Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada masa awal pemerintahannya, Jokowi memperkenalkan lima pilar poros maritim dunia yang menjadi bagian dari Nawacita.
Seberapa jauh visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia benar-benar telah tercapai?
Visi poros maritim dunia tampak makin telantar dan belum terwujud sepenuhnya.
HAMPIR satu dekade berlalu sejak Presiden Joko Widodo menegaskan ambisi untuk mengembalikan bangsa Indonesia ke jati dirinya sebagai negara maritim. “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia,” kata Jokowi dalam pidato pelantikannya pada Oktober 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pidato tersebut, disusunlah lima pilar poros maritim dunia yang menjadi bagian penting Nawacita—sembilan prioritas pembangunan—kala itu: budaya maritim, sumber daya maritim, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, serta pertahanan maritim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara teori, poros maritim dunia menawarkan janji transformasi signifikan untuk meningkatkan konektivitas, mengembangkan infrastruktur maritim dan keterjangkauan antarpulau di Indonesia, serta memanfaatkan potensi laut untuk memperkuat posisi ekonomi negara.
Konsep ambisius ini diharapkan menjadi terobosan strategis dalam geopolitik global dan regional. Konsep itu menggarisbawahi pentingnya Indonesia sebagai pusat perdagangan dan jalur maritim utama, serta menekankan kekuatan laut sebagai pendorong kemajuan ekonomi dan kedaulatan nasional.
Namun, setelah sepuluh tahun berlalu, ada sejumlah pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintahan Jokowi. Seberapa jauh visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia benar-benar telah tercapai? Ataukah itu sekadar janji politik tanpa realisasi nyata? Apakah kita akan kembali memulai dari awal dalam pengembangan maritim dengan pergantian pemerintahan?
Pada masa awal pemerintahan Jokowi, berbagai program dan langkah inisiatif dilakukan untuk merealisasi visi poros maritim dunia. Beberapa di antaranya, pembangunan dan modernisasi pelabuhan, peluncuran program tol laut untuk meningkatkan konektivitas antarpulau, penegakan hukum terhadap praktik perikanan ilegal, peningkatan patroli dan pengawasan maritim, kerja sama internasional dalam bidang maritim, peningkatan investasi dan promosi pariwisata maritim, reformasi regulasi untuk memudahkan investasi, serta peningkatan pendidikan dan riset di bidang maritim.
Namun realita berbicara hal yang berbeda. Seiring dengan berjalannya waktu, visi itu tampak makin telantar dan belum terwujud sepenuhnya. Kelanjutannya pun tak jelas, seolah-olah tenggelam ke palung laut terdalam.
Visi yang Karam
Realisasi visi poros maritim dunia menghadapi tantangan besar dalam hal infrastruktur. Proyek-proyek pelabuhan dan konektivitas laut yang mendukung poros maritim dunia sering kali terhambat masalah birokrasi, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta kendala pembiayaan. Kendala-kendala ini menjadi salah satu penghambat kemampuan Indonesia merealisasi potensi ekonomi yang seharusnya dihasilkan visi ini.
Aspek keamanan maritim dan pengelolaan sumber daya juga menjadi isu krusial. Meskipun ada upaya untuk memperkuat angkatan laut dan keamanan perairan, masih banyak tantangan dalam mengatasi isu-isu seperti pencurian ikan, penyelundupan, serta konflik di perairan. Penegakan hukum yang konsisten dan efektif di laut sering kali menjadi masalah, mempengaruhi kestabilan dan keberlanjutan konsep poros maritim dunia.
Begitu pula jika dilihat dari perspektif internasional, implementasi visi ini sulit menarik minat dan dukungan dari negara-negara mitra. Dalam konteks geopolitik yang dinamis, banyak negara memiliki kepentingan yang bertentangan dan prioritas strategis yang berbeda. Indonesia perlu lebih aktif menjalin kerja sama yang saling menguntungkan untuk mengoptimalkan potensi visinya.
Pada akhir masa jabatannya, Jokowi makin jarang menyebutkan soal visi maritim dan malah lebih berambisi serta memberikan fokus yang besar pada pembangunan infrastruktur darat. Hal ini memperlihatkan visi poros maritim dunia telah terabaikan dan hanya menjadi retorika politik.
Untuk mewujudkan janji besar dan visi mulia ini, memang perlu komitmen teguh dan konsistensi dari semua pemangku kepentingan. Agar visi poros maritim dunia tak menjadi sekadar retorika tanpa aksi nyata, perlu adanya pembenahan menyeluruh dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Jika pemerintahan berikutnya serius ingin mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, ada beberapa langkah perlu dilakukan. Salah satunya membentuk badan atau lembaga khusus yang bertanggung jawab mengkoordinasikan semua inisiatif maritim secara terpusat.
Hal ini diperlukan untuk memastikan koordinasi yang efektif, pengelolaan sumber daya yang efisien, perencanaan dan implementasi yang terpadu, serta pengawasan dan evaluasi yang konsisten. Dengan demikian, semua program maritim dapat berjalan secara sinergis serta mencapai tujuan jangka panjang dengan lebih efisien dan terarah.
Langkah berikutnya adalah mendukung riset dan inovasi di sektor maritim. Dukungan ini diperlukan untuk mengembangkan teknologi baru yang dapat meningkatkan efisiensi kegiatan operasional, mengurangi dampak lingkungan, serta memastikan keberlanjutan sumber daya laut sehingga sektor maritim dapat beradaptasi dengan tantangan global, juga memenuhi tuntutan ekonomi dan lingkungan yang makin kompleks.
Secara keseluruhan, poros maritim dunia merupakan visi yang berpotensi mengubah lanskap maritim global dan regional. Namun, untuk mencapai puncak ambisinya, Indonesia harus mampu mengatasi berbagai hambatan dan tantangan yang ada. Tanpa langkah-langkah yang konkret dan terkoordinasi, visi ini akan terus menjadi mimpi besar yang tak akan terwujud sepenuhnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.