Beberapa waktu lalu, sebagian anggota masyarakat mempersoalkan penampilan Titi Qadarsih dalam acara anak-anak di Televisi Pendidikan Indonesia. Pada cara itu, Titi dianggap berpakaian tidak sopan, sehingga memberikan kesan tidak "mendidik". Padahal, di situ seharusnya ia menjadi panutan. Setelah berbagai protes dan tanggapan, Titi tidak muncul lagi di acara itu. Belum lama ini pula, dalam sebuah koran Ibu Kota, Sophan Sophiaan, yang menyutradarai film Di Balik Dinding Kelambu, mencak-mencak karena TPI memotong dua adegan pada film tersebut, sehingga merusak jalan cerita dan kredibilitasnya sebagai sutradara film. Dua kejadian di atas mencerminkan masalah pelik yang dihadapi TPI dalam menyandang beban "idealistis" sebagai media "pendidikan". Di satu pihak, TPI ingin memberikan kelonggaran berekspresi, termasuk cara berpakaian. Di lain pihak, TPI harus membatasi adegan yang belum pantas ditonton oleh anak-anak (saya duga dua adegan yang dipotong di atas memang belum pantas ditonton anak di bawah umur). Namun, kedua kasus tersebut mendatangkan protes. Berbeda dengan RCTI, yang telah "memproklamasikan diri" sebagai Saluran Hiburan dan Informasi, ia tidak terkena beban moril dan jarang ada protes dari masyarakat dalam kaitan dengan masalah pantas atau tidaknya suatu penayangan. RCTI masih bebas dari protes penayangan Getting Fit with Dennis Austin, adegan yang menayangkan Dennis Austin, cewek bule itu, melakukan senam dengan memakai baju renang dan disorot kamera terus-menerus selama hampir setengah jam. Padahal, dalam Bugar Bersama Namarina, pakaiannya lebih sopan dan cukup mewakili acara semacam itu. Ada lagi contoh lain, yakni iklan sabun Lux. Dalam adegan kilat yang masih bisa dilihat itu, ditampilkan seorang perempuan (?) telanjang bulat (mandi tentunya) berlenggang-lenggok menyodorkan pantatnya (maaf) di hadapan pemirsa. Di sini terlihat seolah-olah ada standar ganda: masyarakat menuntut TPI yang berembel-embel "pendidikan" agar sopan, tapi membiarkan "ketidaksopanan" RCTI yang tidak membawa embel-embel itu. Apakah hanya karena beda embel-embel sehingga perlakuan berbeda? Bukankah esensinya sama, yaitu sopan atau tidak sopan? Saya pikir, bila kita mementingkan esensi, tuntutan terhadap TPI agar "sopan" juga berlaku untuk RCTI. Siapa yang menjamin bahwa anak-anak di bawah umur tidak menonton siaran kedua TV swasta itu? Saya kira, harus proporsional memandang kedua media tersebut, dan jangan terlalu mempersoalkan embel-embel. Yang penting, keduanya mampu mendidik masyarakat dan bukan mencemari anak-anak dengan sesuatu yang tidak etis. M. SYAHRUL FUADY Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Depok Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini