Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kemiskinan Dan Pembangunan Untuk...

Ketimpangan pendapatan penyebab utama timbulnya kemiskinan. proyek yang dibangun untuk masyarakat tidak memberikan kegunaan batas yang sama bagi kelompok-kelompok dalam masyarakat. membagi pendapatan bukan hal yang mudah.

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA saja kaum miskin menjadi pusat perhatian. Tidak kurang dari Bank Dunia yang menaruh perhatian begitu besar kepada misalnya kemelaratan ini, sehingga tak ragu-ragu mengeluarkan biaya guna meneliti sebab-sebab ketidak-seimbangan pendapatan di negara-negara Dunia Ketiga. Tak mau ketinggalan. Televisi Amerika di awal tahun 1978 ini menyajikan suatu acara yang ditangani oleh World Vision International di bawah Judul "I'm Hungry" Para pirsawan TV diajak berkelana ke pelosok-pelosok India, padang pasir Afrika dan daerah jembel di Pilipina untuk ikut merasakan bagaimana susahnya menyambung hidup di abad ini. Para ekonom dan ahli sosial sibuk mereka-reka gejala penyakit yang bernama ketimpangan pendapatan yang diduga jadi sebab utama timbulnya kemiskinan ini. Tapi barangkali kita bisa juga melihat kembali ke bidang teori. *** Milton Friedman, pelopor kaum monetarist dari Universitas Chicago, membuka bab pertama dari buku karangannyaa Essay in Positive Economics dengan satu pembahasan mengenai, The Methodology of Positive Economics. Hampir kurang lebih 20 tahun artikel satu ini menarik perhatian para ekonom dan menjadi bahan perdebatan yang mengasyikkan. Dalam daftar bacaan untuk kuliah tetap ekonomi mikro para mahasiswa tingkat sarjana, artikel ini selalu diwajibkan dibaca. Ada hal-hal yang menarik memang didalamnya. Pertama, mengenai perlunya realita yang mendasari setiap patokan (assumption) dalam teori ekonomi. Dan teori yang baik harus dapat dinilai berdasarkan patokan-patokan tersebut. Kemudian, ditekankan pentingnya ada unsur logika dan bukti (evidence) yang menopang suatu teori, sehingga setiap teori dapat dibuktikan kebenaran dan keampuhannya. Bahwasanya setiap teori ekonomi seperti juga teori mathematika selalu didasarkan atas beberapa patokan, memang tak dapat dielakkan. Tetapi, seperti peringatan Friedman, patokan yang kena harus didasari realita. Nah, ini yang sukar. *** Realita mengatakan bahwa kegunaan batas (marginal Utilily) dari uang Rp 1.000 tidak sama bagi orang miskin dan orang kaya. Bagi si kaya seribu perak itu mungkin hanya berarti parkir mobil sepuluh kali. Tetapi bagi si miskin jumlah tersebut merupakan makan dua hari. Kalau begitu, tentunya setiap proyek yang dibangun untuk masyarakat juga tak akan memberikan kegunaan batas yang sama bagi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Suatu proyek yang dianggap berguna bagi satu kelompok belum tentu amat berguna bagi kelompok lain, meskipun menurut penilaian dari kacamata nasional proyek tersebut akan memberikan manfaat bersih (net benefit) yang memadai. Akibatnya: akan ada kelompok yang betul-betul menikmati hasil proyek tersebut sementara kelompok lain kurang merasakan manfaatnya. Di sinilah masalah ketidak-seimbangan, ketidak-samarataan kembali dipersoalkan. Kalau saja para teoritisi tidak gegabah dengan membuat patokan yang menyatakan bahwa kegunaan batas dari setiap orang adalah sama, mungkin persoalan di atas tidak perlu timbul. Ya, kalau saja! Tiang kedua yang harus ditegakkan guna mendirikan suatu teori, pengikut Friedman. ialah perlunya logika dan kejadian-kejadian yang menunjang. Ada suatu pendapat bahwa proyek pengairan sawah-sawah belum tentu membuahkan hasil yang amat bermanfaat seperti apa yang selalu didengang-dengungkan. Baiknya irigasi akan membuat petani bekerja lebih pendek di sawah. Sedangkan sebagian besar petani kita hanyalah merupakan petani penggarap. Bekerja lebih pendek berarti upah lebih sedikit. Sedikitnya upah berarti kurangnya pendapatan. Sementara itu di lain pihak, perbaikan irigasi meningkatkan produksi dan kemudian menaikkan pula pendapatan si pemilik tanah. Peningkatan pendapatan pemilik sawah bersamaan dengan berkurangnya pendapatan petani penggarap, nah inilah yang namanya ketimpangan. Walaupun pendapatan secara rata-rata tetap meningkat. Ini cuma logika sederhana yang perlu dibuktikan dengan kejadian-kejadian. Baru kemudian disusun suatu teori. Jadi, logika saja tidak cukup. Tetapi mengandalkan kejadian-kejadian tanpa di analisa dengan logika yang jernih itu namanya tergesa-gesa serta hanya berupa kecerobohan yang berbahaya. *** Tampakya urusan membagi pendapatan ini bukan barang yang mudah. Tidak semudah mengucapkannya, juga tak dapat diselesaikan cuma dengan gebrakan lewat buku-buku yang ditulis dengan semangat berkobar-kobar. Memerangi kemiskinan tidak sama dengan memerangi nyamuk malaria. Tidak bisa dikerjakan secara sambil lalu. Tekad untuk ini harus benar-benar datang dari relung hati: "bersungguh-sungguhkah kita dalam memperbaiki nasib kaum miskin?!" Honolulu Pebruari 1978. *) Prijono Tjiptoherijanto yang menulis untuk TEMPO selama ia menyelesaikan studinya di University of Hawaii. Honolulu, kali ini muncul dengan kolom tersendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus