TIBA-TIBA saja kaum miskin menjadi pusat perhatian. Tidak kurang
dari Bank Dunia yang menaruh perhatian begitu besar kepada
misalnya kemelaratan ini, sehingga tak ragu-ragu mengeluarkan
biaya guna meneliti sebab-sebab ketidak-seimbangan pendapatan di
negara-negara Dunia Ketiga.
Tak mau ketinggalan. Televisi Amerika di awal tahun 1978 ini
menyajikan suatu acara yang ditangani oleh World Vision
International di bawah Judul "I'm Hungry" Para pirsawan TV
diajak berkelana ke pelosok-pelosok India, padang pasir Afrika
dan daerah jembel di Pilipina untuk ikut merasakan bagaimana
susahnya menyambung hidup di abad ini.
Para ekonom dan ahli sosial sibuk mereka-reka gejala penyakit
yang bernama ketimpangan pendapatan yang diduga jadi sebab utama
timbulnya kemiskinan ini. Tapi barangkali kita bisa juga melihat
kembali ke bidang teori.
***
Milton Friedman, pelopor kaum monetarist dari Universitas
Chicago, membuka bab pertama dari buku karangannyaa Essay in
Positive Economics dengan satu pembahasan mengenai, The
Methodology of Positive Economics.
Hampir kurang lebih 20 tahun artikel satu ini menarik perhatian
para ekonom dan menjadi bahan perdebatan yang mengasyikkan.
Dalam daftar bacaan untuk kuliah tetap ekonomi mikro para
mahasiswa tingkat sarjana, artikel ini selalu diwajibkan dibaca.
Ada hal-hal yang menarik memang didalamnya. Pertama, mengenai
perlunya realita yang mendasari setiap patokan (assumption)
dalam teori ekonomi. Dan teori yang baik harus dapat dinilai
berdasarkan patokan-patokan tersebut. Kemudian, ditekankan
pentingnya ada unsur logika dan bukti (evidence) yang menopang
suatu teori, sehingga setiap teori dapat dibuktikan kebenaran
dan keampuhannya.
Bahwasanya setiap teori ekonomi seperti juga teori mathematika
selalu didasarkan atas beberapa patokan, memang tak dapat
dielakkan. Tetapi, seperti peringatan Friedman, patokan yang
kena harus didasari realita. Nah, ini yang sukar.
***
Realita mengatakan bahwa kegunaan batas (marginal Utilily)
dari uang Rp 1.000 tidak sama bagi orang miskin dan orang kaya.
Bagi si kaya seribu perak itu mungkin hanya berarti parkir mobil
sepuluh kali. Tetapi bagi si miskin jumlah tersebut merupakan
makan dua hari.
Kalau begitu, tentunya setiap proyek yang dibangun untuk
masyarakat juga tak akan memberikan kegunaan batas yang sama
bagi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Suatu proyek yang
dianggap berguna bagi satu kelompok belum tentu amat berguna
bagi kelompok lain, meskipun menurut penilaian dari kacamata
nasional proyek tersebut akan memberikan manfaat bersih (net
benefit) yang memadai. Akibatnya: akan ada kelompok yang
betul-betul menikmati hasil proyek tersebut sementara kelompok
lain kurang merasakan manfaatnya.
Di sinilah masalah ketidak-seimbangan, ketidak-samarataan
kembali dipersoalkan. Kalau saja para teoritisi tidak gegabah
dengan membuat patokan yang menyatakan bahwa kegunaan batas dari
setiap orang adalah sama, mungkin persoalan di atas tidak perlu
timbul. Ya, kalau saja!
Tiang kedua yang harus ditegakkan guna mendirikan suatu teori,
pengikut Friedman. ialah perlunya logika dan kejadian-kejadian
yang menunjang. Ada suatu pendapat bahwa proyek pengairan
sawah-sawah belum tentu membuahkan hasil yang amat bermanfaat
seperti apa yang selalu didengang-dengungkan. Baiknya irigasi
akan membuat petani bekerja lebih pendek di sawah. Sedangkan
sebagian besar petani kita hanyalah merupakan petani penggarap.
Bekerja lebih pendek berarti upah lebih sedikit. Sedikitnya upah
berarti kurangnya pendapatan.
Sementara itu di lain pihak, perbaikan irigasi meningkatkan
produksi dan kemudian menaikkan pula pendapatan si pemilik
tanah. Peningkatan pendapatan pemilik sawah bersamaan dengan
berkurangnya pendapatan petani penggarap, nah inilah yang
namanya ketimpangan. Walaupun pendapatan secara rata-rata
tetap meningkat.
Ini cuma logika sederhana yang perlu dibuktikan dengan
kejadian-kejadian. Baru kemudian disusun suatu teori. Jadi,
logika saja tidak cukup. Tetapi mengandalkan kejadian-kejadian
tanpa di analisa dengan logika yang jernih itu namanya
tergesa-gesa serta hanya berupa kecerobohan yang berbahaya.
***
Tampakya urusan membagi pendapatan ini bukan barang yang mudah.
Tidak semudah mengucapkannya, juga tak dapat diselesaikan cuma
dengan gebrakan lewat buku-buku yang ditulis dengan semangat
berkobar-kobar. Memerangi kemiskinan tidak sama dengan
memerangi nyamuk malaria. Tidak bisa dikerjakan secara sambil
lalu. Tekad untuk ini harus benar-benar datang dari relung hati:
"bersungguh-sungguhkah kita dalam memperbaiki nasib kaum miskin?!"
Honolulu Pebruari 1978.
*) Prijono Tjiptoherijanto yang menulis untuk TEMPO selama ia
menyelesaikan studinya di University of Hawaii. Honolulu, kali
ini muncul dengan kolom tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini