisme benar-benar ialah bahwa kekuasaan ternyata punya dinamiknya sendiri--dan suatu ketika bisa tak acuh lagi kepada ide yang melahirkannya. Kalau tidak percaya, tanyailah Julius Tomin. Laki-laki bertubuh kecil yang tinggal di Praha ini telah menemukan, bahwa pemerintahan komunis di Cekoslowakia hanya rcpot dcngan kekuasaan dan produksi. "Rezim ini tak lagi kepingin menjangkau pikiran rakyat malah sebaliknya". Ia yang pernah bekerja sebagai buruh biasa di pabrik pembangkit listrik selama lima tahun pada dasarnya adalah seorang yang jatuh cinta pada ide-ide. Ia mempelajari karya-karya klasik--termasuk Plato dan Aristoteles--tapi ketika ia menulis makalah ke Institut Filsafat, ia ditolak. Dalam institut itu kemudian ia ketahui, bahwa para anggota senior pun di sini harus memiliki sebuah buku catatan. Dalam buku ini mereka harus mencantumkan apa saja yang mereka baca tiap hari. Sang direktur institut kemulian mengeceknya. "Anda lihat," kata Tomin seperti dikutip dalam sebuah tulisan di The New York Times, "setiap hal harus dikontrol, tapi bukan ideologi lagi yang mengontrol -- melainkan buku catatan itu." Birokrasi telah menggantikan keyakinan. Julius Tomin, sang filosof, tak dihadapi dengan argumentasi dan keunggulan ide. Ia seperti seorang yang jongkok sendirian di tengah gurun, berbicara kepada sebuah piramid -- bangunan yang terdiri dari batu, kebisuan dan kekokohan. Tapi mengapa kebisuan itu? Orang bisa mengatakan bahwa itulah tanda efisiensi para pendukung tertib dan stabilitas kekuasaan. Perdebatan dengan para pemikir dan cendekiawan bagi mereka hanya membuang waktu: menggembok mulut mereka sementara itu sudah cukup. Tetapi tidakkah juga kebisuan bisa berarti kekosongan, dan di dalam piramid itu yang ada hanya mummi? Itulah sebabna rezim yang ingin dianggap hidup pada akhirnya harus bicara. Ia ingin menjangkau pikiran rakyat. Ia butuh dasar-dsar pembenaran. Masalahnya kemudianl: adakah ia berani untuk berdialog, adakah ia tak gentar untuk mendengar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus