Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Adakah cita rasa kuliner Padang yang benar-benar autentik?
Jika gerakan ini direspons dengan pemboikotan RM Padang berstiker IKM oleh pihak yang tak sepakat, tentu para pelaku usaha kuliner yang akan menanggung kerugiannya.
Kalau memang harus autentik, lalu bagaimana dengan kuliner Asia populer, seperti sushi, tom yam, kimbab, dan kebab.
BARU-baru ini media massa dan media sosial diramaikan polemik soal razia restoran Padang oleh organisasi kemasyarakatan Ikatan Keluarga Minang (IKM) di Cirebon, Jawa Barat. Peristiwa itu lalu merembet ke Kota Malang, Jawa Timur; dan Cakung, Jakarta Timur—dengan penempelan stiker lisensi IKM di kaca beberapa rumah makan Padang.
Di media sosial, warganet merespons dengan beragam suara, dari ancaman boikot hingga acuh tak acuh pada polemik itu. Pihak IKM mengklaim lisensi itu dikeluarkan untuk menjaga cita rasa khas masakan Padang.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat IKM Andre Rosiade mencoba meredakan ketegangan. Melalui video yang diunggah ke akun Instagram DPP IKM pada Rabu, 30 Oktober 2024, dia menyampaikan razia restoran Padang yang tidak dimiliki orang Minang adalah tidak benar. “Hal itu bahkan tidak boleh terjadi," ucapnya. Namun polemik warganet dengan melekatkan “rasisme” dan “premanisme” tetap menggema di media sosial seperti X.
Mengapa harus terjadi razia? Mengapa ormas mengintervensi cita rasa kuliner? Apakah kuliner khas Padang hanya diperuntukkan bagi perantau asal Minangkabau, Sumatera Barat? Adakah cita rasa kuliner Padang yang benar-benar autentik?
Ali Umar, seniman patung asal Sumatera Barat yang lama menetap di Yogyakarta, tidak sepakat dengan sikap IKM yang arogan dalam merazia RM Padang dan menempelkan stiker lisensi IKM di Cirebon, Malang, serta Jakarta. Menurut dia, masyarakat Minang di perantauan sudah berorganisasi sejak 1950-an, tak pernah terjadi gejolak apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia risau karena masakan Padang seolah-olah dipolitisasi. Terlebih, alamat organisasi massa IKM merujuk ke kediaman politikus Gerindra yang kini menjadi Menteri Kebudayaan, yaitu Fadli Zon. Umar pun mempertanyakan bentuk IKM yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya mirip struktur di partai politik jika dilihat dari sisi hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istri Umar yang berlatar pendidikan ilmu hukum juga turut membaca secara detail perihal organisasi perantauan Minangkabau tersebut. Mereka dan kita semua tentu punya kekhawatiran isu-isu semacam ini akan disalahgunakan. Apalagi sebentar lagi kita akan menghadapi pemilihan kepala daerah serentak. Jangan sampai isu ini disalahgunakan. Seharusnya urusan kuliner dilepaskan dari hal-hal politis.
Faktanya, razia restoran Padang yang tidak dimiliki oleh warga Minangkabau sudah terjadi, disertai dengan tindakan premanisme, seperti menyobek stiker merek di beberapa RM Padang. Jika gerakan ini direspons dengan pemboikotan RM Padang berstiker IKM oleh pihak yang tak sepakat, tentu para pelaku usaha kuliner yang akan menanggung kerugiannya.
Lantas, apa dasar razia itu? Padahal kita sulit mengukur cita rasa autentik sebuah produk kuliner. Mari tengok kembali ke catatan sejarah dari abad ke-16 dan 17. Ada sebuah catatan penting yang tercantum dalam manuskrip-manuskrip berbahasa Prancis: Les Français et L'Indonésie du XVie au XXe siècle. Manuskrip ini bercerita soal ekspedisi kapal para ilmuwan Prancis yang mendarat di pesisir Tiku, Sumatera Barat.
Pada masa itu, Prancis tahu diri, di Hindia Belanda mereka akan kalah berkompetisi dengan Portugis dalam hal perdagangan rempah, akan kalah dari kecanggihan armada laut Inggris, serta akan kalah dari kekuatan militer Belanda di darat dan laut. Sehingga Prancis hanya mengirim kapal ekspedisi ilmu pengetahuan.
Dalam ekspedisi itu, rombongan Prancis membawa para chef terbaiknya untuk melakukan riset gastronomi. Dalam dokumen itu tertulis: makanan di Tiku, cuma ikan yang dimasak tanpa cita rasa apa pun, kecuali rasa asin yang menyiksa lidah. Satu bulan singgah di Tiku dan tak tahan dengan cita rasa asin, para ilmuwan Prancis hengkang menelusuri wilayah Sumatera lain, termasuk Aceh. Masakan Aceh lebih beraroma.
Para ilmuwan Prancis melakukan pencatatan tentang keunikan Nusantara dari berbagai sisi: antropologi, sosiologi, gastronomi, etnografi, geografi, dan biologi. Lalu apakah ada produk gastronomi atau produk budaya lain dari suatu daerah yang benar autentik? Rasanya tidak mungkin ada. Cabai dan tomat saja didatangkan dari Brasil dan Meksiko oleh Spanyol dan Portugis ke Nusantara pada abad ke-15. Begitu juga kentang, singkong, jagung, dan kakao dibawa dari negara-negara Amerika Latin oleh bangsa Portugis.
Sejarah gastronomi di Nusantara ini telah bercabang-cabang seperti persilangan genetika atau DNA. Kulinernya, termasuk masakan Padang, juga merupakan hasil akulturasi kuliner dari berbagai bangsa: Tiongkok, Eropa, India, dan Arab.
Bahkan kelahiran masakan rendang—yang pada 2017 pernah dinobatkan sebagai kuliner terlezat di dunia oleh CNN Internasional—menurut ahli antropologi dari Universitas Andalas, Yevita Nurti, seperti dilansir Kompas pada 6 Oktober 2022, tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat pendatang, salah satunya India.
Tentu bakal ada perbedaan cita rasa rendang di rumah makan Padang yang berada di Maluku, NTT, dan Papua dibandingkan dengan rendang dari rumah makan yang berada di wilayah asalnya, di Sumatera Barat. Secara rasa, masakan restoran yang berada di lokasi lain tentu tidak bisa dipaksakan autentik—karena juga harus menyesuaikan dengan selera konsumen di wilayah tersebut.
Tak banyak perantau Minangkabau di kepulauan Maluku Tenggara Barat atau kepulauan Maluku Barat Daya yang berbatasan dengan perairan Australia, misalnya di Pulau Tanimbar dan Pulau Masela. Apakah perlu mengupayakan cita rasa autentik bagi restoran Padang di wilayah tersebut? Sedangkan tradisi kuliner setempat sangat berbeda, tanpa ketajaman rasa rempah-rempah.
Kalau memang harus autentik, lalu bagaimana dengan kuliner Asia populer, seperti sushi, tom yam, kimbab, dan kebab. Di banyak negara, juru masak dan pedagang makanan itu banyak yang bukan orang asli negara asalnya: Jepang, Thailand, Korea Selatan, dan Turki. Ketika disajikan di negara lain pun, cita rasanya bisa berbeda dengan cita rasa makanan yang sama di negara aslinya.
Dalam kaidahnya, gastronomi dan kuliner harus setara, tidak membedakan bangsa, ras, bahasa, gender, ideologi politik, status sosial, dan lainnya. Sebab, pangan merupakan hak asasi setiap manusia. Dan arogansi kesukuan tidak dapat dibenarkan terhadap hak atas pangan yang setara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.